Share

Dipandang Rendah Mertua
Dipandang Rendah Mertua
Penulis: Ashya Khoir

Sebelum Menikah

( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم)

-( Sambutan dari penulis )-

---------------------------------

DIPANDANG RENDAH MERTUA. Semoga kisah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Banyak sekali hikmah yang bisa dipetik dari kisah ini, bagaimana cara kita menghadapi keluarga yang dzolim, haruskah membalas dengan kekerasan dan kejahatan yang sama? Haruskah selalu sabar? Haruskan berakhir dengan perceraian? Haruskan menyerah jika keluarga suami atau istri kita sangat jahat dan sangat membenci kita? Bagaimana cara suami membela istri? Bagaimana cara suami bijaksana menasehati keluarganya yang sering kali menyakiti hati istrinya? Bagaimana suami bisa belajar menjadi suami terbaik bagi istrinya? Begitupula istri berusaha menjadi istri terbaik untuk suaminya? Untuk orang tua bisa belajar untuk selalu bijaksana berbuat adil, tidak pilih kasih terhadap anak maupun menantu?

Alhamdulillah banyak sekali pembaca yang menyambut positif cerita ini. Pembaca pun bervariasi mulai tua, muda, Suami, Istri, single ataupun tidak. Saya sebagai penulisnya merasa senang sekali, jika cerita yang saya buat bisa memberi hikmah.

------------------------------

Tidak dipaksa untuk membaca, jika tidak suka, cukup tinggalkan saja, selera orang beda-beda 😘

=====================

(
PROLOG)

***

Sungguh, menyedihkan nasib hidup Fatimah. Segala pengorbanannya dan kebaikannya untuk mengambil hati mertua dan keluarga besar suaminya hanya sia-sia.

Memiliki suami yang sangat baik tak cukup membuatnya bahagia. Fatimah, mengharapkan kasih sayang dari mertuanya seperti menantu lainnya. Namun apa yang ia dapatkan. Hanya cacian, hinaan, fitnah dan kata-kata sumpah serapah.

Apakah Fatimah bisa hilang kesabarannya dan berniat menyudahi pernikahannya? Fatimah sangat menyayangi suaminya. Suaminya pun sangat baik, sabar, penyayang dan setia, suaminya juga tak henti berjuang berusaha membuat keluarganya menerima Fatimah tapi tak pernah ada hasil.

    Akankah Fatimah menggugat cerai suaminya? Hanya demi membalas sikap keji sang mertua dan keluarganya. Akankah ia korbankan suaminya demi rasa kecewa sedih dan traumanya selama ini? Bagaimana nasib sang anak semata wayang Fatimah yang menyaksikan tragedi mengerikan sang Ibu?

# SELAMAT MEMBACA #

=========///=========

(Episode 1)

"Assalamu'alaikum, Fatimah. ini Ibu Yana, orang tuanya Doni. Ibu ingin bicara sangat penting denganmu," terdengar suara perempuan dari seberang telponku dan tanpa ragu akupun langsung menjawab.

  "Iya, Bu, Waalaikumsalam. Apa kabar, bu...?"

Aku segera beranjak dari tempat tidurku kemudian duduk diatas kasur dan memfokuskan pendengaranku. Maklum ini sudah pukul 21.30, aku terlalu lelah malam ini hingga sulit menahan kantuk dan cepat sekali terlelap.

   "Ibu dapat kabar dari Doni, katanya kalian sudah berniat untuk kearah yang lebih serius, tunangan dan menikah, apakah kamu sudah yakin, Fatimah?" Tanpa basa basi, Bu Yana mulai bertanya.

   "Benar, Bu ... aku dan Kak Doni memang sudah serius, akupun sudah merasa yakin, yang kak Doni utarakan kepada Ibu memang bena r...," jawabku pelan dan hati-hati.

   "Apakah kamu seyakin itu? Sedangkan Doni saja belum bekerja, Doni baru lulus kuliah dan kamupun masih kuliah, terus uang dari mana untuk menafkahimu nanti? Bagaimana membayar biaya kuliahmu nanti? Tolong kamu pikirkah lagi," Ibu Yana mulai mencecar sejumlah pertanyaan, yang membuatku semakin gugup menjawabnya.

   "Iii__ iya, Bu... tapi sebelumnya kami sudah memikirkan matang-matang Bu, rencana kami setelah menikah akan melanjutkan usaha olshop pakaian yang sudah bertahun-tahun aku tekuni," ucapku lembut dan sedikit gemetar.

   "Intinya, Ibu masih bimbang terhadap keputusan kalian, pikirkan lagi, kalian masih sangat muda dan belum punya pekerjaan tetap." Ujar Bu Yana dengan suara meninggi. Sontak aku terdiam, dan aku belum tau akan menjawab apa, namun seketika aku tatap layar ponselku.

Hem ... sudah dimatikan telponnya ...

Aku kembali terdiam, merenung, teringat ucapannya tadi. 

***

   Kak Doni memang belum bekerja, umurnya masih 24 tahun, sangat muda. Ia anak ke-3 dari 4 bersaudara. Kuliahnya sudah hampir lulus dan sedang menunggu jadwal wisuda. 

   Asal usul kami sama-sama merantau, namun asal daerah kami berbeda, kak Doni dari daerah A sedangkan aku dari daerah B dan jarak daerah kami sama-sama Delapan jam ke Kota yang kami tempati, di kota ini orang tuanya memiliki rumah ke dua yang diperuntukkan untuk kak Doni selama mengenyam pendidikan. Diapun mengajak temannya untuk menemani tinggal bersama di rumah tersebut. 

Biaya hidup murni ditransfer dari orang tuanya, uang makan, uang kuliah dan lainnya. Kak Doni termasuk anak orang kaya, keluarganya semuanya Pegawai Negri, Dokter, Ibunya memiliki toko elektronik dan bapaknya petani sawit.

   Berbeda dengan Kak Doni yang anak orang kaya, aku justru anak petani yang kurang mampu. Aku yang bernama asli Nur Fatimah dan biasa dipanggil Fatimah saat ini berumur 21 tahun. Ya, Bapak Ibuku memang suka menamai anak-anaknya dengan nama Islami, bagi kami tidak masalah terlihat kampungan dan jadul, yang penting punya makna yang baik.

   Aku anak ke-5 dari 5 bersaudara, aku anak bontot, namun aku sangat mandiri seperti ke-4 kakakku yang lain. Aku bukan berasal dari keluarga kaya, jadi dari kecil sudah terbiasa mandiri, sering berjualan kue keliling, jual ikan keliling dan jualan sayur keliling. Begitulah kerasnya kehidupan masa kecilku, hingga membentukku menjadi wanita mandiri.

   Saat ini, aku masih menjadi mahasiswi semester akhir, aku kuliah sambil bekerja di toko kain sebagai kasir. Kalau pagi hingga sore aku bekerja dan sore hingga pukul 09 malam kuliah.

   Tak hanya itu, aku juga mempunyai kegiatan lain, aku membuka bisnis sampingan olshop yang sudah hampir Tiga tahun berjalan dengan omset yang lumayan. Caraku membagi waktu, disela-sela kesibukan aku rajin mempromosikan jualanku dimedsos.

Sebetulnya penghasilan dari olshop lebih besar dari gajiku sebagai kasir toko. Tapi aku tetap menekuni keduanya.

   Aku memiliki tabungan yang lumayan, meskipun sudah aku pakai untuk membayar kuliah, membeli motor baru dan sebagai modal usaha olshopku. Tapi sisa tabunganku masih lumayan banyak.

   Dikota ini aku tinggal sendirian dikos-kosan sempit, sebenarnya tabunganku cukup untuk DP dan angsuran perumahan atau membeli tanah cash sebesar 50 juta rupiah dipinggiran kota, tapi aku masih ragu aku memilih untuk menabung saja di bank dan tinggal sederhana dikosan sempit.

   Aku memang sangat hemat dalam menggunakan uangku, aku pengiritan dan terus bekerja keras, karena aku tidak mau hidup susah seperti dulu. Orang tuaku hanya petani kecil-kecilan yang penghasilannya tidak tentu.

   Dulu untuk membayar sekolah ku dan kakak-kakakku saja sudah kesulitan, bahkan kami dapat bantuan dari pemerintah biaya sekolah gratis bagi anak kurang mampu.

   Bapakku memiliki impian besar untuk menguliahkan ke-5 anak-anaknya saat lulus sekolah, tapi uang dari mana. Namun nyatanya takdir baik berpihak pada kami, aku dan ke 4 kakakku semua bisa kuliah dari jerih payah dan usaha sendiri dan tak lepas pula karena dukungan dan doa Bapak dan juga Ibuku.

   Saat lulus sekolah aku dan kakak merantau di kota ini dan mulai mencari pekerjaan yang bisa dilakukan sambil kuliah. Hingga akhirnya semua kakakku lulus menjadi sarjana, tinggal aku yang sudah semester akhir dan Satu tahun lagi diwisuda.

   Dulu cita-citaku ingin menjadi Bidan atau Pengacara, tapi itu hanyalah impian, aku hanya mampu kuliah dengan mengambil jurusan yang paling murah dan terjangkau. Bisa kuliah hingga S1 saja aku sudah sangat bersyukur. Tidak peduli mau jurusan apapun, yang terpenting bisa mewujudkan impian orang tuaku.

***

  Tanggal 2 Januari, adalah hari yang tak bisa ku lupakan, karena aku sudah memutuskan pacarku yang sudah Tiga tahun bersama. Aku putuskan saja karena aku sudah dikhianati. aku sakit hati dan kecewa, tapi aku puas sudah memutuskannya.

  Tanggal 14 januari, aku bertemu kakak tingkat di halaman kampus tempat aku kuliah. Ketika aku berjalan menuju kantor untuk membayar biaya semesteran, Dia melempar senyum kearahku sambil menghidupkan motornya. akupun berjalan pelan sembari membalas senyumnya.

   Ah... tampan juga Laki-laki ini. Pikirku dalam hati.

   Kakak tingkatku tadi, memang sangat tampan, badannya tinggi, penampilannya keren, hidungnya mancung, murah senyum, ramah dan manis. Tapi aku tidak terlalu memikirkannya, karena aku sudah sering berpapasan dan disapa oleh kakak tingkat lainnya, yang juga tampan. Jadi sudah tak begitu heran.

   Namun malam harinya ketika aku bersiap untuk tidur, ponselku bunyi.

   Tring!

   Aku bergegas mengecek dan membuka aplikasi bergambar telpon , ada pesan masuk.

   [Hai, Fatimah, bolehkah kenalan... aku dapat nomor kamu dari teman satu kelasmu, aku yang tadi papasan sama kamu dikampus]

Aku lihat fotonya , ternyata kakak tingkat tadi yang dikampus, dan ternyata Doni namanya.

   [Hai, juga, Kak, salam kenal kak, hehehe]

Aku tanpa pikir panjang langsung membalas pesannya .

   Setelah perkenalanku dengannya, akhirnya aku semakin sering berhubungan melalui media sosial atau telpon, bahkan sering bertemu dengannya, kami memiliki kecocokan, kami pun sering berbagi kisah masa lalu, ternyata masa laluku sama dengan masalalunya, sama-sama pernah terluka.

Akhirnya bertepatan 1 minggu setelahnya kami pun resmi berpacaran. Hari-hari yang ku jalani dengannya begitu indah .

   Semenjak berpacaran aku berubah  menjadi royal, aku tidak peduli bahwa aku perempuan yang kodratnya harusnya dibayarin bukan ngebayarin, justru aku enjoy saja, aku suka mentraktirnya, aku suka membawakan makanan, suka membelanjakan cemilan dan berbagai jenis makanan dari mini market untuk stock dikulkasnya. 

   Sekali belanja aku bisa menghabiskan uang ratusan ribu. Selama pacaran dengannya aku tidak pelit, dia tidak pernah minta sepeserpun dariku, tapi aku yang memang berniat memberinya, dia tidak pernah memanfaatkan aku. Kami memang dari awal kenal selalu saling tolong menolong, saling membantu sebisa kami.

   Sejujurnya aku kasihan dengan Kak Doni walaupun dia anak orang kaya, tapi nyatanya, jatah bulanannya jauh dari kata cukup. Menurutnya, kiriman orang tuanya hanya cukup untuk membeli bensin dan makan setengah bulan. Kalau di hemat-hemat Satu bulan bisa makan, tapi, ya, sehari Satu kali hingga Dua kali saja. Entah mengapa bisa begitu, padahal orang tuanya kaya, tapi anaknya seperti kurang perhatian.

   Sampai-sampai badannya kurus, untuk ukuran laki-laki bertubuh tinggi 178 centi meter yang hanya memiliki berat badan 52 kilo gram itu sangat kurus, tulang pipi dan tulang tangannya pun kelihatan jelas. Aku jadi iba terhadapnya.

   Namun, meskipun kurus, ketampanannya tetap terlihat dari wajahnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status