Share

Perintah Sang Penguasa

Erland terduduk di samping ranjangnya—menatap gamang pada bingkai foto keluarga di tangannya. Sepasang suami istri dengan dua anak laki-laki mereka. Salah satu anak tersenyum lebar menghadap kamera, sementara anak laki-laki lebih kecil berada di gendongan ibunya. Jari-jemari Erland meraba gambar wajah wanita itu. Wanita yang baru saja meninggalkannya tanpa bisa ia duga akan secepat itu. Dadanya terasa sakit mengingat kejadian yang tidak seharusnya terjadi itu. Kejadian yang berhasil merenggut nyawa ibunya.

Tubuh Erland merosot. Meringkuk di lantai dingin kamarnya. Kasih sayang ibunya adalah kasih sayang yang tak bisa digantikan dengan apa pun. Sebagai anak bungsu, Erland belum bisa hidup tanpa kasih sayang sang ibu. Ia masih membutuhkan kehadiran wanita itu untuk menjadi penyokong hidupnya.

Erland masih membutuhkan kasih sayang sang ibu untuk melengkapi hari hari-harinya. Sayangnya, hal itu tidak akan pernah bisa ia dapatkan lagi.

Baru saja 8 bulan lalu ayah mereka meninggal karena penyakit jantungnya, dan sekarang sang ibu yang harus pergi meninggalkannya.

Air mata Erland jatuh perlahan. “Aku tidak tahu harus melakukan apa, Bu … maafkan aku.” Erland menangis tersedu.Anak laki-laki paling bungsu itu tak mampu membendung kesedihannya.

Sementara di balik pintu kamar Erland, Jo tak kuasa jika harus mengetuk pintu kamar Erland. Ia menatap nanar pada telepon rumah portable  yang masih terhubung dengan panggilan. Jo menggeleng, ini bukan waktu yang tepat untuk memberikan panggilan dari kampus adik tuan mudanya itu. Meskipun hari ini adalah hari ketiga setelah pemakaman nyonya besarnya, selimut duka di keluarga ini tidak hilang dengan mudah.

“Halo … .”Jo berlalu pergi dengan mencoba bernegosiasi lagi untuk meminta dispensasi bagi Erland. Karena pihak kampus berkata, jika kemarin laki-laki itu hanya izin dari kampus selama dua hari untuk menghadiri pertunangan kakaknya.

****

Efram masuk ke ruang kerja ibunya. Semuanya masih terasa sama, hanya saja ruangan itu tampak sunyi tanpa penghuninya.Efram duduk, mengamati meja kerja ibunya yang tampak bersih.Hanya ada kalender dan sebuah bingkai foto dirinya dengan Erland saat masih anak-anak.Efram menggeser kursi yang didudukinya ke arah lemari kaca yang berada di sisi meja.

Efram mengambil sebuah buku album foto dari dalam lemari.Membuka halaman pertama—yang menampilkan foto pernikahan ibu dan ayahnya.Efram terus menjelajahi lembar demi lembar foto yang menampilkan berbagai momen pertumbuhan dirinya dan Erland. Sampai ia berhenti pada suatu foto yang baru diambil satu tahun yang lalu. Di mana formasi keluarga mereka masih lengkap.Ada ayah, ibu, Efram dan juga Erland.

Efram membalik halaman lagi. Foto dirinya mengenakan jas dengan sang ibu di depan perusahaan mereka. Foto itu diambil empat bulan lalu, tepat pada saat peresmian CEO baru—yakni dirinya—pasca ayahnya meninggal dunia. Sebagai anak laki-laki pertama yang harus mengemban tanggung jawab menggantikan posisi ayahnya dalam memimpin perusahaan.Sebagai pemimpin baru, ibunya selalu menjadi orang pertama yang siaga membantunya dalam mengurus perusahaan.

Rahang Efram tiba-tiba mengetat kala mengingat lagi bagaimanacara ibunya meninggal.Matanya yang memerah menahan amarah, perlahan-lahan mengeluarkan air mata yang membendung.Pegangannya di album foto itu menguat.Tak bisa menahan emosinya yang meluap, karena belum siap ditinggal oleh wanita yang teramat dicintainya itu, Efram melempar kalender yang berada di atas meja hingga jatuh ke lantai.

Efram tak bisa membendung kesedihannya lagi.Laki-laki itu membanting tubuhnya di kursi, mengusap wajahnya dengan kasar. Semakin ia menahan rasa sakit akan kehilangan sang ibu, semakin ia tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi.

Menatap foto ibunya kembali, Efram meraba foto wajah ibunya. Laki-laki itu membawa album foto itu ke dalam pelukannya.Seraya menatap langit-langit, membiarkan air matanya terus menetes, Efram berkata dalam lirih. “Aku berjanji akan menemukan pelaku pembunuhanmu, ibu.”

****

Lyra membuka pintu kamar tempat tinggal barunya.Gadis itu menyeret koper berisi pakaian-pakaiannya ke dalam.Seperti yang sudah diperintahkan oleh Efram, mulai hari ini Lyra akan tinggal di rumah besar laki-laki itu.

Masuk lebih dalam, Lyra mengamati interior yang tidak banyak berubah. Kamar yang diperintahkan Efram untuk ia tinggali ini memang sempat menjadi miliknya dahulu, saat ia dan ayahnya masih menumpang di rumah ini. Rumah keluarga Alexander.Saat ayahnya masih menjadi asisten kepercayaan Tuan dan Nyonya Alexander saat Alexander masih hidup.Sebelum akhirnya ayahnya menyewa rumah sederhana mlik keluarga Alexander karena Lyra semakin tumbuh dewasa. Bagi ayahnya, Lyra tak bisa tinggal bersama dengan dua anak laki-laki seusianya.

Lyra mulai meletakkan semua barang-barangnya dengan rapi di tempatnya.Mengganti sprei, hingga membersihkan sedikit debu yang tertinggal.Karena sudah lama sekali kamar itu tak ditinggali.

Lyra duduk di atas ranjang. Mengatur napasnya yang sedikit tersengal sehabis menata barang-barang, ia menoleh ketika seseorang mengetuk pintunya yang terbuka. Joo muncul dari pintu.Lyra bergegas berdiri saat melihatnya.

“Maaf, mengganggu waktu istirahat anda.Kedatangan saya ke sini untuk memberitahukan bahwa ayah anda sudah dipindahkan ke rumah sakit keluarga Alexander bersama dengan tunangan Tuan Efram pagi ini. Tuan Efram berpesan agar anda tidak datang ke rumah sakit tanpa seizin Tuan Efram.”

Mulut Lyra hampir terbuka mendengarnya. “Lalu … bagaimana jika aku ingin menjenguk ayahku?”

“Anda harus mendapatkan izin dulu dari Tuan Efram,” ucap Jo seraya mengulangi informasi yang dia sampaikan. “Jika butuh apa-apa, anda bisa memanggil saya. Saya permisi.”

Usai kepergian Joo yang mengatakan informasi yang cukup membuatnya tercengang, Lyra termenung lama di tempatnya berdiri.Ia tak bisa menduga hal yang belum tentu ia pikirkan, tapi Lyra merasa Efram sedang mencoba menghalanginya untuk menjenguk ayahnya. Mengingat bahwa laki-laki itu menjatuhkan semua tuduhan kepada ayahnya.

Lyra tak bisa tinggal diam. Dia harus selalu menemani ayahnya dalam keadaan seperti ini.Lyra tak bisa meninggalkan ayahnya sendirian. Iya, Lyra harus berbicara pada Efram.

Lyra bergegas menuju kamar Efram. Namun, saat sampai di sana laki-laki itu tidak ada di kamarnya. Lyra melihat sebuah pintu ruangan yang terbuka. Mungkin saja, Efram ada di sana. Pikir Lyra. Dan ternyata benar, Efram sedang duduk seraya menatap buku album foto di tangannya.

Pandangan Efram yang jatuh pada foto ibunya, kini beralih pada sosok yang berdiri mematung di depan pintu. Tatapan mata Efram dan Lyra bertemu.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap tanpa ada kata yang keluar dari bibir.Sampai suara Efram yang dingin memecah keheningan di antara mereka.

“Bukankah sudah jelas perintah yang kukatakan lewat Jo, mengapa kau masih datang ke sini?” Begitu cara Efram berbicara dengan Lyra. Tidak sehangat dahulu.Yang laki-laki itu katakan padanya sekarang hanya nada yang penuh kebencian. Seolah-olah Lyra adalah penyebab kehancuran di dalam hidupnya.

Lyra tidak berani menghampiri Efram.Gadis itu hanya berdiri di ambang pintu. Meremas jarinya pelan, Lyra berkata. “Bolehkah aku menemui ayahku hari ini? Aku belum melihatnya lagi setelah dia pindah ke rumah sakit keluargamu.”

Tatapan Efram menajam saat mendengar pertanyaan gadis itu.“Ini rumahku, dan siapa pun yang tinggal di rumah ini harus patuh pada perintahku!” Efram menunjukkan sisi penguasa di dalam dirinya pada Lyra. Laki-laki yang dulu teduh itu kini berubah angkuh sekali di depan Lyra.

Mendengarnya membuat hati Lyra merasa sedih.“Tolong, biarkan aku bertemu dengan ayahku, Efram. Aku harus menemaninya,” keukeuh Lyra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status