“Mengapa di sini tertulis aku harus menandatangani kontrak untuk menjadi istrimu?” Lyra mengulang pertanyaannya karena tak mengerti sekaligus terkejut dengan tulisan yang baru saja ia baca.
Lyra menoleh pada Efram yang duduk di sebelahnya. Menatap mata laki-laki itu untuk mencari jawaban di matanya. Namun, Efram hanya memberikan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh Lyra.
Lyra beralih pada pria yang memberikan berkas itu kepadanya. “Maaf, boleh saya tahu maksud dari berkas ini?”
“Tentu saja,” jawab pria itu.
Efram yang bersandar, kini menegakkan punggunya, hal itu membuat Lyra menatap sekilas karena pergerakannya. Namun, karena rasa penasarannya, Lyra menanti jawaban dari pria di depannya.
“Begini, Nona Lyra. Alangkah lebih baik jika saya memperkenalkan diri saya dulu kepada Anda. Nama saya Bov, dan saya adalah pengacara Tuan Alexander semenjak beliau masih hidup. Dan pertemuan kita di sini adalah tidak la
“Tidak bisakah kau tidak menyalahkan ayahku sekali saja?” Lyra yang tak tahan dengan tuduhan Efram yang selalu menyalahkan ayahnya, akhirnya berterus terang kepada laki-laki itu.“Tidak bisa, karena ayahmu memang pelakunya. Lagipula, bukankah ini yang kau cita-citakan sejak dulu? Menikah dengan orang yang kau cintai? Bukankah itu juga yang diingankan oleh ayahmu agar aku menikahimu?” balas Efram dengan angkuhnya.Jika ini bukan restaurant dan dipenuhi banyak orang, Lyra pasti sudah menampar laki-laki itu. Mulut Efram benar-benar mudah mengatakan hal yang menyakitkan pada Lyra sekarang.“Bukan berarti karena aku mencintaimu, lalu kau akan melakukan ini padaku, Efram. Aku tidak pernah berpikir ingin menikah denganmu, karena di hatimu hanya ada orang lain.”Efram mendengus mendengar pernyataan Lyra. Ia sama sekali tak mempercayai perkataan gadis itu. Baginya semua perkataan gadis yang ia anggap naif itu sudah tak bisa dipe
Selama perjalanan, air mata Lyra menetes tanpa ia minta. Perasaan kecewanya terhadap Efram tak bisa dibendung lagi olehnya. Lyra tak bisa terus-terusan hidup seperti ini bersama Efram. Semakin sering mereka bertemu, semakin sering pula Lyra akan merasakan sakit karena sikap semena-mena Efram kepadanya.Sampai di rumah sakit, Lyra langsung menuju kamar di mana ayahnya dirawat. Gadis itu mengusap air matanya, tak ingin terlihat menangis di depan ayahnya. Lyra memasang senyumnya usai menutup pintu—berjalan memutari brankar ayahnya dan berhenti menatap wajah yang begitu dirindukannya itu.Diraihnya tangan ayahnya, merasakan detak nadinya yang masih ada, Lyra bernapas dengan lega. Gadis itu lalu menaruh tasnya dan mengambil kain yang telah dibasahi dengan air untuk membasuh tangan dan wajah ayahnya.Lyra memaksakan senyumnya kala membersihkan tangan ayahnya dengan pandangan kosong. “Ayah, hari ini Lyra diajak Efram ke sebuah restaurant mewah di pusat kota
Lyra melengos. Bosan dengan tuduhan Efram yang terus menuduh ayahnya, karena berapa kali pun ia meyakinkan Efram bahwa ayahnya bukan pembunuh, laki-laki itu tak pernah mau percaya dengannya.Merasa lelah dengan tuduhan Efram, Lyra menyibak selimutnya dan bangkit dari tempat tidur. Karena ia pun berpikir bahwa Efram tidak akan tega melakukan itu pada ayahnya."Terserah. Aku tetap tidak akan menandatangani dokumen itu."Efram siap memencet beberapa nomor di ponselnya ketika Lyra berjalan mencapai pintu, kala sambungan terhubung ... "Halo?"Gerakan Lyra terhenti tepat saat tangannya mencapai gagang pintu. Ia menunggu, heran mengapa membuat panggilan secara tiba-tiba."Iya, ini aku. Tolong cek semua data dari pasien yang bernama Zen dari kecelakaan mobil malam itu."Lyra yang tak jadi keluar kamar menunggu perkataan Efram selanjutnya dengan was-was."Aku ingin hari ini juga, semua data itu dihapus. Dan aku akan mencabut seluruh fasilitas
“Aku tidak peduli, mau kau tidak ingin menikah denganku, itu bukan urusanku,” tegas Efram.Tangan Lyra ditarik oleh Efram, gadis itu sedikit tersentak ketika pandangan Efram tepat di depan matanya. “Cepat mandi dan anti bajumu, hari ini kau harus ikut denganku.”Lyra hendak menolak ketika Efram lebih dulu menebak isi pikiran gadis itu. “Jangan berpikir untuk menolak, karena jika kau menolak, maka pikirkan dulu keselamatan ayahmu.”Kalimat Efram membuat Lyra membungkam mulutnya, mau tak mau ia harus menuruti perintah laki-laki yang mulai gila itu karena memintanya untuk menikah dengannya.****Efram mengajak Lyra ke butik langganan ibunya semasa ia masih hidup. Hari ini mereka akan melakukan pengukuran baju pernikahan yang kata Efram tinggal menunggu dua minggu lagi. Efram sudah menemukan setelan jas yang akan ia pakai di hari pernikahannya nanti dengan Lyra. Sesungguhnya, Lyra merasa heran mengapa Efram bersedia
Lyra meraih catatan itu. Matanya menyapu beberapa daftar dengan judul “Hal-hal yang dilakukan dan tidak dilakukan ketika mereka menjadi suami istri”.Lyra menolehkan pandangannya pada Efram, kedua alisnya menyatu—mencari jawaban dari raut wajah Efram, yang ia temukan justru perasaannya yang mulai tak enak. Hal apalagi yang tengah Efram rencanakan padanya saat ini?“Apalagi ini, Efram? Apa tidak cukup membuat keputusan besar dengan menikah denganku?” tanya Lyra cukup lelah karena Efram terus-terusan menyakitinya atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.Efram membuang muka sesaat dan menatap malas pada Lyra. “Apa kau berubah menjadi gadis yang malas sekarang? Kau bisa membacanya sendiri, ‘kan?”Lyra mengatupkan bibirnya, dengan setengah hati dibacanya peraturan-peraturan yang dibuat oleh Efram itu. Namun, baru menyapu baris pertama, tatapan mata Lyra sudah melebar karenanya. Melihat Lyra yang tak kunjung m
Retaknya Persahabatan Kita“Aku ingin mengatakan kebenaran ini padamu!”Seorang laki-laki paruh baya mengatakan itu secara tiba-tiba di depan seorang pemuda yang baru saja turun dari mobilnya—ketika sang sopir datang membawa payung untuk melindungi pemuda itu dari guyuran hujan. Pemuda itu dibuat terkejut oleh pria paruh baya yang merupakan tetangganya—menghampirinya di tengah hujan deras seperti ini. tak sampai di situ, beberapa saat kemudian seorang gadis berlari ke arah mereka yang semakin membuat pemuda itu keheranan.“Nak, maafkan aku menghampirimu seperti ini. Tetapi aku tak sanggup lagi jika harus merahasiakan ini,” ucap pria paruh baya itu setengah berteriak.“Ayah, sebaiknya kita pulang. Saat ini sedang hujan dan aku tidak ingin ayah sakit nanti.” Dia adalah Lyra, seorang gadis yang merupakan tetangga sekaligus sahabat Efram sejak masih duduk di bangku sekol
Hari PertunanganSeorang pemuda berperawakan tinggi tegap turun dari lamborgininya. Sepatu pantofel mewahnya berjalan di atas karpet merah, semua orang kini menyambutnya dengan hormat. Ia memasuki sebuah gedung di mana pesta pertunangannya malam ini akan berlangsung.Efram menyapa beberapa tamu yang merupakan rekan kerja ayahnya di aula. Atas kejadian di halaman rumahanya siang tadi, Efram telah meminta ibunya untuk berangkat bersama Jessie—calon tunangannya itu dari rumahnya. Efram tak menceritakan ini kepada siapa pun, bahkan ia memerintahkan sopirnya untuk menutup
“Joe! Mengapa kau di sini? Seharusnya kau bersama ibuku sekarang, bukannya malah bersama gadis ini!” tanya Efram pada Joe. Ia terang-terangan menunjuk Lyra saat gadis itu berani datang ke pesta pertunangannya padahal Efram sudah memintanya untuk tidak muncul lagi.Joe menundukkan kepalanya dengan hormat. “Maaf, Tuan Muda, tetapi nyonya besar sendiri lah yang memerintahkanku untuk mengantar Nona Lyra ke mari.”“Lalu di mana sekarang ibuku?” tanya Erland tak bisa santai. Kekhawatiran di wajahnya masih belum hilang. Sementara Efram berpikir bahwa adiknya itu terlalu cemas tanpa alasan.“Tenanglah,” ucap Efram pada Erland.“Jika kau ditugaskan untuk mengantar gadis ini, lalu bersama siapa ibuku sekarang?” tanya Efram pada Joe.“Nyonya besar meminta Tuan Zen untuk mengawalnya bersama Nona Jessie dengan mobil yang akan digunakan khusus untuk menjemput Nona Jessie—seperti yang T