"Suci … bangun, Nak. Ini sudah jam berapa?" Suara seorang wanita yang tidak asing di telinganya, membangunkan Suci yang tengah tertidur pulas di kamar.
Wanita paruh baya yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar Suci menggeleng-gelengkan kepala.
"Kamu bisa terlambat pergi bekerja Suci, ini sudah jam tujuh. Ayo cepat bangun!" ujarnya lagi menutup pintu.
Suci mengerjapkan matanya, mengarahkan pandangannya ke sekitar. Dia sadar kalau dia baru saja bermimpi.
Tidak ada lagi kastil atau pria yang diketahuinya sebagai bosnya tidur di sampingnya. Sepertinya benar kalau dia hanya bermimpi selama ini.
Suci bangun dan menurunkan kakinya ke atas lantai, baru saja akan menginjakkan kedua kakinya. Suci kembali terduduk karena merasa pangkal pahanya sangat sakit.
"Aww…." ringisnya kembali terduduk di atas ranjang. "Kenapa sakit sekali?"
Susah payah Suci menyeret kakinya berjalan menuju kamar mandi. Apa yang terjadi padanya? Bukankah semalam itu hanya mimpi? Kenapa tubuh intinya sangat sakit?
Bahkan untuk buang air kecil saja Suci merasakan perih yang teramat sangat di dalam sana. Astaga … apa mimpi benar-benar bisa membuat wanita kehilangan keperawanannya?
Suci merasa dirinya pasti sudah gila saat ini, bahkan bayangan pergulatan panas semalam masih jelas berlarian di otak kecilnya.
Butuh setidaknya sejam lebih untuk Suci bersiap dan menahan rasa sakit di bawah sana. Wanita itu berjalan dengan hati-hati menuruni tangga.
"Kamu kenapa?" tanya Charlie ayah Suci.
"Tidak apa-apa Dad. Hanya sedang datang bulan saja," sahutnya beralasan.
Pria yang hobi membaca koran itu mengangguk dan kembali memusatkan perhatiannya pada lembaran-lembaran di tangannya.
Mereka sedang duduk di depan meja makan menunggu ibu Suci selesai menyiapkan sarapan.
"Tumben sekali kamu bangun siang Suci, Mommy tidak tahu kamu pulang jam berapa semalam."
Wanita yang masih memakai celemek bermotif batik itu berjalan membawa piring berisi omelet ditangannya.
"Aku lembur semalam, Mom. Jadi aku pulang sedikit larut…," sahutnya tanpa beban.
Iya, Suci hanya ingat dia pulang dari kantor setelah lembur bersama rekan kerjanya Olivia.
"Ya sudah, cepat habiskan makananmu. Nanti kamu pergi bersama Daddy ke kantor."
"Mommy tidak ke toko?"
"Tidak, mommy dirumah saja. Mommy lelah seharian membantu Daddy kamu di sana, tapi tidak pernah diberikan jajan setiap mommy minta!" kesal wanita paruh baya keturunan Indonesia itu mencurahkan isi hatinya.
"Baru juga kemarin daddy kasih, Beb. Masa sekarang sudah minta lagi? Heran daddy uangnya dibelikan apa!" sela Charlie membela diri.
"Namanya juga wanita, kebutuhan kami, kan banyak. Bilang saja kalau kamu tidak mau mengeluarkan uang lagi untuk istri sendiri!" cibir Susi istrinya.
Suci hanya menjadi pendengar yang baik dengan perdebatan kedua orang tuanya ini. Menjadi anak tunggal di keluarga berbeda budaya, membuat Suci terbiasa menghadapi cara keduanya menyelesaikan masalah.
Paling nanti juga setelah ini mereka akan masuk ke kamar dan terdengar bunyi barang berhamburan dari dalam sana, pikirnya.
"Aku pergi dulu," ujar Suci berdiri dari kursi meja makan.
"Tunggu, biar Daddy yang mengantarkanmu…." tahan Charlie.
"Tidak perlu, Daddy disini saja membujuk mommy. Aku pergi dulu." Suci pamit, berjalan meninggalkan dua orang yang kembali berdebat itu.
Dia lelah jika harus menghabiskan banyak waktunya di pagi ini mendengarkan orang tuanya yang saling menyalahkan satu sama lain.
Sesampainya di perusahaan tempatnya bekerja, Suci tidak sengaja bertemu dengan pria yang semalam ada dalam mimpinya.
Pipi Suci seketika memanas membayangkan pergulatan mereka dalam mimpi basahnya. Astaga … apa-apaan itu? Otakku benar-benar tidak masuk akal, gumamnya.
Suci harus menaiki lift untuk bisa sampai ke lantai ruangan di mana dia bekerja. Bersamaan dengannya, pria berambut putih yang adalah atasannya di kantor, sudah lebih dulu masuk kedalam.
"Kamu tidak masuk?" tanya seorang pria yang dikenalnya sebagai sekretaris bos besar mereka.
"Ti-tidak Pak, saya sedang menunggu teman…," sahut Suci gugup.
Sekretaris bos besarnya itu mengangguk dan menekan tombol lift. Sebelum pintu itu tertutup, manik mata biru Rey menatap dalam manik mata coklat tua Suci.
Pandangan mata dinginnya membuat tubuh Suci seketika kaku, hingga tanpa sadar menahan nafasnya sendiri sampai pintu lift tertutup rapat.
Bodoh! Kenapa aku malah memimpikan pria pucat itu? Kesalnya dalam hati.
Menunggu sampai pintu lift itu kembali terbuka, Suci masuk menuju lantai tempatnya bekerja.
"Kamu kemana saja dua hari ini Suci?" sapa Olivia mendekati meja rekan kerjanya.
"Hah? Dua hari? Bukannya aku baru masuk kemarin?"
"Astaga, apa kamu masih bermimpi Suci? Kamu sudah dua hari tidak masuk. Kepala divisi kita sampai menanyakannya padaku, kenapa kamu tidak masuk bekerja!"
Suci terdiam, apa benar dia tidak masuk kerja selama itu? Bukannya semalam dia baru saja pulang lembur bersama Olivia?
"Hei, diam lagi kamu!" sentak Olivia mencolek lengan Suci.
"Ah iya, aku tidak kemana-mana, Liv. Aku hanya—"
"Suci…!" panggil kepala divisi mereka memotong pembicaraan dua teman itu.
Suci sontak berdiri dan buru-buru menghampiri wanita yang seumuran dengan ibunya.
"I-iya, Bu?"
"Kamu diminta ke ruangan HRD sekarang. Kamu akan dipindahkan ke ruangan Presdir di bagian timnya."
"Apa?" kaget Suci. "Kenapa tiba-tiba begini, Bu? Apa saya bekerja tidak baik di divisi ini?"
"Sama sekali bukan karena itu Suci, mereka hanya sedang kekurangan pegawai saat ini. Kamu diminta mengisi kekosongan tim yang ada di sana," terang kepala divisi itu.
Suci yang kaget dengan pemberitahuan dari kepala divisinya, malah bleng seketika. Bagaimana mungkin pria yang baru semalam dia mimpikan sedang bercinta dengannya malah akan bertemu dengan dia tiap hari.
Suci jadi malu sendiri jika ada orang lain yang tahu tentang mimpi anehnya semalam.
"Ayo cepat Suci, mereka sudah menunggumu sekarang!" perintah kepala divisinya lagi.
"Baik, Bu."
Dengan langkah gontai, Suci kembali ke meja kerjanya yang disambut tepukan bahagia dari Olivia.
"Wah, selamat Suci. Aku ikut senang mendengar kamu akan pindah ke lantai paling atas bersama pemimpin kita. Aku jadi iri padamu…."
"Tapi aku tidak mau pindah, Liv. Aku tidak mau bekerja dan setiap hari harus bertemu dengan pria berambut putih itu!" keluh Suci terduduk lemas di kursinya.
"Jangan bicara begitu Suci. Walau bagaimanapun dia yang menggaji kita disini. Kerja saja dengan baik dan jangan lupakan temanmu di bawah sini," goda Olivia mulai merapikan barang-barang Suci di atas meja.
Menghembuskan nafas yang berat, Suci berjalan keluar dari ruangan di mana dia bekerja selama beberapa tahun ini. Wanita itu masuk lagi ke dalam lift menuju lantai paling atas gedung.
Selama berada di dalam lift Suci tidak berhenti menggerutu. Sial sekali nasibku ini, kenapa juga aku harus pindah kesana setelah mendapatkan mimpi aneh itu?
Suci membentur-benturkan kepalanya ke dinding lift dengan tangan memegang kotak sedang berisi barang-barangnya.
Begitu pintu lift terbuka, Suci melangkah dengan gugup berjalan mencari ruangan sekretaris bos besarnya yang bersebelahan dengan ruangan Rey.
Mengetuk pintu sambil membawa kotak barangnya di tangan, Suci terlonjak kaget mendengar suara bariton dari arah belakang dia.
"Aaaa…." teriaknya menjatuhkan kardus yang Suci bawa.
"Kenapa kamu berteriak-teriak disini?!" sentak suara bariton itu menatapnya tajam.
"Ma-maaf, Pak. Aku … aku disuruh kepala divisi keuangan kesini, Pak," sahut Suci terbata.
"Jadi kamu yang akan dipindahkan kesini?" tanya pria itu lagi masih menatap tajam wanita di depannya.
Suci tidak berani menatap manik mata biru atasannya yang seperti akan memakannya bulat-bulat.
"I-iya Pak, aku diminta kepala divisi kesini setelah melapor di bagian HRD tadi."
"Lihat aku, kenapa kamu menunduk? Apa aku ada di bawahmu sekarang?!" ujar Rey setengah membentak.
"Ma-maaf Pak." Suci ragu-ragu mendongak, menatap pria tampan dengan rahang yang tegas di depannya.Pria yang sempat dia ledek waktu itu bersama Olivia tampak sangat tampan dari arah sini.Bayangan wajah pria ini pun begitu jelas dalam mimpinya. Bagaimana pria itu tidur di sampingnya, serta bagaimana pria ini menyetubuhinya dengan sangat lembut semalam. Suci merasa kepalanya sudah tidak waras sekarang."Ambil barangmu dan ikut aku!" ujar Rey lagi berjalan meninggalkan Suci yang masih tertegun dengan ketampanan sosok atasannya."Aku hitung sampai lima, kalau kamu belum juga masuk ke ruanganku. Aku akan memberimu hukuman!" ancamnya.Suci bergegas mengambil barang miliknya yang berserakan di lantai, dan melangkah cepat masuk keruangan Rey."Ternyata kamu cukup sigap untuk seorang wanita." Rey tersenyum tipis melihat Suci yang terlihat takut mendapatkan huku
Suci melangkah mendekati pintu ruangan sekretaris atasannya yang tepat bersebelahan dengan ruangan Rey."Permisi, Pak." ujarnya mendorong pintu, menyembulkan kepala. "Aku diminta, Pak Rey kesini untuk menanyakan apa pekerjaanku."Seorang pria yang tadi pagi menyapanya di lift dengan sangat ramah, mendongak menatap Suci yang berjalan masuk ke ruangannya."Jadi kamu yang akan bekerja disini?" tanya Michael bangkit berdiri dari kursi."Iya, Pak. Aku diminta kepala divisi keuangan kesini.""Baik. Silahkan duduk…," ujar Michael hangat.Suci mengangguk dan duduk berhadapan dengan pria yang tidak kalah tampannya dengan bos besar mereka di kantor.Pandangan mata Michael tidak sengaja melihat perban luka di tangan kanan Suci. "Jarimu kenapa?""Oh, tidak apa-apa, Pak. Aku hanya tergores sedikit tadi."
Wanita itu sontak menatap ke depan dan tidak mendapati atasannya bersama sosok asing yang menghalangi mobil mereka tadi. Kemana mereka? Bukannya tadi Rey baru saja berada di sana?"Lalu apa yang kamu katakan tadi … kamu bilang kamu tidak mengenaliku?" sambung Fourd lagi. "Apa perlu aku mengingatkan kamu bagaimana pertemuan kita sebelumnya?"Suci beralih menatap Fourd, bingung dengan maksud ucapan pria itu padanya."Turunlah, biar aku menunjukkannya padamu…," bujuk Fourd."Terima kasih Tuan, tapi aku akan tetap menunggu Pak Rey disini!" sahut Suci bersikukuh."Rey mungkin akan lama. Kamu bisa pulang semakin larut karenanya. Lagipula aku ini kakak atasanmu, dia pasti akan merasa lebih aman kalau kamu pulang bersamaku.""Tapi aku—""Kamu bicara dengan siapa Suci?" sela Rey baru masuk ke dalam mobilnya.
Tepat pukul tujuh pagi, Suci tiba di depan pintu apartemen bosnya. Menekan tombol bel cukup lama, pria berkulit tubuh pucat itu akhirnya membukakan pintu untuknya.Rey hanya memakai celana boxer berwarna nude dengan tubuh bagian atas yang polos. Pemandangan itu berhasil mengalihkan perhatian Suci yang kaget melihat perut kotak-kotaknya."Lain kali kamu tidak perlu menekan bel lagi! Password apartemenku adalah ulang tahunmu!" Rey berjalan masuk meninggalkan Suci di depan pintu."A-apa, Pak? Ulang tahunku?" tanya Suci memastikan."Iya. Jangan menggangguku, aku mau tidur sebentar." Rey masuk ke dalam kamar dan membanting pintu cukup kuat.Kenapa lagi dengan pria itu? Suci mengernyit, melangkah masuk ke dalam apartemen mewah bosnya.Apa benar Pak Rey memakai tanggal ulang tahunku untuk password apartemennya? Suci bergumam sendiri, memperhatikan ruangan di depanny
"Bangun Suci…." Suara bariton terdengar di telinga wanita berwajah mulus tanpa noda itu.Manik mata cokelat tuanya terbuka perlahan, dan tertegun menatap wajah tampan di depannya."Ayo bangun, kita sudah sampai…," ujar suara itu lagi.Seakan tersadar, Suci melompat bangun dari tidurnya dan menyadari kalau dia tengah berada di dalam sebuah mobil."Aku di mana?"Rey berdecak menatap Suci tajam. "Tentu saja ada di bumi, kamu pikir kamu ada di bulan sekarang!"Suci menatap ke sekelilingnya, mendapati mobil yang sedang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah gedung mewah yang terlihat seperti hotel."Ayo turun!" ajak Rey lagi.Pria berkulit pucat itu keluar lebih dulu meninggalkan Suci yang masih kebingungan di kursi mobil.Wanita itu bergegas turun saat menyadari Rey s
"Kita akan menginap disini, Pak?" Rey mengangguk dan menjatuhkan dirinya ke sofa kamar hotel."Apa aku boleh pulang saja, Pak?" tanya Suci lagi."Kenapa memangnya? Apa kamar yang aku pesan ini tidak cukup bagus untukmu?"Suci mengangkat dua tangan ke atas dada dan mengayunkannya dengan cepat. "Bukan, bukan begitu, Pak. Aku hanya—""Tidurlah disini, kita akan pulang besok pagi!" potong Rey bangkit dari sofa."Tapi, Pak. Aku tidur di mana nanti?""Kamu bisa tidur di sofa kalau kamu mau," sahut Rey santai.Suci melongo, tidak menyangka atasannya akan berkata begitu padanya. Bagaimana mungkin pria berambut putih itu menyuruhnya tidur di sofa? Apa dia tidak bisa memesankan satu kamar lagi untuknya?Kesal, Suci menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Dia ingin sekali protes, tapi Rey sudah lebi
"Dari mana saja kamu, hah?!" sentak Rey saat Suci baru saja masuk ke dalam kamar mereka."Kamu mengagetkan aku, Pak." sahut Suci mengusap dada."Aku tanya kamu dari mana?!" tanya Rey lagi."Aku dari bawah, Pak. Mencari makanan untuk kita, tapi aku tidak sempat memesan makanan karena bertemu dengan Tuan Heinze di sana," terang Suci berdiri di depan atasannya."Apa? Kenapa kamu berkeliaran sendirian di sini? Apa aku menyuruhmu ke bawah, hah?!"Rey kembali memarahinya untuk hal yang tidak penting menurut Suci. Apa pria ini memang hobi marah-marah pada orang lain sejak dulu?Dia masih kesal dengan perlakuan tuan Heinze padanya dan kini Rey malah menambah rasa kesalnya? Suci ingin sekali melempar sepatunya ke wajah Rey sekarang."Kenapa kamu diam?!" Rey masih membentak Suci."Lalu aku harus menjawab apa? Aku la
"Kamu mau ke mana Suci?" tanya Susi melihat anaknya sudah tampak cantik dan menawan."Aku akan menemani bosku ke sebuah pesta, Mom."Susi mengernyit. "Kamu mau pergi lagi dengan bosmu malam ini?" Suci mengangguk."Apa kalian sudah dekat sekarang, hm?" goda wanita paruh baya itu."Maksud Mommy apa? Kami hanya sebatas atasan dan bawahan, Mom … jangan berpikir yang tidak-tidak!" elak Susi dengan wajah yang memerah."Mommy hanya bertanya Suci, kamu yang terlalu berburuk sangka dengan mommy.""Terserah Mommy saja, aku pergi dulu. Dia sudah menungguku di luar.""Ya, buat dia terus terpesona denganmu…!" sahut Susi setengah berteriak sebelum pintu depan rumah mereka tertutup.Suci melangkah cepat masuk ke dalam mobil bosnya dengan perasaan bahagia. Entah karena ucapan ibunya, atau karena tahu d