Share

Bab 2

Di toko itu, Mila merupakan waitress favorit pelanggan, tidak hanya oleh kaum lelaki muda saja, bahkan banyak ibu-ibu yang menginginkan untuk dilayani olehnya. Sikap yang ramah serta wajah ayu, membuatnya banyak disukai. Termasuk Pram, pemuda pemilik bakery itu. Ia adalah satu-satunya anak dari Ny. Hanum. Jadi dialah pewaris tunggal usaha dari ibunya. 

***

Mila sedang mengelap etalase besar toko saat dirasa ada seseorang yang memandangnya. Namun saat ia mengedarkan pandangannya, ia tidak menemukan siapapun yang memperhatikannya. 

Sementara itu, Pram yang berada di ruangannya memang sedang memperhatikan setiap gerak gerik gadis yang disukainya. Kaca gelap satu arah membuat orang yang berada diluar sama sekali tidak mengetahui aktifitas dibalik kaca. Ini sangat menguntungkan bagi Pram. Ia dapat memandangi gadis itu sepuasnya tanpa harus takut ketahuan.

Tapi mendadak senyumnya hilang, berganti dengan kernyitan keheranan saat ia mendapati lebam di pipi kanan gadis pujaannya itu. Bahkan ia berusaha untuk menajamkan pandangannya,dan benar ... , lebam itu terlihat, meskipun Mila sudah menutupnya dengan kerudung. 

"Apa yang terjadi dengannya?" bathin Pram bertanya-tanya.

***

Di sekolahan, Riska terlihat tidak tenang. Bagaimanapun juga, pamannya telah menorehkan luka yang begitu dalam dihatinya. Luka karena di tinggalkan oleh ayah, disusul dengan kematian ibunya yang berjarak hanya tiga bulan setelah kepergian ayah, membuatnya harus tinggal dengan paman Kasto, satu-satunya kerabat yang ia ketahui. Namun naas, pamannya malah memperlakukan mereka dengan sangat tidak baik. Bahkan seringkali mereka mendapatkan perlakuan fisik yang menyakitkan, dengan meninggalkan luka yang membekas ditubuh, saat mereka tak memberikan sejumlah uang yang disebut oleh pamannya.

Kasto tak memiliki pekerjaan tetap. Dia akan bekerja apapun yang diminta untuk mengerjakannya. Kadang buruh bangunan, kadang jasa kurir ataupun jasa angkut-angkut barang. Tapi kini, sejak wabah corona melanda, hampir tak ada orang yang membutuhkan tenaganya. Pekerjaannya kini hanyalah bermain judi. Beberapa kali menang, tapi lebih sering kalah. Jika sudah begitu, dua gadis bersaudara itu yang menjadi korbannya. 

Sebenarnya Riska pernah mengusulkan ide untuk pindah tempat tinggal, namun Mila menolaknya. Satu-satunya yang membuat mereka bertahan adalah ayahnya. Ayah yang sudah lama pergi, tanpa ada kabar berita. Mila yakin, bahwa suatu saat ayahnya akan datang kembali untuk menemui mereka. Dan karena Paman Kasto adalah satu-satunya kerabat, jadi kemungkinan besar ayahnya pasti akan datang ke rumah itu. 

***

"Nona Mila, bapak pimpinan ingin bertemu!" ucap Shella yang terdengar sangat menggelikan di telinganya. Tampak Shella yang tersenyum jahil ke arahnya, sedangkan gagang telepon masih menempel di telinganya. Sepertinya panggilan dari Pram. Suara Shella yang keras cukup terdengar oleh seluruh karyawan Hanum Bakery. Ada yang menyoraki Mila, namun ada juga yang mencibir.

"Tuh ... , karyawan kesayangan di panggil bos," celetuk seorang gadis berkulit kuning langsat sambil melirik Mila tak suka. Meskipun hanya berupa gumaman, namun tak urung kalimat bernada pedas itu terdengar juga di telinganya. Membuatnya merasa tak enak hati untuk langsung mengiyakan panggilan dari Pram.

"Mil! Buruan!" celetuk Shella yang hanya dibalas anggukan oleh Mila.

"Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Shella pada karyawan yang mencibir tadi. Sementara orang yang dimaksud langsung menundukkan wajah, tak berani untuk menjawab pertanyaan Shella, pasalnya, seluruh karyawan juga tahu, siapa Shella sebenarnya. Bisa-bisa SP keluar jika berurusan dengannya.

***

Tok Tok Tok

Mila sengaja mengetuk pintu ruangan atasannya sebelum ia membuka pintu. 

"Masuk ... " sebuah suara seorang pria mempersilahkannya memasuki ruangan.

Mila dengan ragu-ragu melangkahkan kakinya masuk kedalam ruangan pimpinan.

"Duduk dulu, tunggu sebentar," ujar pria itu sambil pandangannya tak lepas dari laptop di hadapannya. Jarinya masih menari-nari dengan lincah diatas tombol keyboard, sementara gadis dihadapannya terlihat bingung harus berbuat apa. Duduk sambil menundukkan wajah, mencoba untuk meminimalisir kontak wajah dengan orang lain. Diremas-remasnya jari tangannya, sambil sesekali ia mencuri pandang pada atasannya itu. 

Tidak dipungkiri, ia adalah seorang gadis normal yang juga memiliki rasa tertarik kepada lawan jenisnya. Apalagi di usianya yang saat ini. Sebenarnya ia menaruh hati pada Pram, tapi ia sangat tau diri. Siapalah ia yang dengan lancangnya menaruh hati pada pria yang menurutnya sangatlah sempurna. Punya jabatan tinggi, kaya, dari keluarga terhormat, dan ditambah lagi ia memiliki wajah tampan. Sungguh tanpa cela menurutnya. Belum lagi tutur kata dan perilaku sang bos yang terkesan sopan dan lemah lembut kepada semua orang.

"Kenapa lagi?" sebuah suara sukses menginterupsi lamunan Mila tentang pria di depannya. 

"Eh ... , apa? maksudku ... , aku tak mengerti dengan maksud pertanyaanmu," kata gadis itu tergagap. 

Sedangkan pria itu hanya tersenyum mendapati Mila terlihat gugup, bahkan pipinya yang putih langsung bersemu merah. 

Pram berdehem, kemudian bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.

"Tentang apa?" tanya Mila yang menghindari tatapan tajam dari atasannya itu.

"Wajahmu," kata Pram singkat.

Mila hanya menghela nafas dalam, tak ingin jujur pada semua orang bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Sementara sang penanya masih setia menunggu jawaban dari sosok yang berada di seberang mejanya. Kini terlihat sangat kentara, pelipis dan pipi yang memar, bahkan sedikit terlihat membiru. 

"Tadi pagi jatuh dari sepeda," jawab Mila mencoba untuk meyakinkan pria dihadapannya. 

Alis Pram mengernyit, mencoba untuk mencari kejujuran pada wajah gadis itu. Namun Mila segera menundukkan kembali wajahnya.

Pram membuang nafasnya dengan berat, sungguh penglihatannya tidak mudah dibohongi. Ia mendapati kenyataan bahwa gadis yang disukainya terlihat tak nyaman dengan pertanyaan yang diajukannya, terlihat sekali bahwa Mila menyembunyikan sesuatu darinya.

"Baiklah ... , lain kali berhati-hatilah." Pram akhirnya berniat untuk berhenti mencecar Mila kali ini.

"Apa kau ingin memiliki waktu untuk beristirahat? tiga atau empat hari mungkin?" tawar Pram pada karyawan favoritnya itu.

"Tidak ... , ijinkan aku untuk tetap bekerja hari ini, maafkan aku jika wajahku membuat semua orang merasa tidak nyaman. Aku kan bekerja di bagian kitchen saja. Agar para pelanggan tidak jijik melihatku," ucap Mila yang langsung memotong tawaran atasannya itu.

Sementara Pram malah sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu akan salah paham dengan maksud tawarannya tadi. Feelingnya mengatakan bahwa gadis itu sedang berada dalam posisi tidak baik. Maka ia menawarkan waktu untuk beristirahat. Tentunya tanpa potongan gaji, seperti yang mungkin saja dikhawatirkan oleh karyawannya itu.

"Mila ... , jika kau khawatir tentang gaji, jangan risaukan hal itu. Aku tak akan memotong gajimu atas waktumu untuk beristirahat. Ini murni tawaranku," ucap Pram dengan lugas.

"Bukan ... , bukan itu, tolong ijinkan aku tetap bekerja hari ini, aku akan sangat stres jika tidak melakukan apapun di rumah. Maaf jika aku memaksa. Maafkan aku," kali ini Mila bahkan mengiba dengan bayang-bayang kaca di netranya. 

Pram terkesiap, merasa sedikit bersalah, mencoba mengoreksi kalimat yang ia lontarkan barusan. Tetapi nihil, seberat itukah beban yang sedang dihadapi gadis dihadapannya ini, sehingga harus mencari kegiatan agar tak merasa sendirian di rumah? Bukankah disana ia bisa merilekskan tubuhnya yang lebam akibat terjatuh dari sepeda? Tunggu! Jelas bukan karena terjatuh. Pasti ada alasan lain sehingga gadis ini memilih untuk menyibukkan diri padahal tubuhnya kesakitan. Sangat dipaksakan.

"Baiklah, jika itu permintaanmu. Di sana ada kotak P3K, obati luka-lukamu. Dan kembalilah bekerja," perintah Pram.

"Tak perlu ... "

"Pulang, atau obati lukamu. Hanya itu saja pilihanmu," kata Pram tegas.

Mila hanya mengangguk. Sementara Pram mengerti dengan ketidaknyamanan gadis itu berada di ruangan itu. 

"Obati lukamu," kata Pram sambil beranjak berdiri, menutup laptop dan pergi meninggalkan Mila sendirian di sana. Sebelumnya ia menepuk pundak gadis itu. Menutup pintu dari luar dengan perlahan. 

Hufftt ...

Mila membuang nafasnya dengan lega. Berada di dekat lelaki itu membuat kemampuan menghirup oksigen nya menjadi hilang. Sesak. Padahal Pram tidak setiap hari melakukan kunjungan di cabang ini. Harusnya ini menjadi momen yang menyenangkan bagi Mila, karena memandang pria itu seperti mood booster baginya. Namun sial, ia harus menemui atasannya itu dengan keadaan yang sangat buruk.

Tak lama kemudian, ia meninggalkan ruangan itu dengan sebuah plaster kecil yang menempel pada sudut keningnya. Sedangkan untuk luka memar dipipinya, ia memilih untuk mengompresnya saja dengan es batu. Nanti saat istirahat tentunya. 

Tatapan bertanya ia dapatkan saat keluar dari ruangan bosnya. Ia mencoba untuk mengacuhkannya, dan memilih untuk meneruskan pekerjaannya yang tadi tertunda.

  - TBC

By. Rinto Amicha

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status