Share

Penyesalan

Setelah meminta izin kepada gurunya, Lintang Abang memilih berlatih di kampung halamannya di Dusun Kaliungu, sekitar dua hari perjalanan kaki dari Perguruan Mata Angin. Tak hanya berlatih, ia juga sudah sangat kangen dengan putra tunggalnya, Perisai. Sudah beberapa purnama ia meninggalkan Perisai yang hanya ditemani pembantunya, Dayang Rimbi.

Sejak kecil, Perisai sama sekali tak mendapatkan belaian kasih sayang dari ibundanya. Sang Ibu meninggal saat melahirkannya.

Meski sering ditinggal ayahnya yang sedang menuntut ilmu di Perguruan Mata Angin, Perisai yang sudah menginjak usia lima belas tahun tak pernah sedih atau marah. Ia bahkan merasa bangga memiliki ayah seorang pendekar. Saat bermain perang-perangan dengan teman-temannya, ia selalu membayangkan dirinya sebagai Lintang Abang yang sedang beraksi menumpas para penjahat.

Sudah dua hari sejak kepulangan Lintang Abang dari Perguruan Mata Angin, Perisai terlihat begitu gembira. Ke mana pun ayahnya pergi, Perisai selalu menguntit. Saat Lintang Abang berlatih dan memperagakan gerakan dari kitab Tapak Liman, Perisai seringkali berusaha mengikutinya.

Tapi, kebanggaan itu sirna seketika saat Perisai memergoki ayahnya yang tiba-tiba melempar jauh-jauh kitab itu di tengah derasnya arus Sungai Brantas.

"Ayaaah! Kenapa kitab itu dibuang? Bukankah ayah harus mempelajarinya agar bertambah sakti!" teriak Perisai yang tiba-tiba sudah ada di atas gundukan pasir di tepi Sungai Brantas.

Lintang Abang kaget sekali, namun tak lama ia ganti berteriak, "Oooiii...Perisai ya. Sini Nak turun, ayah akan beri tahu alasannya!" Lintang Abang tersenyum sembari melambaikan tangan memanggil anaknya.

"Apa alasannya Yah?" Dengan tergopoh-gopoh Perisai mendekati ayahnya.

"Sejak hari ini Ayah memilih berhenti jadi pendekar, Perisai. Ayah nggak ingin menghilangkan nyawa orang lain. Ayah juga nggak ingin meninggalkanmu terus bersama Dayang Rimbi. Ayah ingin melihatmu tumbuh dewasa."

"Tapi...kan..."

"Sudahlah Perisai, kamu nggak senang ditemani Ayah?"

"Senang sih Yah, tapi...sedih juga.Apa kata teman-teman nanti kalau tahu ayah bukan pendekar lagi. Apa yang harus Perisai katakan pada mereka..." Perisai merajuk. Kekesalan masih terlihatdi raut wajahnya.

"Bilang saja, ayahmu mau jadi petani. Petani kan hebat juga, mampu menyediakan makan bagi begitu banyak orang," ujar Lintang Abang sembari mengelus rambut anaknya yang ikal lebat seperti rambut istrinya. Sekilas ia terkenang istrinya.

Lintang Abang menyesal mengapa dulu tak mengikuti permintaan istrinya untuk tinggal dan menetap di Kaliungu saja sebagai seorang petani. Ia justru memilih mengikuti ambisinya untuk menjadi pendekar agar bisa menumpas para perampok yang sering menyatroni dusun.

Ketika istrinya hamil tua, Lintang Abang tak bisa menemani, lantaran bersama Arya Kemusuk, ia mendapat perintah dari Dewa Penjuru Angin untuk menggempur puluhan perampok yang bersarang di Kali Kresek. Ironisnya, kemenangan di Kali Kresek harus ditebus dengan kematian istrinya yang mengalami pendarahan berlebihan saat melahirkan Perisai. Ia tak bisa mendampingi istrinya saat menghembuskan napas terakhir.

Tapi sebenarnya yang membuat Lintang Abang semakin membulatkan tekad untuk berhenti menjadi pendekar adalah saat menyaksikan kematian tragis Jakaprana dan keluarganya. Dari kejadian itu, ia tak lagi bisa membedakan, siapa penjahat dan siapa pahlawannya. Ia berpikir tak perlu memusingkannya jika bisa menanggalkan kehidupannya sebagai seorang pendekar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status