Alfonso geram sekali mendengar ucapan Carlo yang malah menuduhnya seenaknya. Sambil mengeritkan giginya, dia mendesis, "Carlo, jangan sembarangan menuduhku seperti itu! Asal kamu tahu, aku sendiri yang tangkap Brian dengan kedua tanganku. Tapi aku tak mau tuntut dia lebih jauh lagi, asalkan dia tak lari dari tanggung jawabnya pada Gloria. Karena justru itulah yang buat Siena pergi dariku. Siena mengalah dan pergi tinggalkan aku karena dia tak mau anak Gloria lahir tanpa seorang ayah. Dia tak mau anak itu bernasib sama dengan dirinya dulu, apa kamu mengerti itu?"
Sesaat keheningan bersemayam di antara mereka. Alfonso merasa dadanya mulai sesak lagi akibat rasa pedih yang muncul tiap kali teringat Siena.
"Jadi… apa yang kamu inginkan? Bantu Brian dan Gloria supaya mereka bisa bersama?" akhirnya Carlo bersuara.
"Ya, jika memang itu yang bisa kulakukan."
&
"James, lihat itu! Judul artikelnya!" Alfonso berteriak dengan suara nyaring sambil meloncat berdiri dari kursinya."Ada apa, Tuan?" James melongo terkejut karena teriakan Alfonso.Alfonso menunjuk kelima artikel yang disusun bertumpuk oleh James. Kata pertama dari judul artikel paling bawah yg terbaca adalah 'Polaritas', artikel kedua 'Arsitektur', ketiga 'Akses', seterusnya secara berurutan 'Rela' dan 'Lampaui'."Huruf pertama dari setiap judul artikel! Kalau dibaca jadi Paarl...! Bukankah itu nama kota di Afrika Selatan?" seru Alfonso. Matanya berkilat-kilat gembira.James langsung menyadari maksud atasannya. Buru-buru ia menyambar ponselnya dan mencari di search engine. "Benar, Tuan! Paarl memang nama kota di Afrika Selatan!" sahutnya tak kalah girang, menunjukkan hasil pencarian dari internet. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Ayo, Alf, kita bicara di ruangan itu," ujar Siena, menunjuk ke sebuah ruangan yang kelihatannya seperti ruang baca.Alfonso mengangguk dan mengikuti Siena, tangannya terus menggandeng tangan Siena. Ruang baca yang luas itu penuh dengan rak buku di ketiga sisinya, kecuali satu sisi di mana terdapat jendela kaca besar. Terdapat sofa yang nyaman di tengah ruangan. Siena mengajak Alfonso duduk.Alfonso tak mengerti kenapa Siena sepertinya menyembunyikan sesuatu. Siena juga lebih banyak diam sejak perjalanan dari kebun anggur sampai rumah peristirahatan keluarga De Martini di Paarl."Cherry, apa ada masalah? Tolong beritahu aku. Aku merasa tak tenang kalau kamu diam saja," pinta Alfonso.Siena sedikit menundukkan kepalanya. "Aku minta maaf, Alf. Maaf karena aku pergi tinggalkan kamu. Maaf juga karena kamu sampai datang jauh-jauh ke Paa
Healing your heart may feel like fighting a war against yourself. But that's what makes you a warrior of life.Tiga bulan kemudian.Klik!Imelda menjepret dengan kameranya, momen ketika Alfonso menggunting pita sebagai simbol peresmian gedung baru, perluasan dari perguruan tinggi keperawatan di Gotemba. Perguruan tinggi yang sama dengan tempat ibu Siena menempuh pendidikannya sebagai seorang perawat dulu.Seketika seluruh pengunjung yang hadir bertepuk tangan meriah."Terima kasih banyak, Tuan Garcia. Anda berjasa besar bagi perguruan tinggi kami ini. Terima kasih karena telah mewujudkan impian kami mendirikan Gedung Mori ini," ucap Profesor Eiji, selaku rektor perguruan tinggi tersebut.Alfonso menyambut jabat tangan sang profesor. "Sam
Alfonso keluar dari mobilnya. Matanya langsung melihat Brian dan Gloria yang sedang duduk bersebelahan di depan mobil kopi mereka, menatapnya dengan wajah serius."Apa kabar, Alfonso?" Gloria yang lebih dulu menyapa, karena Brian diam saja."Hai, Gloria. Bagaimana keadaanmu, sehat?" balas Alfonso. Ia berdiri di depan mereka berdua."Sehat, biarpun aku kelihatan makin mengembang tiap hari," celoteh Gloria, terkikik geli dengan gurauannya sendiri."Menurutku kamu kelihatan seperti ibu hamil yang modis, Gloria," puji Alfonso, tapi matanya melirik ke Brian.Dia mengatakan itu semata-mata untuk memberi dukungan pada Gloria, tanpa ada maksud merayu. Tapi dia tahu sifat Brian yang posesif. Wajah Brian seketika tampak berubah.Dalam hati Alfonso rasanya ingin tertawa. Pa
Saat Alfonso mengemudikan mobilnya masuk ke halaman depan rumah, dia merasa curiga dengan mobil limusin putih yang diparkir di area taman umum yang berada persis di seberang rumah.Tak banyak orang yang mengendarai mobil limusin ke mana-mana karena terlalu mencolok. Siapa pemilik limusin itu, seorang selebritis yang sengaja mencari perhatian?Alfonso melangkah masuk ke dalam rumah, dan seketika terhenti karena mencium bau ganjil yang tak biasanya. Bau yang mengingatkan dia pada sesuatu.Ia mempercepat langkahnya, matanya mencari-cari sampai akhirnya dia melihat apa yang dicurigainya. Carlo sedang duduk di ruang tengah rumahnya sambil mengisap cerutu!"Aku rasa sudah saatnya aku sewa petugas keamanan untuk jaga rumah ini. Supaya orang-orang seperti kamu tak bisa masuk seenaknya," nada suara Alfonso terdengar ketus.
"Kamu cantik sekali, Siena," puji Viola, wanita paruh baya yang menjadi penata rias Siena.Siena sedang berada di salon untuk merias diri sebelum acara pertunangannya dengan Damien nanti malam. Tadinya dia hendak merias diri sendiri saja, tapi Carlo bersikeras bahwa dia harus tampil istimewa di hari yang istimewa ini.Jadilah dia akhirnya berangkat ke salon dengan sedikit enggan, diantar oleh Pino. Sedangkan Stefano, Carlo, dan Damien mempersiapkan acara yang akan diadakan di rumahnya."Apa dandananku… tidak berlebihan?" Siena ragu melihat penampilannya sendiri di cermin. Dia bukan gadis yang suka dandanan tebal selama ini."Jelas tidak. Dandanan ini sangat sempurna untuk acara spesial," Viola meyakinkannya sambil tersenyum."Maaf, maksudku, tentu saja hasil dandananmu sangat sempurna, Viol
Butuh waktu beberapa detik bagi Siena untuk mencerna perkataan Alfonso. Namun yang bisa dilakukannya hanyalah menatap Alfonso dengan mata terbelalak dan mulut melongo."Aku mohon jangan menikah dengan Damien. Aku ingin kamu jadi milikku seorang. Menikahlah denganku, Cherry…." Ucapan Alfonso terdengar sangat jelas, ucapan yang menimbulkan rasa hangat yang menjalari hati Siena."Alf….""Ya?""Kamu sadar kalau kamu baru saja memintaku menikah denganmu? Di dalam sebuah garasi mobil yang tertutup, di mana kamu baru saja menculikku tepat di hari pertunanganku dengan Damien?"Alfonso terpaku sesaat. "Yah…, aku bisa lakukan hal yang lebih gila lagi kalau kamu mau. Aku bisa saja tiba-tiba muncul di rumahmu, dan berteriak memprotes tepat saat Damien baru saja mau pasangkan cincin pertun
"Selamat siang, Tuan Stefano." Alfonso memutuskan untuk menyapa lebih dulu. "Carlo, Damien…." Alfonso mengangguk pada mereka bertiga.Mata Stefano mengamati tangan Alfonso dan Siena yang terus saling bergandengan. "Siena, kamu membuat kami khawatir. Apakah Alfonso menyakitimu?" Jelas bahwa Stefano sengaja mengabaikan sapaan Alfonso."Tidak, Papa, Alfonso tak mungkin sakiti aku," Siena menjawab dengan cepat. "Papa, kumohon biar kami jelaskan dulu semuanya.""Kurasa semuanya sudah sangat jelas bagiku. Kamu memilih untuk menyakiti hati seorang pria yang baik seperti Damien, demi kembali pada pria yang jelas-jelas telah menyakitimu sebelumnya," sergah Stefano dengan suara tegas."Papa, ini semua salahku. Alfonso tak pernah sakiti aku. Aku sudah tahu kalau dia tak ada hubungannya dengan masalah Gloria, tapi waktu dia datang menem