Share

Hari Pertunangan

                                                               Hari Pertunangan

Seorang pemuda berperawakan tinggi tegap turun dari lamborgininya. Sepatu pantofel mewahnya berjalan di atas karpet merah, semua orang kini menyambutnya dengan hormat. Ia memasuki sebuah gedung di mana pesta pertunangannya malam ini akan berlangsung.

Efram menyapa beberapa tamu yang merupakan rekan kerja ayahnya di aula. Atas kejadian di halaman rumahanya siang tadi, Efram telah meminta ibunya untuk berangkat bersama Jessie—calon tunangannya itu dari rumahnya. Efram tak menceritakan ini kepada siapa pun, bahkan ia memerintahkan sopirnya untuk menutup mulutnya tentang kejadian di halaman rumahnya siang tadi.

Efram pamit dan meminta maaf kepada para tamunya ketika Erland—sang adik memanggilnya untuk berbincang dengannya.

“Kenapa? Apa ada masalah?” tanya Efram pada Erland.

“Kenapa kau datang sendiri? Di mana ibu?” Erland bertanya karena seharusnya ibu mereka datang bersama kakaknya saat ia telah selesai menyiapkan seluruh persiapan pesta malam ini.

Efram menatap ke sekeliling. Memastikan bahwa hanya ia dan adiknya yang hanya mendengar percakapan mereka. “Dengar. Aku merasa pesta pertunanganku tidak bisa berjalan dengan lancar begitu saja. Jadi, aku perlu merubah beberapa rencana kita.”

Erland mengerutkan kening. “Maksudmu?”

Sekali lagi, Efram memastikan keadaan sekeliling. Pemuda itu memijat pelipisnya pelan. “Kau pasti tidak akan percaya mendengar ini. Siang ini, saat aku baru saja turun dari mobil usai mengantar Jessie, Paman Zen tiba-tiba menghampiriku dengan ekspresi terluka pada wajahnya. Dia bersikap seolah-olah ingin membuatku membatalkan pertunanganku dengan Jessie.”

Mulut Erland terbuka karena tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Dia mengatakan, bahwa putri kesayangannya itu, Lyra, dia mencintaiku.”

“Apa? Lyra, sahabatmu sendiri? Bagaimana itu bisa?” tanya Erland. Masih tak percaya.

Efram mengembuskan napas dengan kasar. “Aku tidak tahu. Memikirkan itu membuat kepalaku menjadi sakit.”

“Lalu, apa hubungannya dengan ibu? Di mana dia?”

“Itu dia. Aku merubah rencana kita yang semula ibu datang ke sini bersamaku, tetapi siang tadi aku memintanya untuk berangkat dari rumah Jessie bersama dengannya—”

“Kenapa kau memintanya berangkat dengan Jessie?” potong Erland tiba-tiba membuat Efram memandangnya dengan heran. Ada perubahan pada nada bicaranya. Terdengar sedikit lebih lantang.

“Memangnya kenapa?” tanya Efram saat Erland terlihat seperti sedang menyadari sesuatu.

“Aku merasa bahwa Paman Zen bisa melakukan apa saja untuk kebahagiaan Lyra, sehingga aku berpikir, bisa saja dia beralih pada Jessie dan menghasutnya untuk membatalkan pertunangan kami. Jadi, untuk mennghalau semuanya, aku meminta ibu untuk berangkat bersama Jessie.”

Selain khawatir terhadap ancaman gagalnya pertunangan mereka, Erland meminta ibunya berangkat dengan Jessie karena gadis itu tidak bersama dengan orang tuanya. Orang tua Jessie yang berada di luar negeri, hari ini akan tiba di bandara dan langsung menuju gedung pertunangan mereka.

Kedua orang tua Jessie sudah menitipkan Jessie pada pelayan-pelayan di rumahnya, gadis itu tidak akan tampil mengecewakan. Karena pelayan-pelayan Jessie merupakan pelayan terbaik yang juga sudah seperti keluarga yang mengasuh Jessie sejak dia kecil.

Erland mengusap wajahnya kasar mendengar kalimat terakhir Efram. Hal itu mengundang pertanyaan karena perubahan pada wajah adiknya itu menunjukkan kekhawatiran.

“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat khawatir?”

“Seharusnya Kakak tidak menyuruh ibu untuk berangkat bersama Jessie!”

Efram memang Erland dengan heran ketika laki-laki itu tampak gusar di tempatnya.

“Memangnya kenapa?” tanya Efram, tak mengerti dengan maksud adiknya.

Erland terdiam sesaat, mungkin sedang merangkai kalimat agar kakaknya mengerti maksudnya.

“Jika kau mengetahui Paman Zen bisa melakukan apa pun untuk merusak pertunanganmu, karena dia tidak bisa membujukmu atau pun Jessie agar kalian membatalkan pertunangan, apa tidak mungkin jika dia bisa saja membuat sebuah rencana untuk mencelakai tunanganmu?”

Kalimat Erland berhasil membuat Efram tersentak sesaat. Ia sama sekali tak memikirkan hal yang sama dengan adiknya. Mana mungkin keluarga yang telah mereka tolong, keluarga yang sudah dianggap sebagai saudara oleh kedua orang tuanya akan merusak hari pertunangan mereka? Terlebih lagi, Zen sudah seperti pamannya sendiri, dan Lyra yang merupakan sahabatnya sejak SMA sudah seperti adik perempuannya sendiri.

Efram tak habis pikir dengan adiknya yang terlalu panik tanpa alasan. “Apa yang kau pikirkan? Paman Zen tidak akan mungkin melukai orang lain.” Efram mencoba menenangkan adiknya.

Erland tak percaya kakaknya tidak yakin padanya.

“Kenapa tidak? Jika dugaanku benar, itu sama saja dengan membahayakan nyawa ibu juga!”

Efram terdiam lama. Ia tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Ia juga bahkan tak pernah berpikir bahwa Zen akan melakukan apa pun seperti yang dipikirkan oleh adiknya.

“Kau merasa panik tanpa alasan. Ibu pasti menjemput Jessie bersama Joe dan para pengawal untuk mengawal mereka dalam perjalanan. Jangan khawatir, ibu dan Jessie-ku pasti akan aman.”

Efram menepuk pundak adiknya. Berniat membuatnya tenang dan tidak perlu khawatir karena sopir kepercayaan mereka-lah yang mengawal ibu mereka. Namun, bukannya tenang, pemuda yang usianya terpaut 2 tahun lebih muda darinya itu masih tampak gelisah.

Efram hanya menggelengkan kepalanya. Ia berniat untuk menyapa tamu-tamu lain, ketika Erland menepuk pundaknya beberapa kali dengan tempo yang cepat. Saat melihat wajahnya, mata Erlnad sudah membulat ke arah lain, yang membuat kerutan di kening Efram telihat kemudian.

 “Lihat itu! Joe ada di sini. Lalu siapa yang mengawal ibu?!” tunjuk Erland ke belakang punggung Efram, membuat pemuda itu membalikkan badannya—terkejut saat mendapati Joe datang bersama dengan gadis yang membuatnya kesal sejak siang tadi. Dia adalah Lyra.

Dengan langkah-langkah panjang serta perasaan yang tidak keruan, Efram menuju ke arah kedua orang itu. Di susul oleh Erland yang kini mengacak-acak rambutnya kesal.

“Aku sudah memperingatkanmu tetapi kau masih juga datang? Apa rasa malumu sudah tidak ada?” sarkas Efram, tepat ketika atensi Lyra berada di depan matanya.

Lyra tak menyangka akan disambut dengan kalimat Efram yang mampu melukai perasaannya begitu dalam. Rasa sakit di dalam hatinya berhasil menjalar pada kedua matanya yang kini terasa panas. Sebisa mungkin Lyra akan menahannya. Ia tidak akan mudah menangis di depan laki-laki yang telah menghinanya.

Lyra sadar, semuanya telah berubah sejak ayahnya mengatakan kebenaran tentang perasaannya terhadap Efram. Laki-laki yang dulu menatapnya dengan teduh itu kini berubah begitu dingin padanya. Kini, Lyra hanya melihat sosok Efram yang yang begitu angkuh di hadapannya. Sahabat yang dulu begitu dekat, kini terasa asing baginya.

Walaupun semuanya telah berubah, Lyra tidak pernah sekalipun menyalahkan ayahnya. Ia sudah berniat untuk melupakan cintanya kepada Efram. Meski itu akan berjalan begitu sulit nantinya.

“Jika bukan karena undangan ibumu, aku pasti tidak akan datang.” Lyra membalas perkataan Efram. Gadis itu mencoba kuat, demi rasa hormatnya kepada ibu Efram.

Efram tersenyum remeh sesaat, tatapannya lalu beralih pada Joe.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status