Share

Bab 5

POV Rani

 

 

(KUBUAT PELAKOR MENDERITA)

 

 

Tega sekali Mas Anton berkata aku mandul. Normal bukan, sebagai perempuan aku merasa sedih dimaki mandul? Memang sudah 4 tahun aku menikah dengan Mas Anton dan belum memiliki keturunan. Tapi bukan berarti aku mandul. Banyak kok di luar sana yang bahkan sudah sepuluh tahun menikah belum dikaruniai anak. Tapi suaminya setia. Memberi semangat pada istrinya. Bukan menikah lagi. Memang tidak ada larangan suami menikah lagi asal mampu berbuat adil. Namun, tidak semua perempuan juga, mau menerima pernikahan kedua suaminya. Hanya perempuan pilihan yang memiliki kelebihan rasa sabar sehingga mampu menerima dengan ikhlas jika suaminya menikah lagi. Bukan perempuan seperti aku yang tidak mau berbagi. Iya, aku tidak mau. Bahkan membayangkan suami mendua pun aku tak mampu. Tapi takdir berkata lain, aku yang sangat menentang, tapi memilikinya. 

 

 

Cukup sudah teman-teman terdekatku kalah dengan suami dan pelakor-nya. Tidak berlaku dalam kehidupanku. Bagiku, siapapun orang itu yang berani mengusik atau menyakiti perasaanku, akan kubalas mereka. Akan kubuat menderita. Pelakor durjanah yang tak punya hati harus dibasmi. Mas Anton dan Vina, kalian telah mengkhianati aku. Maka akan kubalas dengan membuat kalian menderita! Begitu banyak suami temanku yang lebih memilih pelakor dari pada istri dan anaknya. 

 

 

Semua pelakor itu sama, Jika kita berbuat baik dan mengalah, akan semena-mena. Kalau pelakor itu baik, kenapa dia tega merusak kebahagiaan orang lain? Apakah pelakor memang tak punya hati? Aku benci Pelakor …! Aku benci kamu Vina! Dan aku juga benci kamu, Mas Anton! Kamu bukan cuma menyakitiku dengan pengkhianatan kamu, tapi kamu juga telah menghinaku mandul. Akan kubuat kalian menderita baru kutendang keluar dari rumah ini. Aku memang sedih, tapi bukan tipeku untuk memohon Iba pada suamiku. Apalagi mengemis  cintanya. Aku tak mau terlihat lemah di hadapan mereka. Aku harus kuat dan seolah tidak terjadi apa pun pada  diriku. Meskipun ada rasa sakit yang teramat dalam. Tapi aku tidak mau  menunjukannya.

 

 

"Ran, Mbak dikirimi foto mesra, Mas Galang dan perempuan itu. Pernikahan, Mbak diujung tanduk. Mas Galang lebih memilih menceraikan, Mbak. Dan memilih menikahi, Santi."

 

 

"Mbak lelah mengemis. Padahal, Mbak rela kok kalau memang Mas Galang menikah lagi tanpa harus menceraikan, Mbak. Tapi, Santi mau-nya Mas Galang menceraikan, Mbak. Kasihan Ayu. Masih kecil dan membutuhkan kasih sayang Ayahnya." Ah, tiba-tiba aku kembali teringat ucapan Mbak Winda dan wajah sedihnya saat itu. Hingga Sampai saat ini, Mas Galang dan wanita itu masih hidup bersama dan telah memiliki seorang anak perempuan berumur 10 tahun. Sedangkan anak perempuan Mbak Winda berumur 11 tahun. Sesak dada ini saat mengingat kehancuran Kakak-ku. 

 

 

"Rani!" teriak Mas Anton dari luar. Apa lagi sih manusia itu ganggu saja malam-malam. Gedoran pintu masih tak berhenti membuatku harus beranjak untuk membuka-kanya.

 

 

"Apa lagi?" balas-ku setelah membuka pintu. 

 

 

"Aku pinjam kipas angin. Panas di sana! Kamu gila ya? Bahkan obat nyamuk pun tidak ada!" 

 

 

"Disini bukan toko elektronik! Jadi tidak ada kipas angin! Kalau mau kipas angin, beli di toko! Dan, kalau mau obat nyamuk, beli di warung. Kamu masih ingat 'kan? Warung di depan komplek? Tidak lupa Jalan 'kan? Silahkan beli di luar!" ucapku seraya menutup pintu. 

 

 

Brak!

 

Kaget aku ketika mendengar suara pintu kamar ditendang kencang. Ih, bodo amat. Terbesit di kepalaku untuk meminta Mbak Winda dan Ayu tinggal di rumah ini. Toh, antara rumahku dan sekolah Ayu lumayan dekat. Tak ku-buang waktu segera aku meraih ponsel dan menghubungi Kakak-ku.

 

 

"Halo, Mbak apa kabar?" sapaku. 

 

 

"Halo, Ran. Kabar baik. Tumben kamu telepon, Mbak?" 

 

 

"Hem, gini. Jadi aku mengalami kejadian seperti yang, Mbak alami dulu. Dan aku mau, Mbak Winda dan Ayu tinggal di rumahku. Bantu aku, Mbak. Aku mau kasih pelajaran buat perempuan itu. Pengin banget kujadikan babu. Kalau perlu, Ayah dan Ibu diajak ya, Mbak."

 

 

"Kamu serius? Kok bisa? Cerita dong, Ran."

 

 

"Panjang ceritanya, Mbak. Nanti saja setelah, Mbak disini aku ceritain. Kutunggu besok kedatangannya ya, Mbak." 

 

 

"Oke, sip. Mbak juga gemas banget sama perempuan perusak. Kerjain si Anton sama istri barunya, jangan kasih kendor!" ucap Mbak Winda penuh nafsu. 

 

 

"Sip!" jawabku lalu memutuskan sambungan teleponnya.

 

 

Ampun, aku tak sabar membayangkan untuk esok pagi. Ah, akan kubuat hari-harimu seperti neraka, Vina. Memang dasar kamu apes, berani masuk ke dalam kehidupan rumah tanggaku, siap-siap saja kubuat menderita. Entah kenapa, rasanya aku ingin menyiksa Vina, membebeknya menjadi rengginang. Sedang Mas Anton, ingin sekali kujadikan perkedel jagung.

 

 

"Hhhooammm. Ngantuk juga mataku. Lebih baik sekarang tidur, siapkan tenaga untuk menyiksa Vina esok pagi." CK! Tertawa jahat aku ini. Lumayan juga, tenaganya bisa dijadikan babu. Babu geratisan.

 

 

 

🌿🌿🌿🌿🌿🌿

 

 

Krinnnngggggg ….! 

 

 

Alarm pagi berdering. Waktunya aku bangun, mandi lalu berangkat ke toko. Namun, karena hari ini harus menunggu Mbak Winda yang akan datang, sengaja aku berangkat ke toko lebih siang. Toh sudah ada Edi yang memiliki kunci cadangan. Tenggorokan ini terasa haus. Segera bergegas ke dapur untuk mengambil air minum. 

 

 

Mataku membulat sempurna ketika melihat di sofa ruang keluarga, tengah tertidur sepasang manusia tanpa dosa. Membuat darahku berdesir sepagi ini. Astagfirullah, enak banget mereka tidur kekepan begitu. Mungkin sengaja ingin membuatku cemburu? Jangankan cemburu, untuk kembali dengan Mas Anton pun aku enggan. Hanya saja, cerai terlalu cepat itu terlalu mudah untukku. 

 

 

"Kamu itu ligar! Tidak ada laki-laki yang mau dengan perempuan mandul seperti kamu!" 

 

 

Gelegar! Hatiku panas kala mengingat lagi ucapannya yang menyakitkan. Keterlaluan kamu, Mas. Mentang-mentang sudah ada Vina, punya mulut tidak dijaga. Awas kalian berdua. Dengan nafas yang tersengal menahan emosi, aku melanjutkan langkah ke dapur. Kuambil air dingin dan meneguknya. Segar! Lepas itu, kubawa seteko air ke ruang keluarga. 

 

 

Cuuuuuuuurrrrrrrr! 

 

 

Seteko air dingin itu kuguyurkan pada sepasang manusia yang tengah tertidur pulas dalam satu sofa. Biar saja mereka bilang aku kejam. Tak peduli. Yang pasti aku benci Pelakor dan pengkhianat. Cukup sudah sampah masyarakat seperti ini menyakiti hati perempuan lain. Sebenarnya benciku terlebih karena teringat nasib Kakakku saat itu. Kebetulan juga Vina masuk ke dalam rumah tanggaku dan menjadi duri, hingga akhirnya menjadi tempat pelampiasanku. Bukan hanya Vina, Mas Anton pun merasakan imbasnya. Karena mereka adalah pelaku utama penyebab terjadinya permainan ini.

 

 

 

"Bocor! Bocor!" teriak Mas Anton gelagapan. Keduanya langsung bangun dan menatapku garang.

 

 

"Siapa yang suruh kalian tidur disini?" bentakku. "Kalau sofaku rusak bagaimana?! Kalian mau ganti?!"

 

 

"Maaf, Ran. Kami tidak bisa tidur di kamar pembantu. Panas dan banyak nyamuk. Karena kamar itu sangat pengap dan lebih tepat sebagai gudang," jawab Vina lirih.

 

 

"Aku nggak mau tahu ya, pasti sofanya ada bekas Iler kalian! Buang-buang! Aku jijik. Pokoknya, nanti jangan ada lagi sofa bekas kalian. Atau, tidak apa-apa lah, ini tidak usah kalian buang. Jadikan ini sebagai tempat duduk kalian."

 

 

"Tapi ingat! Kalian hanya boleh sentuh sofa ini. Jangan barang-barangku yang lain aku jijik. Hih! Oh ya, kamu Vina, mau membayar sewa kamar, atau jadi pembantu aku? Kebetulan, Kakak-ku dan anaknya mau tinggal di sini. Jadi aku pasti membutuhkan pembantu," tanyaku. Sebenarnya aku jijik kalau barang-barang di rumah ini disentuh oleh mereka. Tak sudi rasanya. Namun, bagaimana lagi? Aku tak ada pilihan karena memang ingin menjadikan Vina Babu. 

 

 

 

"Ya deh, aku mau, Ran. Sampai aku dapat pekerjaan," ucap Vina. Mas Anton menatap ke arahnya. 

 

 

"Keterlaluan banget kamu, Rani! Sudah PIN ATM kamu ganti juga! Sakit jiwa kamu!" bentak Mas Anton.

 

 

"Hey! Setop kamu bilang aku keterlaluan! Karena sadar atau tidak, kamu lah yang keterlaluan, Mas! Ingat itu! Kamu pikir dengan membawa dadakan istrimu itu, Tidak keterlaluan! Hah! Jawab! Dasar brengsek kamu, Mas! Bajing*n! Tahu kamu!" 

 

 

"Untung saja ATM segera ku-blokir, ternyata benar dugaan-ku, kalian pasti akan mengambil uang disana. Kalian kira aku bodoh? Hey, Sayang! Otak kalian salah kalau berpikir aku bodoh!

 

 

"Ingat, ya Mas! Kalian disini numpang. Kalau kalian tidak bisa jaga adab disini, aku punya HAK! Untuk mengusir kalian dari rumah ini. Jadi ingat itu!" tegasku.

 

 

Vina menyenggol siku tangan Mas Anton. Seolah memberi kode. Terbukti karena Mas Anton tidak lagi membantahku. 

 

 

"Karena kamu sekarang menjadi pembantuku, tolong panggil aku, Bu Rani! Jangan panggil, Rani! Itu tidak sopan!" perintah-ku pada Vina.

 

 

"Baik, Bu. Kami ke belakang dulu," ucap Vina manis.

 

 

"Bagus! Sekarang buatkan aku kopi. Aku mau sedang dan janamgan terlalu manis. Kalau sampai salah, aku tidak mau meminumnya," ucapku.

 

 

"Iya, Bu." jawab Vina. 

 

 

Kini aku bisa duduk santai sambil menonton TV dan menunggu kedatangan, Mbak Winda. 

 

 

'Ini baru awal perjalanan. Belum setengahnya, Sayang!' 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status