“I—ini ... ikat rambutku yang terbawa oleh ayah,” ucap Lyra yang terkejut memandang ikat rambut di tangannya.
“Tidak salah lagi.” Efram bersuara membuat Lyra menoleh padanya. Sorot mata tajam laki-laki itu mengarah padanya. “Ayahmu yang telah merencanakan kecelakaan ini! Dan dia telah membunuh ibuku!” suara Efram sudah meninggi tanpa dia sadari, semua kekacauan yang terjadi membuat Efram begitu terpukul dan sulit mengontrol emosinya.
“Tidak! Ayahku tidak mungkin pembunuhnya!” Lyra membantah tuduhan Efram. Tak terima Efram mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh.
“Tetapi semua bukti mengarah pada ayahmu! Dia berusaha membunuh ibu dan tunanganku dengan merusak rem mobilnya!” teriak Efram di depan wajah Lyra.
“Untuk saat ini, kami belum bisa memutuskan siapa pelakunya. Kami akan terus menyelidikinya lebih lanjut. Barang bukti akan kami ambil kembali.” Polisi memberi penjelasan. Efram menghembuskan napasnya dan mencoba meredam emosinya agar tak meledak saat itu juga.
“Baik, Pak, terima kasih atas kerja samanya.”
Efram mengantar petugas kepolisian sampai di depan pintu. Saat ia kembali, Efram melihat Lyra yang menangis di sofa. Entah kenapa, saat melihat wajah Lyra saat ini hanya bisa mengingatkannya pada kematian ibunya. Melihat wajah gadis itu hanya akan membuatnya marah. Efram tidak bisa jika harus menyembunyikan kemarahannya terhadap Lyra. Ia benar-benar kecewa, Efram merasa dikhianati oleh keluarga yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri.
“Di sini akulah yang kehilangan seseorang yang sangat kucintai. Seharusnya aku yang menangis. Air matamu itu sama sekali tidak berguna! Jadi, tidak perlu berpura-pura sedih di depanku,” ucap Efram. Nada suaranya begitu dingin di telinga Lyra.
Lyra menoleh pada Efram. Sorot matanya begitu terluka. Efram yang dulu hangat kepadanya, kini menjadi begitu dingin saat berbicara pada Lyra.
“Aku tidak percaya kenapa kau bisa-bisanya mengira ayahku lah yang merencanakan semuanya. Ayahku tidak mungkin tega berniat menghilangkan nyawa orang lain.”
Efram membuang muka. “Tapi semua tuduhan mengarah pada ayahmu. Dan dia adalah orang yang paling mungkin melakukan semuanya, setelah apa yang kalian katakan padaku.”
Lyra yang menangis mencoba menahan sesak yang menyeruak, ditatapnya lamat-lamat mata sahabat yang telah membencinya itu. “Ayahku tidak mungkin melakukan itu, Efram. Dia sangat menyayangimu seperti anaknya sendiri, mana mungkin dia tega membunuh ibumu?” Lirih Lyra yang begitu memelas pada Efram. Ia bersikukuh meyakinkan Efram untuk tidak menuduh ayahnya, karena Lyra yakin bahwa ayahnya tidak akan tega melakukan semua ini. Ayahnya tidak akan melukai orang lain apalagi keluarga Efram yang begitu dekat dengan keluarganya.
“Tidak. Dia hanya menyayangimu, putri kesayangannya,” potong Efram. “Oh, aku tahu. Bisa saja selama ini dia hanya berpura-pura baik kepada kami. Padahal keluargaku sudah sangat baik kepada kalian. Bahkan, ibu dan ayahku sudah menganggap ayahmu seperti saudaranya sendiri. Aku tidak menyangka ayahmu akan membalasku dengan seperti ini.”
Mulut Lyra hampir terbuka mendengar pernyataan menyakitkan Efram. Laki-laki itu benar-benar menyakitinya dengan menuduh ayahnya. Tak kuasa dengan sikap Efram padanya, Lyra bangkit dari sofa—berlari ke arah Efram dan menggoyang-goyangkan lengan laki-laki itu.
“Efram ... percayalah ... ayahku pasti tidak mungkin melakukannya. Percayalah bahwa ayahku bukan pembunuh, Efram.” Lyra terisak, susah payah gadis itu berbicara hingga hampir tersedak tangisnya sendiri.
Efram masih membuang muka tanpa memedulikan perkataan Lyra. Jika dulu ia begitu berhati-hati untuk tidak menyakiti perasaan Lyra atau pun membuat gadis itu menangis, kini telah berbeda, Efram begitu kecewa dan hanya akan merasa marah saat lagi-lagi melihat wajah gadis yang merupakan ayah dari pembunuh ibunya. Ia bahkan muak untuk sekadar menatap wajahnya sekarang.
“Jo!” teriak Efram memanggil nama asisten kepercayaannya.
Seperti biasa, Jo yang selalu siap sedia ketika Efram membutuhkannya, segera memenuhi panggilan Efram. “Tuan memanggil saya.” Jo menunduk sekilas di depan Efram.
“Aku ingin rumah yang disewakan ayahku kepada Paman Zen diambil kembali. Segera urus semuanya. Barang-barang yang ada tidak boleh sampai tersisa satu pun.” Ucap Efram membuat Lyra yang masih menangis di lengan Efram, membulatkan matanya. Gadis yang terisak itu mendongak—menatap wajah menawan Efram tepat di matanya. Ketika mata itu balas menatapnya, yang dapat dilihat Lyra adalah rahang Efram yang mengeras saat tatapan mereka bertemu.
“A—apa kau bilang?” tanya Lyra tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Ayahku masih koma di rumah sakit, aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain dia, jika kau mengambil rumah kami lalu aku akan pergi ke mana, Efram?”
Suara Lyra terdengar parau. Gadis itu tak pernah membayangkan hal yang begitu menyedihkan ini terjadi padanya. Hanya karena mencintai seseorang seperti Efram, itu seperti sebuah kesalahan besar yang diperbuatnya. Sehingga, Lyra harus menerima hukuman yang setimpal atas kesalahannya.
Efram menoleh pada Lyra yang masih setia memeluk lengannya. Dengan wajah tanpa ekspresi, Efram menghempaskan tangan Lyra dari lengannya. Kedua mata gadis itu sembab menatapnya. “Jangan khawatir. Mulai besok kau akan tinggal di rumahku. Kau tidak boleh ke mana-mana sebelum ayahmu sembuh dan mengakui semua perbuatannya.”
Lyra menggeleng cepat, tidak setuju dengan perkataan Efram.
“Tidak. Jangan Efram. Efram!” Efram hendak menuju ke lantai atas ketika Lyra mengejarnya dan menahan tangannya. Mencoba menghentikan Efram melakukan semua ini padanya, sebelum hubungannya dengan Efram semakin memburuk. Laki-laki itu mau tak mau berhenti melangkah.
“Tidak. Jangan, Efram, aku mohon … .” Lyra tersedu, ia merasa sudah seperti pengemis yang memohon pada laki-laki di hadapannya.
“Aku tidak meminta persetujuanmu,” telak Efram. Dengan kasar, laki-laki itu menghempaskan tangan Lyra di bahunya, sehingga membuat gadis itu terjatuh di lantai dengan menangis.
“Jo, cepat lakukan apa yang aku perintahkan!” titah Efram.
“Baik, Tuan.” Jo lalu pergi meninggalkan drama pertikaian sepasang sahabat yang kini telah asing itu.
“Jangan … .”
Efram meninggalkan Lyra yang menangis pilu di bawah tangga. Sepertinya, Efram akan memberi rasa sakit yang sama kepada Lyra seperti rasa sakit yang ia rasakan saat ini.
Erland terduduk di samping ranjangnya—menatap gamang pada bingkai foto keluarga di tangannya. Sepasang suami istri dengan dua anak laki-laki mereka. Salah satu anak tersenyum lebar menghadap kamera, sementara anak laki-laki lebih kecil berada di gendongan ibunya. Jari-jemari Erland meraba gambar wajah wanita itu. Wanita yang baru saja meninggalkannya tanpa bisa ia duga akan secepat itu. Dadanya terasa sakit mengingat kejadian yang tidak seharusnya terjadi itu. Kejadian yang berhasil merenggut nyawa ibunya.Tubuh Erland merosot. Meringkuk di lantai dingin kamarnya. Kasih sayang ibunya adalah kasih sayang yang tak bisa digantikan dengan apa pun. Sebagai anak bungsu, Erland belum bisa hidup tanpa kasih sayang sang ibu. Ia masih membutuhkan kehadiran wanita itu untuk menjadi penyokong hidupnya.Erland masih membutuhkan kasih sayang sang ibu untuk melengkapi hari hari-harinya. Sayangnya, hal itu tidak akan pernah bisa ia dapatkan lagi.Baru saja 8 bulan lalu ay
“Tolong, biarkan aku bertemu dengan ayahku, Efram. Aku harus menemaninya.” Lyra memohon pada Efram.Efram memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.Kali ini amarahnya harus diuji karena gadis itu. “Kau tidak dengar apa yang kukatakan?” Tanya Efram masih berusaha sabar.“Aku tidak mengizinkanmu menemui ayahmu. Tidak hari ini.” Efram mengulangi perkataannya.Lyra merasa kecewa.“Tapi … kenapa?”“Kalau tidak, ya tidak.Tidak perlu banyak Tanya,” ucap Erland telak.Lyra benar-benar semakin merasa sedih mendengarnya.Ia tak bisa berjauhan dengan ayahnya sekali saja. Lyra berpikir bahwa ia harus menemani ayahnya dan selalu berada di sampingnya, tetapi karena kemarahan Efram, laki-laki itu sampai tak mengizinkannya untuk bertemu dengan ayahnya.“Efram sebentar sa—”“Ada apa Joe?”Lyra baru saja ingin mencoba bernegosiasi lagi pada Efram,
Dua hari usai Erland jatuh pingsan di dalam kamarnya, adik Efram itu memtusukan untuk kembali ke asrama kampusnya. Sebenarnya Efram masih tak tega melihat keadaan adiknya yang menderita setelah kepergian ibu mereka. Namun, Erland meyakinkan Efram bahwa dirinya ingin menjalankan kegiatannya kembali agar bisa melupakan kesedihannya.Efram memeluk Erland setelah mengantarnya sampai depan rumah besar mereka.“Aku berjanji akan menemukan pelakunya,” ucap Efram pada Erland.“Tidak perlu. Lagipula, ibu tidak akan kembali.” Erland membalasnya lemah. Tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih kembali. Duka yang menyelimuti keluarga mereka belum berakhir.“Tidak. Kita tidak bisa membiarkan pelaku pembunuh ibu hidup dengan tenang,” ucap Efram tegas.Erland mengingat bagaimana kakaknya itu menyalahkan Lyra atas semua kejadian yang menimpa keluarga mereka. Sampai-sampai kakaknya itu mengambil rumah yang mereka sewakan kepada Lyra
“Kau sudah pulang? Kebetulan sekali makanannya sudah matang.”Itu adalah suara Bibi Wan—asisten rumah tangga keluarga Efram yang telah bekerja dengannya sejak dirinya masih anak-anak. Keberadaan mini bar dapur memang cukup jauh dari pintu utama, tetapi karena tak ada pembatas antara mini bar dengan ruang tamu, Bibi dapat melihat dengan jelas kedatangan Efram dari balik pintu.Mencium sedapnya aroma yang makanan menghantarkan Efram untuk melangkah ke meja makanan, wajah lelahnya seketika berubah cerah menatap sup kesukaannya tersaji di atas meja.“Dari mana Bibi tahu aku pulang lebih cepat hari ini?” tanya Efram pada wanita paruh baya itu. Sup yang masih mengepul ditiupnya perlahan.Sembari mencuci tangannya yang mulai mengeriput, Bibi menjawab. “Bibi tidak tahu kalau kau akan pulang cepat. Saudara jauh Bibi sedang berkunjung ke rumah, jadi Bibi menyelesaikan pekerjaan lebih awal agar bisa menemui saudara Bibi.”
Lyra mengaduh karena pergelangan tangannya terasa sakit kala Efram menariknya keluar dari mobil dan menyeretnya ke dalam rumahnya. Efram menghempaskan Lyra hingga gadis itu hampir terhuyung. Bibi yang berada di dapur terkejut ketika mereka datang dan tiba-tiba Efram memperlakukan Lyra seperti itu.Lyra terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada sikap Efram yang kasar kepadanya. “Tidak bisakah kau sedikit lembut kepadaku?” tanya Lyra. Ia tak ingin menangis di depan Efram kali ini. Ia tak ingin terlihat sebagai gadis yang lemah di hadapan laki-laki yang tidak bisa mencintainya itu.Efram membuang muka sesaat, lalu menatap Lyra dengan manik tajamnya. “Siapa yang mengizinkanmu untuk menjenguk ayahmu?”“Maaf, aku tidak bertanya dulu padamu. Karena jika aku bertanya kau pasti tidak akan mengizinkanku.”Efram tahu Lyra sedang menyindirnya. Laki-laki itu tersenyum sinis. Langkah kakinya mendekat pada Lyra, menatap
Efram terawa sinis menatap wajah Lyra di balik cermin. “Lihatlah wajah ini. Semakin cantik wajahnya, semakin jahat pula orangnya.” Efram menekankan setiap kata-katanya. Lyra menggeleng—tak setuju dengan ucapan yang ditunjukan Efram kepadanya.“Lihat wajah ini!” Efram melepaskan cengkeramannya pada dagu Lyra. Gadis itu meringis pelan karenanya. “Kau dan ayahmu telah merencanakan ini semua untuk menghancurkan hari pertunanganku. Ayahmu telah membunuh ibuku dan menyebabkan Jessie tidak sadarkan diri hingga saat ini.”“Ayahku bukan pelakunya!” bantah Lyra menatap Efram yang berdiri di belakang tubuhnya pada bayangan di depan cermin. Suaranya mulai terdengar serak karena terlalu banyak menangis.“Kuncir rambut dan rem yang rusak sudah cukup membuktikan bahwa ayahmu berusaha merusak rem mobilnya. Ayahmu berniat ingin membunuh tunanganku agar aku tidak bisa melangsungkan pertunanganku di hari itu!” ucap
(Warning! Ada sedikit adegan yang tidak cocok untuk di bawah umur!)Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika kedua mata Lyra masih tetap terjaga. Ia tak kunjung bisa memejamkan matanya usai pertengkarannya dengan Efram sore tadi—yang berhasil mengusik pikirannya hingga kini. Selain pertengkarannya dengan Efram, hal yang membuat Lyra tak bisa tidur karena memikirkan di mana keberadaan Efram hingga larut malam seperti ini laki-laki itu tak kunjung pulang.Efram sudah pergi sejak jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Usai pertengkaran mereka reda beberapa saat lalu, Lyra melihat mobil Efram pergi meninggalkan pelataran rumah, padahal Lyra tahu hari ini adalah hari libur Joe untuk pulang ke rumahnya. Itu artinya, Efram pergi seorang diri. Lyra terus bertanya-tanya ke mana Efram pergi seorang diri hingga larut malam begini?Lyra berusaha memejamkan matanya. Namun, sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah Efram. Lyra beranjak d
Isakannya tak dapat ia bendung lagi saat Lyra tiba di kamarnya dan mengunci pintu. Gadis itu membanting tubuhnya ke ranjang dan menangis dengan keras, meluapkan semua perasaan sakit yang berhasil menghimpit dadanya. Hatinya benar-benar sakit. Efram telah memukul harga dirinya dengan telak sebagai seorang perempuan dan sahabat dari laki-laki itu. Lyra menangis sepanjang malam hingga jatuh tertidur. Pagi harinya, Lyra terbangun karena mendengar ketukan di pintu kamarnya. Melirik jam di nakas, rupanya ia bangun cukup siang. Lyra hampir melupakan tugas-tugasnya yang pernah diberitahukan Efram bahwa laki-laki itu memindahkan semua tugas bersih-bersih Bibi Wan kepadanya. Sementara tugas Bibi Wan sekarang hanya tinggal memasak dan mengurus keperluan di dapur saja. Lyra menyibak selimut, beranjak dari tempat tidurnya dan menatap cermin—terkejut melihat kedua matanya yang sembab karena habis menangis semalaman. Ia menoleh sesaat kea rah pintu kala ketukan kembali terdengar. R