Cengkeraman di pergelangan tangannya membuat Lyra sedikit meringis karenanya. Hatinya telah hancur melihat ayahnya terluka parah akibat kecelakaan, kini dihancurkan lebih keras lagi dengan tuduhan yang dilayangkan Efram kepada ayahnya. Mulut Lyra terbuka memandang laki-laki yang merupakan sahabatnya dulu. Laki-laki yang kini penuh dengan amarah ketika melihatnya.
“Ayahku juga terbaring di sana, bagaimana bisa kau menuduh ayahku ingin membunuh ibu dan calon tunanganmu?” ucap Lyra lemah. Suaranya menjadi serak akibat menangisi hari yang buruk ini.
An yang tak mengerti perkataan Efram, menghampiri mereka berdua. “Efram, apa yang kau katakan? Apa maksudmu dengan mengatakan itu?”
Efram menatap An sesaat lalu beralih menatap Lyra dengan amarah di wajahnya. “Joe mengirimiku pesan, Bibi. Bahwa ada yang menyabotase rem mobil yang ditumpangi oleh Ibu dan Jessie. Joe bilang, semuanya masih baik-baik saja saat ibuku berangkat dari rumah. Dia telah memeriksa semua mesin, tetapi kecelakaan itu terjadi saat mereka berangkat dari rumah Jessie! Dan polisi mengatakan bahwa ada yang sengaja merusak rem mobil yang digunakan ibu untuk menjemput tunanganku!”
Semua orang terkejut mendengarnya. Tak terkecuali dengan Lyra. Ia pun tak menyangka jika kecelakaan ini direncanakan. Namun, Lyra tidak percaya jika ayahnya dituduh merencanakan kecelakaan yang terjadi.
“Efram, kau tidak bisa menuduh seseorang seperti itu,” ucap Hans. Erland yang sudah lebih tenang di sampingnya hanya terdiam dengan tatapan kosong—terkejut karena Efram menuduh ayah sahabatnya yang telah melakukannya. Namun, rasa sedihnya melihat keadaan sang ibu yang terbaring di dalam sana lebih mendominasi.
“Tapi kenyataannya memang benar, Paman,” ucap Efram pada Hans, lalu ketika melihat wajah Lyra lagi, cengkeraman di tangan gadis itu makin menguat. Dengan tatapan tajamnya Efram mungkin dapat membunuh Lyra di tempatnya, entah kenapa suara lembut Efram yang dulu kini berubah begitu dingin di telinga Lyra.
“Paman Zen yang merupakan ayah gadis ini, siang tadi mengatakan bahwa putri kesayangannya ini mencintaiku, dan dia ingin aku membatalkan pertunanganku dengan Jessie.”
Sejak saat itu, Lyra menyadari satu hal. Bahwa hubungannya dengan Efram sudah tidak sama lagi. Sahabat dekat yang ia cintai sejak lama itu saat ini sangat membencinya.
Pintu ruangan penanganan terbuka pasien terbuka, membuat perhatian semua orang kini teralih. Dua orang perawat mendorong brankar milik Jessie, disusul seorang dokter yang keluar dari sana. Efram melepaskan cengkeramannya membuat Lyra hampir terhuyung, laki-laki itu kemudian buru-buru menghampiri kekasihnya yang terbaring di atas brangkar pasien. Melihat kepala dan beberapa bagian tubuh Jessie yang diperban, Efram tak bisa tenang melihatnya. Laki-laki itu langsung menyerbu sang dokter dengan pertanyaannya.
“Bagaimana keadaannya, Dokter?”
“Maaf, pasien ini harus dipindahkan segera ke ruang ICU, karena keaadannya yang kritis. Silakan, suster.”
Para perawat itu pergi mendorong brankar Jessie sesuai perintah sang dokter, tetapi sang dokter masih berdiri di depan Efram dengan raut wajah yang tak terbaca oleh Efram. Hal itu mengundang pertanyaan besar bagi Efram.
“Dokter, ada apa? Ibu saya bagaimana? Apa saya bisa menjenguknya?”
“Tentu, Pak. Anda bisa menjenguknya. Namun, saya terpaksa harus menyampaikan kabar buruk ini kepada Anda. Maaf, kami sudah berjuang semaksimal mungkin, tetapi karena kecelakaan ini sangat parah, sehingga nyawa ibu anda tidak bisa tertolong.”
Bagai tersambar petir, tubuh Efram menegang, mematung di tempat. Mimpi paling buruk yang tak pernah ia bayangkan hari ini terjadi secara bertubi-tubi. Kaki laki-laki itu tiba-tiba melemas seolah-olah tak mampu untuk menopang tubuhnya lagi. Efram jatuh terduduk di lantai rumah sakit. Telinganya menjadi tuli seketika, saat Erland menangis berteriak memanggil ibu mereka dan berlari ke dalam ruangan.
“Efram …,” Meskipun An menangis di sampingnya dan memegang pundaknya, Efram tetap tak bergerak sedikit pun. Pintu ruangan yang terbuka lebar memperlihatkan Erland yang memeluk jasad ibunya dengan tersedu-sedu. Saat itulah, kinerja otak Efram baru bisa menyerap berita yang baru saja menimpanya.
Perempuan yang dicintainya telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Setetes air mata jatuh di pipi Efram. Perlahan-lahan tetesan-tetesan itu menjadi semakin banyak. Hingga laki-laki yang hatinya dilingkupi gulita itu tak lagi bisa menghalaunya. Dalam parau, suara Efram terdengar lirih menyebut nama ibunya.
“Ibu …,” tangis Efram yang dengan lemah berdiri dan menghampiri jasad ibunya. Wajahnya yang bersih diciumnya beberapa kali. Efram tak percaya, wanita yang telah melahirkannya telah pergi meninggalkannya.
“Ibuuu …,” tangis Efram penuh sesal seraya memeluk jasad ibunya, menyesal telah menyuruhnya pergi untuk menemani Jessie datang ke pertunangan mereka.
Efram menangis tersedu-sedu memeluk jasad ibunya. Hans hanya bisa mengelus bahu kedua kakak beradik yang tengah berkabung itu. An tak kalah tersedunya melihat keponakan mereka menangis di depan jasad sang ibu. Sementara di belakang, Lyra tak bisa menghentikan air matanya yang mengalir. Gadis itu tak bisa menghalau rasa sedihnya hari ini. Ibu Efram sudah sangat baik sekali padanya, tak sedikit kenangan yang mereka lalui. Ibu Efram yang telah menganggapnya sebagai keluarganya sendiri membuatnya menyayanginya tanpa alasan.
Lyra menatap Efram dengan sedih. Belum genap setahun ayah Efram pergi, sehingga tanggung jawab perusahaan mau tak mau dialihkan sepenuhnya kepada Efram. Lalu hari ini, orang yang membantu Efram mengurus perusahaan sudah tiada. Laki-laki itu pasti sangat hancur sekarang.
Tangan Efram mengepal di sisi jarit celana. Ia menatap Lyra yang menagis di ujung ruangan. Baginya, tangis gadis itu hanyalah air mata palsu yang dia tunjukkan pada semua orang. Gadis dengan wajah polos itu ternyata begitu munafik.
“Aku tidak akan memaafkan orang yang telah membunuh ibuku!” Efram tiba-tiba berkata dengan begitu dingin. Matanya lurus menatap tajam pada atensi Lyra yang saat ini melihatnya.
Kalimat Efram berhasil membuat Lyra merasa takut untuk menghadapi hari esok.
Pemakaman ibu Efram telah selesai dilaksanakan keesokan harinya yang dibantu oleh bibi dan pamannya. Hans dan An tak lama, mereka pamit pergi usai pemakaman selesai. Hari itu, kediaman Efram didatangi oleh jajaran polisi. Di ruang tamu, sudah ada Efram dan Lyra yang menanti informasi perkembangan dari polisi. Efram sengaja membawa Lyra untuk menunjukkan bukti bahwa apa yang dituduhkannya kepada ayahnya itu bukanlah sebuah tuduhan belaka. Erland tidak ikut bergabung. Adiknya itu begitu terluka dengan kepergian ibu mereka. Sampai-sampai Erland seharian hanya mengunci diri di kamarnya.
“Kami menemukan ikat rambut ini yang dililitkan di rem mobil yang rusak. Kami menyimpulkan dua hal, antara sopir berusaha menghentikan laju mobil dengan bantuan ikat rambut ini atau ikat rambut ini sengaja diikat di sana sebelum kejadian.”
Lyra meraihnya, sebuah ikat rambut berwarna merah muda yang telah dilapisi dengan plastik sebagai barang bukti. Lyra ingat betul, sore itu saat ia dan ayahnya pulang dari rumah Efram selepas hujan, ayahnya hendak mengikat rambutnya ketika tiba-tiba Ibu Efram datang mengunjungi rumahnya. Ibu Efram mengobrol dengan ayahnya—memintanya untuk menjadi wakil suaminya menjemput tunangan Efram. Karena ibu Efram telah menganggap mereka seperti keluarganya sendiri, Lyra diminta untuk datang bersama Joe—sopir kepercayaan Efram—ke pesta pertunangan Efram.
Karena telah mengobrol cukup lama, ayahnya lupa di mana menaruh ikat rambutnya itu. Mungkin saja ayah Lyra menaruhnya di kantung celana saat itu. Lalu, benda ini digunakan untuk berusaha menyelamatkan nasib mereka dari kecelakaan. Begitu pikir Lyra.
“I—ini ... ikat rambutku yang terbawa oleh ayah,” ucap Lyra yang terkejut memandang ikat rambut di tangannya.“Tidak salah lagi.” Efram bersuara membuat Lyra menoleh padanya. Sorot mata tajam laki-laki itu mengarah padanya. “Ayahmu yang telah merencanakan kecelakaan ini! Dan dia telah membunuh ibuku!” suara Efram sudah meninggi tanpa dia sadari, semua kekacauan yang terjadi membuat Efram begitu terpukul dan sulit mengontrol emosinya.“Tidak! Ayahku tidak mungkin pembunuhnya!” Lyra membantah tuduhan Efram. Tak terima Efram mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh.“Tetapi semua bukti mengarah pada ayahmu! Dia berusaha membunuh ibu dan tunanganku dengan merusak rem mobilnya!” teriak Efram di depan wajah Lyra.“Untuk saat ini, kami belum bisa memutuskan siapa pelakunya. Kami akan terus menyelidikinya lebih lanjut. Barang bukti akan kami ambil kembali.” Polisi memberi
Erland terduduk di samping ranjangnya—menatap gamang pada bingkai foto keluarga di tangannya. Sepasang suami istri dengan dua anak laki-laki mereka. Salah satu anak tersenyum lebar menghadap kamera, sementara anak laki-laki lebih kecil berada di gendongan ibunya. Jari-jemari Erland meraba gambar wajah wanita itu. Wanita yang baru saja meninggalkannya tanpa bisa ia duga akan secepat itu. Dadanya terasa sakit mengingat kejadian yang tidak seharusnya terjadi itu. Kejadian yang berhasil merenggut nyawa ibunya.Tubuh Erland merosot. Meringkuk di lantai dingin kamarnya. Kasih sayang ibunya adalah kasih sayang yang tak bisa digantikan dengan apa pun. Sebagai anak bungsu, Erland belum bisa hidup tanpa kasih sayang sang ibu. Ia masih membutuhkan kehadiran wanita itu untuk menjadi penyokong hidupnya.Erland masih membutuhkan kasih sayang sang ibu untuk melengkapi hari hari-harinya. Sayangnya, hal itu tidak akan pernah bisa ia dapatkan lagi.Baru saja 8 bulan lalu ay
“Tolong, biarkan aku bertemu dengan ayahku, Efram. Aku harus menemaninya.” Lyra memohon pada Efram.Efram memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.Kali ini amarahnya harus diuji karena gadis itu. “Kau tidak dengar apa yang kukatakan?” Tanya Efram masih berusaha sabar.“Aku tidak mengizinkanmu menemui ayahmu. Tidak hari ini.” Efram mengulangi perkataannya.Lyra merasa kecewa.“Tapi … kenapa?”“Kalau tidak, ya tidak.Tidak perlu banyak Tanya,” ucap Erland telak.Lyra benar-benar semakin merasa sedih mendengarnya.Ia tak bisa berjauhan dengan ayahnya sekali saja. Lyra berpikir bahwa ia harus menemani ayahnya dan selalu berada di sampingnya, tetapi karena kemarahan Efram, laki-laki itu sampai tak mengizinkannya untuk bertemu dengan ayahnya.“Efram sebentar sa—”“Ada apa Joe?”Lyra baru saja ingin mencoba bernegosiasi lagi pada Efram,
Dua hari usai Erland jatuh pingsan di dalam kamarnya, adik Efram itu memtusukan untuk kembali ke asrama kampusnya. Sebenarnya Efram masih tak tega melihat keadaan adiknya yang menderita setelah kepergian ibu mereka. Namun, Erland meyakinkan Efram bahwa dirinya ingin menjalankan kegiatannya kembali agar bisa melupakan kesedihannya.Efram memeluk Erland setelah mengantarnya sampai depan rumah besar mereka.“Aku berjanji akan menemukan pelakunya,” ucap Efram pada Erland.“Tidak perlu. Lagipula, ibu tidak akan kembali.” Erland membalasnya lemah. Tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih kembali. Duka yang menyelimuti keluarga mereka belum berakhir.“Tidak. Kita tidak bisa membiarkan pelaku pembunuh ibu hidup dengan tenang,” ucap Efram tegas.Erland mengingat bagaimana kakaknya itu menyalahkan Lyra atas semua kejadian yang menimpa keluarga mereka. Sampai-sampai kakaknya itu mengambil rumah yang mereka sewakan kepada Lyra
“Kau sudah pulang? Kebetulan sekali makanannya sudah matang.”Itu adalah suara Bibi Wan—asisten rumah tangga keluarga Efram yang telah bekerja dengannya sejak dirinya masih anak-anak. Keberadaan mini bar dapur memang cukup jauh dari pintu utama, tetapi karena tak ada pembatas antara mini bar dengan ruang tamu, Bibi dapat melihat dengan jelas kedatangan Efram dari balik pintu.Mencium sedapnya aroma yang makanan menghantarkan Efram untuk melangkah ke meja makanan, wajah lelahnya seketika berubah cerah menatap sup kesukaannya tersaji di atas meja.“Dari mana Bibi tahu aku pulang lebih cepat hari ini?” tanya Efram pada wanita paruh baya itu. Sup yang masih mengepul ditiupnya perlahan.Sembari mencuci tangannya yang mulai mengeriput, Bibi menjawab. “Bibi tidak tahu kalau kau akan pulang cepat. Saudara jauh Bibi sedang berkunjung ke rumah, jadi Bibi menyelesaikan pekerjaan lebih awal agar bisa menemui saudara Bibi.”
Lyra mengaduh karena pergelangan tangannya terasa sakit kala Efram menariknya keluar dari mobil dan menyeretnya ke dalam rumahnya. Efram menghempaskan Lyra hingga gadis itu hampir terhuyung. Bibi yang berada di dapur terkejut ketika mereka datang dan tiba-tiba Efram memperlakukan Lyra seperti itu.Lyra terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada sikap Efram yang kasar kepadanya. “Tidak bisakah kau sedikit lembut kepadaku?” tanya Lyra. Ia tak ingin menangis di depan Efram kali ini. Ia tak ingin terlihat sebagai gadis yang lemah di hadapan laki-laki yang tidak bisa mencintainya itu.Efram membuang muka sesaat, lalu menatap Lyra dengan manik tajamnya. “Siapa yang mengizinkanmu untuk menjenguk ayahmu?”“Maaf, aku tidak bertanya dulu padamu. Karena jika aku bertanya kau pasti tidak akan mengizinkanku.”Efram tahu Lyra sedang menyindirnya. Laki-laki itu tersenyum sinis. Langkah kakinya mendekat pada Lyra, menatap
Efram terawa sinis menatap wajah Lyra di balik cermin. “Lihatlah wajah ini. Semakin cantik wajahnya, semakin jahat pula orangnya.” Efram menekankan setiap kata-katanya. Lyra menggeleng—tak setuju dengan ucapan yang ditunjukan Efram kepadanya.“Lihat wajah ini!” Efram melepaskan cengkeramannya pada dagu Lyra. Gadis itu meringis pelan karenanya. “Kau dan ayahmu telah merencanakan ini semua untuk menghancurkan hari pertunanganku. Ayahmu telah membunuh ibuku dan menyebabkan Jessie tidak sadarkan diri hingga saat ini.”“Ayahku bukan pelakunya!” bantah Lyra menatap Efram yang berdiri di belakang tubuhnya pada bayangan di depan cermin. Suaranya mulai terdengar serak karena terlalu banyak menangis.“Kuncir rambut dan rem yang rusak sudah cukup membuktikan bahwa ayahmu berusaha merusak rem mobilnya. Ayahmu berniat ingin membunuh tunanganku agar aku tidak bisa melangsungkan pertunanganku di hari itu!” ucap
(Warning! Ada sedikit adegan yang tidak cocok untuk di bawah umur!)Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika kedua mata Lyra masih tetap terjaga. Ia tak kunjung bisa memejamkan matanya usai pertengkarannya dengan Efram sore tadi—yang berhasil mengusik pikirannya hingga kini. Selain pertengkarannya dengan Efram, hal yang membuat Lyra tak bisa tidur karena memikirkan di mana keberadaan Efram hingga larut malam seperti ini laki-laki itu tak kunjung pulang.Efram sudah pergi sejak jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Usai pertengkaran mereka reda beberapa saat lalu, Lyra melihat mobil Efram pergi meninggalkan pelataran rumah, padahal Lyra tahu hari ini adalah hari libur Joe untuk pulang ke rumahnya. Itu artinya, Efram pergi seorang diri. Lyra terus bertanya-tanya ke mana Efram pergi seorang diri hingga larut malam begini?Lyra berusaha memejamkan matanya. Namun, sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah Efram. Lyra beranjak d