Seorang perempuan tengah berdiri dengan cemas dihadapan layar besar yang menampilkan grafik sesuatu. Perempuan itu adalah Sera, air matanya turun begitu saja sebab beberapa jam yang lalu dirinya telah melakukan perbuatan fatal.
Asistennya datang dan langsung menghampiri dirinya yang kini berada diruang kerjanya.
"Nona tak apa?" tanya Anton, ia khawatir melihat nonanya yang cemas seperti ini.
Anton menuntun Sera untuk duduk disofa, Sera pun menurut. Perempuan itu mengusap wajahnya kasar. Anton yang melihat itu langsung mengambil air di dispenser.
"Silahkan diminum." Sera minum.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan nona?" tanya Anton.
"Aku bingung, paman. Semua ini salahku." Sera terus saja menyalahkan dirinya sendiri. Anton duduk didekat Sera dan mengelus tangan perempuan yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri itu.
"Ceritakan apa yang terjadi kepada paman, Sera. Jangan ada yang ditutup-tutupi," ucap Anton nada bicaranya sangat lembut. Anton juga bingung mengapa tampilan grafik itu menurun?.
Sera sedikit tenang lalu dia menceritakan apa yang telah terjadi kepada dirinya beberapa jam yang lalu.
3 jam yang lalu.....
Sera berada didalam ruang kerjaanya, ia masih santai dengan tampilan video yang ada di laptopnya. Sesekali perempuan itu memakan snacknya. Sera tengah merencanakan sebuah proyek yang sangat besar.
Perempuan itu menekan tombol yang bertuliskan kata 'send' tanpa pikir panjang. Sera pikir tombol yang ia tekan itu menyangkut persetujuan tentang proyek yang akan ia buat nanti.
"Sera, fokus." Perempuan itu membuang nafasnya lewat mulut.
Sera menggeleng mencoba mengusir rasa kegelisahan yang ada dihatinya. Nafas Sera semakin tak karuan tak kala melihat apa yang telah ia perbuat. Sera telah menyetujui jika semua aset kekayaan keluarganya akan jatuh kepada nama Giory tanpa terkecuali.
"Engak mungkin, pasti aku lagi pusing makanya tulisan ini agak kabur," ucap Sera mencoba meyakinkan dirinya jika yang ia lihat hanyalah ilusi semata.
Sera memejamkan matanya, jemarinya tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk meja yang terbuat dari kaca itu. Perempuan itu membuka matanya dan melihat kearah laptopnya kembali.
"Jadi, yang aku setujuin adalah berkas pengalihan kekuasaan?" tanya Sera kepada dirinya sendiri. Lidahnya seolah kelu untuk mengucapkan sepatah kalimat lagi.
"Kenapa harus jatuh kepada keluarga Giory?!" batin Sera. Perempuan itu tau jika keluarga Giory tak akan melepaskan apa yang telah mereka.
Sera bangkit dari duduknya dan menyalakan layar lebar guna memantau saham keluarganya. Perempuan itu terus memperhantikan layar yang kini menampilkan grafik itu, grafik itu semakin turun. Sera berdoa' dalam hati supaya grafik itu naik namun nihil, grafik itu semakin turun kebawah.
"Ayo naik, kenapa aku secroboh ini hiks hiks hiks," ucap Sera, ia menyesali perbuatan cerobohnya ini.
___
Sera menceritakan semuanya kepada Anton dengan tangis yang semakin menjadi.
"Aku harus bagaimana lagi paman? Hiks hiks," tangis Sera seraya mengelap air matanya menggunakan tisu.
Anton sendiri tak tau harus berbuat apa, kesalahan nonanya ini sangat fatal. Dan detik itu juga kekayaan keluarga Louwen akan jatuh kepada keluarga Giory. Keputusan itu tak bisa diganggu gugat, walapun Sera tak sengaja. Namanya dunia bisinis, tanda tangan diatas matrai tak bisa dibatalkan. Begitu pula dengan kecerobohan Sera, sangat tak bisa mengambil alih kekayaannya.
"Nona, sebaiknya anda bicarakan masalah besar ini kepada Tuan Fikri," saran Anton.
"Opa pasti kecewa sama, Aku," lirih Sera.
"Saya yang akan berbicara kepada Tuan Fikri, Nona," ucap Anton, ia tau jika Sera dilanda rasa takut yang luar biasa.
Sampai akhirnya Sera menganggukan kepalanya, ia akan pulang dan memberitahu perbuatan bodoh yang telah ia lakukan. Apapun resikonya akan Sera terima. Bahkan jika mereka ingin Sera bersujud dikaki keluarga Giory untuk mengembalikan kekuasaan mereka, Sera akan melakukannya. Menyesal? Ya.. Perempuan itu sangat menyesal. Andia waktu bisa dia ulang kembali, namun itu tak mungkin.
***
Sementara dikediaman Giory, kini keluarga itu tengah melakukan pesta. Akhirnya posisi keluarga Giory menjadi nomer 1 dan kekayaan mereka semakin bertambah.
"Cucu kakek hebat sekali." Wisnu tak henti-hentinya memuji Arsya yang kini meminum matchanya.
Arsya tersenyum puas, perjuangannya selama ini membuahkan hasil. Dengan bodohnya Sera menyetujui surat yang ia kirim lewat situsnya. Apakah Arsya yang terlalu pintar atau Sera yang terlalu bodoh?. Padahal ini bukan rencananya yang sesunguhnya, ini hanya seperti pancingan namun dengan cepat Sera terpancing dan akhirnya nama Louwen bukan diurutan paling atas lagi.
"Alif, hadiah apa yang cocok untuk cucuku ini?" Wisnu memanggil sang anak.
Alif mendekat kearah Wisnu dan Arsya. "Sepertinya satu buah pesawat cukup." balasnya.
Wisnu menganggukan kepalanya. "Ide yang bagus," ucapnya lalu menelfon asisten pribadinya untuk memberikan pesawat sebagai hadiah atas kerja keras, Arsya.
"Bagaimana kau bisa melakukan itu?" tanya Alfi kepada anaknya.
Arsya menoleh kearah ayahnya itu. "Sistem keamananya sangat mudah untuk dibobol," jawabnya santai lalu meminum matcha yang berada dicangkir itu.
"Sepertinya kakekmu itu akan membuat pesta," ucap Alif dan langsung mendapatkan anggukan oleh Arsya.
Reta datang dan langsung duduk diantara sang suami dan anaknya. Wanita itu mencium pipi sang anak, dan mengucapkan selamat atas keberhasilannya.
"Kerja bagus, sayang," ucap Reta.
"Thank you, Bun," balas Arsya.
"Hari ini seluruh pelayan akan naik gaji," ucap Reta, sontak semua pelayan yang berada disekitar situ bersorak bahagia dan mengucapkan terimakasih kepada keluarga Giory.
Alfi tersenyum melihat istrinya yang sama sekali tak sombong, bukannya belanja atas keberhasilan sang anak Reta malah menaikan gaji para pelayan. Hampir ada 500 pelayan dimension besar ini. Reta juga selalu memberikan bonus kepada pelayan yang rajin dalam bekerja.
"Semoga aku mendapatkan istri sebaik bunda," ucap Arsya dalam hati. Lelaki itu bangga kepada cinta pertamanya itu. Arsya akan terus berusaha untuk membahagiakan orang-orang yang berarti didalam hidupnya.
Kini tertua dari keturunan Louwen tengah marah besar. Semua barang yang ada disekitarnya dirinya banting. Sedangkan Sera hanya mampu menangis dipelukan Citra sang mama. Sera sudah menceritakan tindakan bodohnya kepada keluarganya, dan sekarang Opa dan papanya marah besar. "Maafin, Era Opa," ucap Sera disela tangisannya. "KESALAHAN KAMU SUDAH FATAL, SERA," bentak Fikri. Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu sangat marah dengan cucu satu-satunya yang lalai. Akibat dari perbuatan Sera perusahaannya kini terancam bangkrut karena dana masuk kedalam nama Giory. "Pa, jangan bentak anak aku." Citra ikut menangis lantaran tak tega melihat Sera seperti ini. Dia tau anaknya berbuat salah, ibu mana yang tega melihat putrinya menangis ketakutan seperti ini?. "Diam Citra." Fikri menatap tajam menantunya itu. Sera bangkit dari duduknya dan bersuj
Sera terbangun, perempuan itu mengerjapkan matanya. Dia sudah sadar sepenuhnya namun kepalanya masih pusing, Sera berada didalam kamarnya yang bernuansa tosca. Perempuan itu menoleh, tepat disebelahnya ada Citra yang tertidur dengan posisi duduk dikursi. Perempuan itu baru ingat jika sebelumnya dia pingsan karena terlalu lama menangis dan ia belum makan dari pagi. Sera menoba untuk duduk dan bersender dikepala ranjang. Papanya juga tertidur disofa, Sera tak bisa melihat pemandangan seperti ini. "Maa," panggil Sera, ia mengelus tangan Citra yang kini tengah menggengam tangan miliknya. Mendengar suara sang anak, Citra terbangun dan terkejut mendapati Sera yang sudah duduk bersender. Perempuan hampir berumur setengah abad itu bangkit dari kursinya dan duduk ditepi ranjang Sera. Tangan Citra masih mengengam kuat telapak tangan Sera. "Kamu udah enakan?" tanya Citra lembut.&
Fikri berjalan dengan langkah panjangnya menuju kamar Sera dengan kedua tangan yang ia masukkan kedalam kantung celana. Lelaki berusia lebih dari setengah abad itu langsung menemui cucunya setelah bertemu dengan Arsya. Perlahan-lahan pintu itu terbuka olehnya, bisa Fikri lihat jika Sera tengah duduk dihadapan meja riasnya. Hati Fikri seolah ditikam benda berat, ia menampar cucunya sendiri. Fikri menyesal telah menampar Sera apalagi menjelek-jelekannya, ia berjalan menuju tempat dimana Sera berada. Fikri mengelus rambut, Sera dan membuat Sera kaget. "Kakek," ucap Sera, perempuan itu langsung berdiri agak menjauh dari posisi Fikri. Sera bingung mengapa Fikri berada di kamarnya. Sementara, Fikri ia termenung melihat sikap Sera. Dulu cucunya itu selalu memeluk dirinya, dan sekarang dia berdiri dengan posisi yang jauh darinya. "Sera, ngak mau peluk Opa?" tanya Fikri mencoba untuk
Hari ini adalah hari dimana Sera akan bertemu dengan Arsya. Perempuan itu tengah menyisir rambutnya dihadapan cermin besar, entah mengapa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Setelah dirasa penampilannya sudah pas, Sera keluar dari kamar dengan membawa tas slempangnya. Sera memakai pakaian dress formal, ia berjalan menuju ruang makan. Disana sudah terlinat seluruh anggota keluarganya yang sepertinya tengah menunggu kedatangan dirinya. Perempuan itu duduk tepat disebelah Citra. "Pagi semua," sapa Sera, ada sedikit nada canggung disetiap ucapannya. "Pagi," jawab, Citra, Rama, dan Fikri serempak. Citra mengambilkan, Sera makanan dan ternyata hidangannya masih sama seperti dulu. Sera pikir mulai hari ini ia akan makan nasi dan kecap, ternyata dugaannya salah besar. Dimeja makan masih tersedia beberapa jenis daging dan olahan makanan mewah lainya.
Sera berada didalam mobil, ditemani oleh 2 orang asistennya yang tak lain adalah Rudi dan Anton menuju kediaman keluarga Giory. Sera sibuk melihat kearah jalanan, ia tak dikawal bodyguard takutnya wartawan curiga dan malah mengekutinya dari belakang. Mobil yang Sera naiki tergolong kecil, tidak sebesar biasanya. Perempuan itu melihat-lihat HP, ada pesan dari nomor yang tak ia kenal. Sera membaca pesan itu, dikalimat terakhir tertera nama Arsya disana. "Paman, berhenti didepan," ucap Sera, pesan tadi berisikan jika ia harus berhenti dijalan depan dan naik menuju rooftop gedung yang ada disana. "Emang kenapa, nona?" tanya Rudi, ia mengurangi kecepatan mobilnya. "Aku akan dijemput oleh Arsya," ucap Sera. Rudi mengangguk paham lantas dirinya memberhentikan mobilnya tepat didepan gedung. Sera memakai hoodie oversize dan kaca mata hitam, ia seger
"Menikahlah denganku, atau perusahaanmu akan bangkrut detik ini juga." Degg Degg Sera terpaku ditempat, berharap ia salah dengar. Otaknya seakan tak berfungsi, hening menyelimuti mereka selama beberapa menit. Semua diam dengan posisi masing-masing, Sera dengan wajah polosnya menatap Arsya. Sedangkan Arsya, lelaki itu menatap Sera dengan pandangan yang sulit diartikan. "Jawab peryataanku Sera," ucap Arsya geram. "Ha?" tanya Sera dengan mulut terbuka. Arsya mengulangi ucapannya dengan menggunakan batin. Benar, Sera tak salah dengar lelaki itu mengajaknya menikah. Entah ucapannya benar atau hanya tipuan belaka. "What? Kita musuh dan kau mengajakku menikah?, yang benar saja?!" maki Sera setelah ia sadar apa yang diucapkan Arsya tadi. "Itu pernyataan bukan pertanyaan," tutur Arsya tersenyu
Sera mengerjapkan matanya, ia merubah posisinya yang semua tertidur miring menjadi duduk. Perempuan itu memutar-mutar kepalanya, Sial! Paha Arsya keras sekali sampai-sampai membuat kepalanya terasa pegal. Sera beralih menatap Arysa yang masih asik bergelung dialam mimpi. Tangannya terulur untuk menyentuh rahang tegas milik lelaki itu, pahatan wajahnya sangat sempurna. Bibirnya merah membutikkan kalau Arsya bukan perkok, mungkin. Alis lelaki itu juga tebal dan jika tertidur wajahnya terlihat damai tak ada raut wajah menyeramkan yang biasanya ditampilkan oleh Arsya. "Puas memandangiku?" Lelaki itu tiba-tiba membuka matanya. Sera langsung membuang muka, ia merutuki dirinya mengapa bisa ketauan seperti ini?. Percayalah ia tengah malu sekarang, Arsya memergokinya?!. Siapapun tolong kasih Sera ilmu menghilangkan diri. Arsya mengerakkan kepalanya yang terasa pegal ke kanan dan ke k
Sera berjalan keluar dari arah lift, pagi ini ia menyuruh keluarganya untuk berkumpul di ruang keluarga. Ya.. Hari ini akan Sera sampaikan kepada mereka tentang Arsya yang mengajaknya menikah. Tentunya Sera tak akan bilang jika ia menerima tawaran Arsya hanya karena ingin mengetahui masalalu penyebab 2 keluarga bermusuhan hingga 5 generasi. Bisa Sera lihat jika papa, mama dan opanya sudah duduk manis disofa. Perempuan itu duduk diantara mama dan papanya. Pagi ini ia tak ikut sarapan bersama mereka, karena dirinya mempersiapkan nyali untuk berbicara dihadapan mereka. "Sudah makan?" tanya Citra, Sera mengangguk tadi ia sempat sarapan di kamar setelah maid mengantarkan makanan untuk dirinya. "Era ... mau bicara serius sama kalian," tutur Sera, ia mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak tak karuan. "Ngomong aja sayang, ngapain minta izin?!" balas Rama, pria berusia setengah