“Joe! Mengapa kau di sini? Seharusnya kau bersama ibuku sekarang, bukannya malah bersama gadis ini!” tanya Efram pada Joe. Ia terang-terangan menunjuk Lyra saat gadis itu berani datang ke pesta pertunangannya padahal Efram sudah memintanya untuk tidak muncul lagi.
Joe menundukkan kepalanya dengan hormat. “Maaf, Tuan Muda, tetapi nyonya besar sendiri lah yang memerintahkanku untuk mengantar Nona Lyra ke mari.”
“Lalu di mana sekarang ibuku?” tanya Erland tak bisa santai. Kekhawatiran di wajahnya masih belum hilang. Sementara Efram berpikir bahwa adiknya itu terlalu cemas tanpa alasan.
“Tenanglah,” ucap Efram pada Erland.
“Jika kau ditugaskan untuk mengantar gadis ini, lalu bersama siapa ibuku sekarang?” tanya Efram pada Joe.
“Nyonya besar meminta Tuan Zen untuk mengawalnya bersama Nona Jessie dengan mobil yang akan digunakan khusus untuk menjemput Nona Jessie—seperti yang Tuan Muda pesan kemarin.”
“Mengapa kau membiarkan ibu pergi?!” Erland bertanya tiba-tiba dengan nada yang meninggi, hal itu mengakibatkan perhatian beberapa orang teralih padanya.
“Jaga nada bicaramu, Erland. Jangan lupa di sini sedang ada banyak orang.” Efram mengingatkan.
Melihat kekhawatiran di wajah Erland, serta ketegangan di wajah Efram membuat Lyra merasa ada sesuatu yang salah.
“Mengapa kalian mempermasalahkan ini? Efram, kau tidak sedang mencurigai ayahku akan merencanakan hal buruk, ‘kan?” tanya Lyra pada Efram. Laki-laki itu menatapnya sesaat tanpa menjawabnya. Efram melihat Erland yang mencoba menghubungi seseorang. Adiknya itu tak bisa tenang sejak tadi.
Erland menjauhkan ponselnya dan mengembuskan napas kasar. “Ponsel ibu tidak bisa dihubungi.”
“Erland, sudah kubilang tidak akan terjadi apa-apa. Kau mengkhawatirkan ibu tanpa alasan,” ucap Efram yang tak tahan melihat kepanikan Erland yang mampu membuatnya ikut khawatir.
“Bagaimana aku bisa tenang? Ponselnya tidak bisa dihubungi. Bagaimana jika terjadi sesuatu?” Erland masih keukeuh mempertahankan kecurigaannya.
“Aku akan menghubungi Jessie,” ucap Efram. Saat ia hendak menghubungi calon tunangannya, pamannya Hans—adik dari ibunya—beserta istrinya menghampiri mereka dengan wajah yang panik.
“Efram, telah terjadi sesuatu. Aku baru saja mendapat telepon dari polisi bahwa mobil yang membawa Ibu dan tunanganmu mengalami kecelakaan. Mereka terluka parah sekarang.”
“Apa?!” Ponsel di genggaman Efram jatuh seketika. Semua orang di dalam aula terkejut. Lyra yang mengetahui bahwa ayah mereka juga bersama di dalam mobil itu lemas seketika.
***
“Aku ikut.”
Dengan kedua mata berkaca-kaca, Lyra menahan tangan Efram saat laki-laki itu hendak pergi. Efram teringat pada kejadian siang tadi antara dirinya, Lyra dan ayahnya. Efram merasa kacau usai mendapatkan kabar bahwa mobil yang ditumpangi ibu beserta calon tunangannya mengalami kecelakaan. Laki-laki itu tak mengatakan apa pun saat menangkap kedua mata Lyra yang meneteskan air mata. Hanya tatapan tajamnya yang seolah-olah berbicara, memberi peringatan terhadap gadis itu jika terjadi sesuatu terhadap kedua perempuan yang disayanginya.
Melepas tangan Lyra dengan paksa, laki-laki itu lalu menuju mobil diikuti yang lainnya.
Efram terpaksa harus meninggalkan pesta pertunangannya kala mendengar kabar kecelakaan Ibu dan calon tunangannya. Dengan meminta Hans mengurus nasib semua tamu undangan, Efram langsung meluncur ke rumah sakit tempat ibu dan tunangannya dievakuasi.
Efram, Erland, serta Lyra tiba di rumah sakit pukul 08.20 malam. Hans dan istrinya An menyusul 15 menit kemudian.
Semuanya menunggu dengan cemas. Erland memukul dinding berkali-kali saat melihat dari jendela bundar rumah sakit, ibunya terkapar tak sadarkan diri di dalam. Lyra juga menangis dan hampir terjatuh jika An tidak memegangnya saat melihat begitu banyak darah pada ayahnya. Sementara di belakang, kedua mata Efram memerah. Dua wanita yang dicintainya masuk ruangan yang sama, begitu terkejut saat ia melihat darah di mana-mana. Efram masih saja diam hingga salah satu perawat menutup tirai jendela.
Seharusnya hari ini ia bertunangan dengan perempuan yang dicintainya. Namun, takdir begitu kejam mempermainkannya. Meski Hans telah menghentikan Erland yang terus memukul dinding, Efram masih tetap di tempatnya. Tubuh itu memang diam, tetapi jiwanya telah hancur lebur atas kejadian yang menimpa mereka. Dua wanita yang amat dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Tak bergerak sedikit pun. Sedangkan Efram hanya bisa diam tanpa melakukan apa pun. Laki-laki itu terlalu takut. Efram takut jika salah satu dari mereka, atau bahkan keduanya akan meninggalkannya.
Tiba-tiba kepala Efram terasa nyeri. Ia memejam begitu erat. Rasa sesak mulai menyeruak di dadanya. Kedua tangan laki-laki itu terangkat—menjambak rambutnya sendiri untuk meredakan rasa sakit itu. Namun, bukannya hilang, rasa sakitnya malah semakin bertambah.
“Lyra, sebaiknya kita doakan mereka. Ayahmu pasti akan sembuh, Nak.” Suara An membuat Efram membuka matanya. Ia menoleh sesaat, melihat An memeluk seorang gadis yang sedang menangis tersedu-sedu di kursi ruang tunggu.
Efram ingat kejadian siang tadi saat bagaimana ayah Lyra ingin ia membatalkan pertunangannya, dengan mengatakan bahwa putrinya sangat mencintainya. Efram juga mengingat perkataan Erland bahwa Zen bisa melakukan apa saja demi kebahagiaan putrinya. Bahkan, ia bisa mempertaruhkan nyawanya hanya untuk membuat Lyra bahagia. Namun, apakah benar Zen adalah dalang di balik kecelakaan ini? Apakah Zen tega membahayakan nyawa orang lain hanya untuk kebahagiaan Lyra? Jika benar, ini sangat gila.
Efram mendapatkan notifikasi pesan dari Joe—sopir sekaligus orang kepercayaannya. Joe mengirim sebuah gambar yang kemudian ia unduh. Gambar yang dikirim oleh Joe adalah potret rem mobil yang ditumpangi oleh ibu dan tunangannya saat mereka mengalami kecelakaan. Efram bertanya-tanya apa maksud Joe mengirim gambar itu. Tak berselang lama, Joe mengirim pesan teks kemudian.
“Tuan Efram, setelah diselidiki, salah satu penyebab kecelakaan terjadi diketahui karena rem ini tidak berfungsi. Siang tadi saya telah mengecek seluruh mesin dan tidak ada yang salah. Mobil baik-baik saja saat Nyonya Besar berangkat dari rumah. Namun, aku tidak tahu bagaimana bisa setelah berangkat dari kediaman Nona Jessie tiba-tiba rem menjadi tak berfungsi.”
Kedua tangan Efram mengepal seketika. Raut wajahnya menjadi sangat marah. Benar dugaannya, kecelakaan ini memang sudah direncanakan. Ia menatap nyalang pada gadis yang tengah menangis itu. Ponsel di tangannya ia banting seketika. Semua orang di sana terkejut melihat itu. Benar dugaannya, kecelakaan ini terjadi karena sudah direncanakan. Efram berpikir, siapa lagi yang ingin pertunangannya dibatalkan kecuali Lyra dan ayahnya? Ayah Lyra sendiri yang pasti sudah merusak rem mobil itu.bahwa semua terjadi karena Ayah Lyra telah merencanakan semuanya.
“Efram, ada apa?” tanya An.
Efram tak menjawab. Kedua kaki panjangnya melangkah lebar-lebar ke tempat Lyra bersama An duduk. Rahang laki-laki itu mengeras, urat-urat lehernya pun terlihat dengan jelas. Efram tak bisa memaafkan siapa pun yang telah menyebabkan kedua perempuan yang begitu dicintainya terbaring lemah tak berdaya di dalam sana.
Lyra tersentak kaget saat tiba-tiba Efram menariknya berdiri dan mencengkeram pergelangan tangannya. Mata laki-laki itu memerah menahan amarah. Lyra yang tadinya menangis menjadi kebingungan karena Efram begitu tiba-tiba mencengkeram tangannya.
“Benar dugaanku! Ayahmu lah yang telah merencanakan semua ini! Ayahmu ingin membunuh ibuku dan calon tunanganku!” Efram berteriak di depan Lyra yang membuat semua orang terkejut menghampirinya.
Cengkeraman di pergelangan tangannya membuat Lyra sedikit meringis karenanya. Hatinya telah hancur melihat ayahnya terluka parah akibat kecelakaan, kini dihancurkan lebih keras lagi dengan tuduhan yang dilayangkan Efram kepada ayahnya. Mulut Lyra terbuka memandang laki-laki yang merupakan sahabatnya dulu. Laki-laki yang kini penuh dengan amarah ketika melihatnya. “Ayahku juga terbaring di sana, bagaimana bisa kau menuduh ayahku ingin membunuh ibu dan calon tunanganmu?” ucap Lyra lemah. Suaranya menjadi serak akibat menangisi hari yang buruk ini. An yang tak mengerti perkataan Efram, menghampiri mereka berdua. “Efram, apa yang kau katakan? Apa maksudmu dengan mengatakan itu?” Efram menatap An sesaat lalu beralih menatap Lyra dengan amarah di wajahnya. “Joe mengirimiku pesan, Bibi. Bahwa ada yang menyabotase rem mobil yang ditumpangi oleh Ibu dan Jessie. Joe bilang, semuanya masih baik-baik saja saat ibuku berangkat dari rumah. Dia telah memeriksa semua mesin,
“I—ini ... ikat rambutku yang terbawa oleh ayah,” ucap Lyra yang terkejut memandang ikat rambut di tangannya.“Tidak salah lagi.” Efram bersuara membuat Lyra menoleh padanya. Sorot mata tajam laki-laki itu mengarah padanya. “Ayahmu yang telah merencanakan kecelakaan ini! Dan dia telah membunuh ibuku!” suara Efram sudah meninggi tanpa dia sadari, semua kekacauan yang terjadi membuat Efram begitu terpukul dan sulit mengontrol emosinya.“Tidak! Ayahku tidak mungkin pembunuhnya!” Lyra membantah tuduhan Efram. Tak terima Efram mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh.“Tetapi semua bukti mengarah pada ayahmu! Dia berusaha membunuh ibu dan tunanganku dengan merusak rem mobilnya!” teriak Efram di depan wajah Lyra.“Untuk saat ini, kami belum bisa memutuskan siapa pelakunya. Kami akan terus menyelidikinya lebih lanjut. Barang bukti akan kami ambil kembali.” Polisi memberi
Erland terduduk di samping ranjangnya—menatap gamang pada bingkai foto keluarga di tangannya. Sepasang suami istri dengan dua anak laki-laki mereka. Salah satu anak tersenyum lebar menghadap kamera, sementara anak laki-laki lebih kecil berada di gendongan ibunya. Jari-jemari Erland meraba gambar wajah wanita itu. Wanita yang baru saja meninggalkannya tanpa bisa ia duga akan secepat itu. Dadanya terasa sakit mengingat kejadian yang tidak seharusnya terjadi itu. Kejadian yang berhasil merenggut nyawa ibunya.Tubuh Erland merosot. Meringkuk di lantai dingin kamarnya. Kasih sayang ibunya adalah kasih sayang yang tak bisa digantikan dengan apa pun. Sebagai anak bungsu, Erland belum bisa hidup tanpa kasih sayang sang ibu. Ia masih membutuhkan kehadiran wanita itu untuk menjadi penyokong hidupnya.Erland masih membutuhkan kasih sayang sang ibu untuk melengkapi hari hari-harinya. Sayangnya, hal itu tidak akan pernah bisa ia dapatkan lagi.Baru saja 8 bulan lalu ay
“Tolong, biarkan aku bertemu dengan ayahku, Efram. Aku harus menemaninya.” Lyra memohon pada Efram.Efram memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.Kali ini amarahnya harus diuji karena gadis itu. “Kau tidak dengar apa yang kukatakan?” Tanya Efram masih berusaha sabar.“Aku tidak mengizinkanmu menemui ayahmu. Tidak hari ini.” Efram mengulangi perkataannya.Lyra merasa kecewa.“Tapi … kenapa?”“Kalau tidak, ya tidak.Tidak perlu banyak Tanya,” ucap Erland telak.Lyra benar-benar semakin merasa sedih mendengarnya.Ia tak bisa berjauhan dengan ayahnya sekali saja. Lyra berpikir bahwa ia harus menemani ayahnya dan selalu berada di sampingnya, tetapi karena kemarahan Efram, laki-laki itu sampai tak mengizinkannya untuk bertemu dengan ayahnya.“Efram sebentar sa—”“Ada apa Joe?”Lyra baru saja ingin mencoba bernegosiasi lagi pada Efram,
Dua hari usai Erland jatuh pingsan di dalam kamarnya, adik Efram itu memtusukan untuk kembali ke asrama kampusnya. Sebenarnya Efram masih tak tega melihat keadaan adiknya yang menderita setelah kepergian ibu mereka. Namun, Erland meyakinkan Efram bahwa dirinya ingin menjalankan kegiatannya kembali agar bisa melupakan kesedihannya.Efram memeluk Erland setelah mengantarnya sampai depan rumah besar mereka.“Aku berjanji akan menemukan pelakunya,” ucap Efram pada Erland.“Tidak perlu. Lagipula, ibu tidak akan kembali.” Erland membalasnya lemah. Tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih kembali. Duka yang menyelimuti keluarga mereka belum berakhir.“Tidak. Kita tidak bisa membiarkan pelaku pembunuh ibu hidup dengan tenang,” ucap Efram tegas.Erland mengingat bagaimana kakaknya itu menyalahkan Lyra atas semua kejadian yang menimpa keluarga mereka. Sampai-sampai kakaknya itu mengambil rumah yang mereka sewakan kepada Lyra
“Kau sudah pulang? Kebetulan sekali makanannya sudah matang.”Itu adalah suara Bibi Wan—asisten rumah tangga keluarga Efram yang telah bekerja dengannya sejak dirinya masih anak-anak. Keberadaan mini bar dapur memang cukup jauh dari pintu utama, tetapi karena tak ada pembatas antara mini bar dengan ruang tamu, Bibi dapat melihat dengan jelas kedatangan Efram dari balik pintu.Mencium sedapnya aroma yang makanan menghantarkan Efram untuk melangkah ke meja makanan, wajah lelahnya seketika berubah cerah menatap sup kesukaannya tersaji di atas meja.“Dari mana Bibi tahu aku pulang lebih cepat hari ini?” tanya Efram pada wanita paruh baya itu. Sup yang masih mengepul ditiupnya perlahan.Sembari mencuci tangannya yang mulai mengeriput, Bibi menjawab. “Bibi tidak tahu kalau kau akan pulang cepat. Saudara jauh Bibi sedang berkunjung ke rumah, jadi Bibi menyelesaikan pekerjaan lebih awal agar bisa menemui saudara Bibi.”
Lyra mengaduh karena pergelangan tangannya terasa sakit kala Efram menariknya keluar dari mobil dan menyeretnya ke dalam rumahnya. Efram menghempaskan Lyra hingga gadis itu hampir terhuyung. Bibi yang berada di dapur terkejut ketika mereka datang dan tiba-tiba Efram memperlakukan Lyra seperti itu.Lyra terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada sikap Efram yang kasar kepadanya. “Tidak bisakah kau sedikit lembut kepadaku?” tanya Lyra. Ia tak ingin menangis di depan Efram kali ini. Ia tak ingin terlihat sebagai gadis yang lemah di hadapan laki-laki yang tidak bisa mencintainya itu.Efram membuang muka sesaat, lalu menatap Lyra dengan manik tajamnya. “Siapa yang mengizinkanmu untuk menjenguk ayahmu?”“Maaf, aku tidak bertanya dulu padamu. Karena jika aku bertanya kau pasti tidak akan mengizinkanku.”Efram tahu Lyra sedang menyindirnya. Laki-laki itu tersenyum sinis. Langkah kakinya mendekat pada Lyra, menatap
Efram terawa sinis menatap wajah Lyra di balik cermin. “Lihatlah wajah ini. Semakin cantik wajahnya, semakin jahat pula orangnya.” Efram menekankan setiap kata-katanya. Lyra menggeleng—tak setuju dengan ucapan yang ditunjukan Efram kepadanya.“Lihat wajah ini!” Efram melepaskan cengkeramannya pada dagu Lyra. Gadis itu meringis pelan karenanya. “Kau dan ayahmu telah merencanakan ini semua untuk menghancurkan hari pertunanganku. Ayahmu telah membunuh ibuku dan menyebabkan Jessie tidak sadarkan diri hingga saat ini.”“Ayahku bukan pelakunya!” bantah Lyra menatap Efram yang berdiri di belakang tubuhnya pada bayangan di depan cermin. Suaranya mulai terdengar serak karena terlalu banyak menangis.“Kuncir rambut dan rem yang rusak sudah cukup membuktikan bahwa ayahmu berusaha merusak rem mobilnya. Ayahmu berniat ingin membunuh tunanganku agar aku tidak bisa melangsungkan pertunanganku di hari itu!” ucap