Share

Baba

"Srak~ srak~ " suara putaran roda dari papan seluncur diatas jalan terdengar mengiringi langkah kami. Baba tepat berada disamping. Satu kios terakhir yang kami ingin kunjungi terlihat tak jauh. Buah-buah anggur masih berjejer manis di atas meja, kami mendekati tempat itu. Pemilik kios tersenyum ke arah Baba dan aku—ku balas senyum simpul.

"Sore Baba..." sapanya ke Baba.

Baba mengangguk. Senyuman khas Baba terlempar dengan mudah untuk menyahuti pemilik kios. Paman Rafež namanya.

"Sore paman?!" Aku menyahut lantang.

Beliau terkekeh lalu mengelus pucuk kepala ku.

"Icèe... benar-benar bekerja dengan baik..." ucap paman Rafež tiba-tiba. Lelaki pemilik kios itu mulai bercerita tentang diri ku yang membantu pekerjaannya dengan baik ke Baba.

Pria ini dulunya tidak seramah ini kepada aku, dia menganggap keberadaan ku hanya memberatkan Baba.

Aku tahu itu tanpa perlu di jelaskan.

Melihat seorang wanita tua yang sudah renta mengurus anak cacat seperti ku yang bahkan dibuang oleh orang tua aslinya?

Merepotkan.

Menjijikan.

Tapi perlahan dengan semua kerja keras ku dalam bekerja, paman Rafež akhirnya berpikir ulang—dia mengakui keberadaan ku. Aku senang dengan pengakuan kecil itu.

"Benarkah?" Baba tampak senang, mereka malah jadi berbincang hangat satu sama lain. Sedangkan yang ku lakukan adalah sibuk meninggikan leher supaya bisa melihat buah-buah anggur di atas meja.

Sebenarnya semua bahan untuk sup sudah kami dapatkan, tapi ku rasa kami juga perlu buah segar sebagai cemilan untuk menyambut malam perayaan kekaisaran nanti. Dan anggurlah yang terpilih, haha... sebenarnya hanya kios buah ini yang masih buka.

Biasanya ketika mendekati hari perayaan kekaisaran, kegiatan pasar akan tutup lebih awal. Paman Rafež juga sepertinya bersiap tutup dan ingin berkumpul bersama keluarganya yang menanti di rumah. Rumah-rumah penduduk juga sudah tertutup setengah, hanya beberapa orang yang masih lalu lalang karena keperluan mereka. 

Lihat betapa antusiasnya mereka yang ingin merayakan hari perayaan kekaisaran—berkumpul dengan keluarga, berbincang hangat dan menebar canda tawa ke setiap sudut ruangan.

"Paman, itu!" Ucap ku menunjuk beberapa anggur. Paman Rafež mengangguk menyudahi bincang dengan Baba—lalu mengambil bungkusan berbahan kertas; membungkus anggur yang sudah ku incar.

Aku mengambil beberapa uang logam yang masih tersisa.

"Berapa paman?" Tanya ku. Paman Rafež terkekeh dan menyuruhku mengambil anggur yang sudah di bungkus.

"Ambil saja... anggap itu bonus untuk mu yang sudah bekerja keras..." ucapnya. Mata ku berbinar senang. Tanpa tahu malu langsung menerimanya.

Senyum lebar dengan dereran gigi milik ku terlihat.

"Tekima kasih!" Ucap ku lantang. Hah! Lagi-lagi lidah ku terpeleset. 

"Terima kasih, nak Fež..." Baba ikut berucap. Paman Rafež mengangguk.

"Baba, ayo pulang~" Aku mengusulkan dengan Baba agar kami segera pulang.

Aku benar-benar tak sabar. Kegiatan tiap tahunnya ini selalu bisa membuat ku berdebar, makan dan menghabiskan sepanjang malam bersama Baba.

Hah~

Baru saja kami ingin beranjak dari sana, kami malah berpapasan dengan beberapa kesatria keamanan. Lengkap dengan jirahnya.

Baba, paman Rafež dan aku spontan setengah membungkuk sebagai bentuk dari sikap sopan kami. Menghormati orang-orang yang melayani kekaisaran dan sekaligus menjadi lambang pelindung kekaisaran Rýiat.

Mereka tanpa menoleh sedikit pun melewati kami. Baba yang melihat itu mengambil beberapa anggur dari ku. Sepertinya aku tahu Baba ingin melakukan apa.

Baba adalah wanita tua renta berhati lembut.

Tanpa mencegahnya aku melihat Baba melangkah menyusuli para kesatria.

"Ini untuk kalian nak..." ucap Baba di depan para kesatria dengan segenggam anggur.

"Hidup kekaisaran Rýiat..." tambah Baba sambil tersenyum lebar.

Aku ikut tersenyum, begitu juga paman Rafež. Tapi kejadian yang terjadi setelah itu mampu melunturkan senyum cerah ku.

"BLASS!"

DEG!

Jantung ku seperti di pompa kuat secara paksa dan tak beraturan.

Beberapa orang yang masih berada di luar bersama dengan paman Rafež menampilkan ekspresi kaget.

Adegan beberapa detik itu terlihat jelas, kesatria di barisan paling depan tiba-tiba menarik pedang panjangnya lalu tanpa basa basi mengayunkan benda itu.

Tepat kearah leher Baba—pantulan Baba terlihat disana.

Lalu dalam sekali tebas, dia memotong leher Baba.

DEG! DEG! DEG!!!

Dengan panik aku bergegas mendekati Baba, tak peduli terjatuh hingga tubuhku terpisah dengan papan seluncur. Aku menyeret tubuh ku semampunya menuju Baba.

Tubuh Baba sudah terjatuh, dengan tangan gemetaran aku menggapai sosok yang amat ku cinta itu.

Kepala Baba tak jauh dari sana. Mata ku bergetar tak percaya.

"HAGGGRHHH!!!!" Aku menjerit hiteris. Memeluki tubuh Baba yang mulai kehilangan suhu tubuhnya.

Entah sejak kapan air mata mengalir deras disana.

Para penduduk yanga menyaksikan masih membatu.

"Cih~" terdengar decikkan. Aku mendongak dan mendapati wajah kesatria itu. Wajahnya dingin dengan sorot mata seolah mati, aku menggertakkan gigi ku. Raut wajah marah tampil bersamaan air mata yang semakin deras.

Baba! DIA MEMBUNUH BABA!!!!!

Kesatria itu kembali mengangkat pedangnya kali ini menuju leher ku berada.

"Menjijikan..." gumamnya. Ekspresi ku berubah tajam, ekspresi ini seharusnya bukan ekspresi yang pantas untuk di tunjukan oleh anak kecil seperti ku. Tapi apalah daya amarah besar menyelimuti ku.

Kesatria itu tampak mencoba mengayunkan pedangnya, tanpa rasa takut. Aku sama sekali tak mencoba bergerak untuk menghindarinya.

"Bugh!!

Tiba-tiba pedang itu berhenti beberapa inci sebelum menyentuh leher.

 "Bugh! Bugh!"

Terlihat kelompok kesatria itu mundur teratur. Para penduduk yang tadi menyaksikan mulai bergerak—mereka melempari barang-barang, entah itu batu atau semua benda yang dapat mereka lempar.

Bukan hanya aku yang marah, semua orang disini tengah mencoba mengontrol emosi mereka.

Terlihat para kesatria berbisik lalu memilih beranjak dari sana di bawah pimpinan kesatria biadab tadi. Mereka rupanya tak ingin mempertaruhkan reputasi dan kedudukan.

Persetan!

Lalu bagimana dengan Baba?

Bagaimana dengan wanita tua itu?

"BABA?!!!!"

Aku yang tak bisa mengontrol ekspresi lagi kembali menumpahkan tangisan. Aku menjerit, meraung seraya memeluk tubuh Baba.

Hari itu?

Hari itu adalah hari dimana aku merasakan rasa sakit yang teramat dalam dari sebuah kematian. 

Yaitu, kehilangan.

                                     

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status