Share

KEHILANGAN IBU

"Ini apa?" tanya perawat.

Teman-teman XL pucat wajahnya. Mereka seperti tersangka dalam sebuah kasus.

"Kaa … mi hanya memberinya ku … kue coklat," kata Dina terbata-bata.

"Nah itu masalahnya, pasien dengan masalah pencernaan akut tidak boleh makan coklat dulu, asam lambungnya bisa naik," ujar perawat menjelaskan.

"Ooh, maafkan kami, kami sungguh tidak tahu," kata Farah. Nampak raut mukanya sedih melihat keadaan Xl.

"It's oke, semua akan baik-baik saja, sebaiknya kalian pulang, biarkan pasien beristirahat," pinta perawat kepada mereka.

"Oh, iya ... iya, kami pergi sekarang," ujar Sonia cepat. Gadis itu bersiap-siap untuk segera pergi.

"XL, kami pulang dulu, ya, cepat sembuh! Tidak usah diet lagi, kami semua sayang kamu." Dina berpamitan. Sonia dan Farah ikut menanggukan kepala, mata mereka basah.

“Rupanya para mahluk tengil ini bisa juga terharu,” pikir Xl. Dia juga ikut larut dalam perasaan sedih.

XL berusaha untuk tersenyum, walau mungkin kelihatannya seperti sebuah seringai. “Sudahlah yang penting bibir tertarik ke atas, mau dimaknai seringai atau senyuman, bodo amat!” kata batin XL.

"Terima kasih, kuenya enak, aku mampu menghabiskan dua loyang lagi kalau ada," bisik XL ke telinga Farah saat memeluk.

"Eh!" Farah bereaksi kaget sambil mencubit pinggang Xl. "Asal kau sembuh, aku kasih tiga loyang," sambungnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Sip," jawab Xl sambil mengacungkan jempol. Matanya berbinar membayangkan lezatnya kue coklat.

"Aku jadi curiga, ada apa bisik-bisik?" tanya Dina.

"Rahasia ... sudahlah, ayo pulang sebelum kena marah perawat, let's go kita cabut," ajak Farah.

Setelah memeluk XL bergantian, mereka pergi meninggalkannya yang kembali kesepian dengan selang infus di tangan yang membuat tangannya pegal.

**

Rasa sepi ini membawa Xl teringat kembali kepada almarhumah ibunya. Dari kecil dia tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Ibunya meninggal saat usia gadis itu masuk SD. Bapaknya yang membesarkannya sendirian.

Bapak tidak tertarik untuk berumah tangga lagi, dirinya fokus mengurus dan menyekolahkan XL. Walau cuma lulus SLTA, tapi perjuangan bapaknya sungguh berat, menjadi seorang bapak sekaligus ibu. Ibu, samar-samar diingat XL adalah seorang yang lemah lembut, cantik dengan raut muka keibuan.

Tinggal di pemukiman yang masih belum terlalu ramai, perbatasan antara Jakarta dan Bogor. Cuacanya masih sejuk karena masih terdapat pohon-pohon besar, seperti pohon kecapi dan mahoni. Masih XL ingat dulu sering melihat orang memanjat kecapi, dan dirinya memungutnya di bawah. Asem manis rasanya dicocol sama kecap, enak.

Bertubuh bongsor sejak TK, banyak anak yang suka membully. Akan tetapi dia tidak menangis tapi lebih suka melawan karena ibunya dulu selalu berkata, " Tidak usah menangis, lawan orang yang menyakitimu!"

Masih XL ingat saat ibunya selalu pulang dulu dan dia ditinggalkan di sekolah sendiri, lalu nanti dijemput lagi. Merasa tidak akan ada yang membelanya seorang anak laki-laki mendekati, Irfan namanya.

"Gendut!” panggil Irfan keras. Bocah laki-laki itu bertolak pinggang sambil menatap XL tajam.

XL memandangnya sekilas, lalu lanjut kembali makan jajanan cilok kesukaannya. Nikmat sekali rasanya, bumbu kacangnya juga enak. Itu merupakan makanan favorit sampai sekarang.

"Hai, gendut! Sudah gendut budek pula!" maki Irfan kesal.

Tetap XL biarkan karena yakin Irfan pasti akan kesal sendiri karena tidak direspon. Terbukti, lelaki kecil itu marah-marah dan mendorong dada gadis kecil tersebut. XL yang sudah siap dengan ajaran ibunya siap mempraktekkan sesuatu. Ibu seperti malaikat baginya, dia tahu dengan badan XL yang lebih besar dari anak-anak lain pasti akan ada yang merundungnya.

"Ardhia budek!" panggil Irfan lagi dengan keras.

Dia kembali mendorong XL. Tangan Irfan yang kecil ditangkap gadis itu, lalu dipelintir sedikit. Cukuplah untuk membuatnya meringis, tangan XL satu lagi menepuk dada Irfan.

"Kalau suka bilang dong," ujar XL sambil mengedipkan mata genit.

Irfan sangat malu mukanya merah padam, mungkin juga dia marah. Masa bodoh, XL kecil tidak peduli. Anak-anak perempuan yang lainnya bersorak gembira. Sebenarnya mereka juga tidak suka karena Irfan itu jahil. Kadang rambut mereka yang sudah diikat rapi dan diberi pita ditariknya sampai acak-acakan. Namun, mereka tidak berani melawan.

Melihat XL mampu membuat Irfan malu dan tidak berkutik, murid perempuan berkumpul di belakang gadis itu. Mereka menunjuk-nunjuk Irfan sambil tertawa-tawa.

"Bilang kalau suka," kata Julia. Lantas cekikikan sambil menutup mulutnya.

"Astaga, jangan-jangan kamu juga suka aku? Sebab kamu suka menarik kunciranku." Emily ikut bersuara.

Irfan yang sebenarnya bernyali kecil, tidak tahan lagi dengan cercaan anak-anak yang selalu diganggunya. Dia berlari menuju ibunya, kemudian menangis.

"Mamaa, Ardhia jahat ... Ardhia jahat." Sambil menangis dia mengadu, ibunya mendelik melihat Xl, tapi gadis itu tidak peduli.

“Aku tidak takut, aku juga sama punya ibu yang siap membelaku,” gumam XL sambil melengos.

Saat pulang, Ardhia menggandeng tangan ibunya. XL bercerita tentang kejadian tadi pagi.

"Ibu, tadi Irfan menyebutku gendut, budek," ujar XL. Gadis itu mulai melaporkan apa yang tadi dialaminya.

"Hmmm, lalu ...."

"Aku tepok dadanya, lalu aku pelintir tangannya sedikit. Gak kencang-kencang takutnya nanti patah. seperti kata Ibu, kalau suka bilang, begitu," tutur XL. Dia begitu antusias saat bercerita.

"Bagus!" puji ibunya singkat sambil tertawa kecil. Dia lantas mengusap rambut gadis kecilnya.

Sejak saat itu, XL tidak pernah membiarkan orang lain untuk merundungnya. Dia tumbuh menjadi orang yang percaya diri. Orang yang mengusik pasti akan kapok kalau sudah berurusan dengannya. Dia tidak takut berkelahi dengan anak laki-laki nakal. Namun, gadis itu juga tidak akan berkutik kalau dia yang salah. Meski demikian gadis itu selalu mendapat bulian.

**

Kenangan masa kecil itu begitu membekas, tidak terasa matanya basah. Dia teringat dengan ibunya. Seandainya masih ada tentu saat ini gadis itu tidak sendirian. Lamunan melayang ke episode sebelumnya. Hari itu tanpa lelah menangis di samping jenazah. Terus menangis sampai matanya bengkak dan napasnya sesak.

"Pak, aku tak bisa hidup tanpa Ibu," ratap XL kepada bapaknya.

"Sabar, Nak, kan masih ada, Bapak," kata bapaknya mencoba menenangkan.

"Tidak bisa, Pak, tidak ada yang membelaku nanti, kalau aku diganggu orang, huu hu hu." XL menangis tanpa henti

"Masih ada Tante, sabar ya, Dia," hibur tantenya.

"Pak, uang Bapak habis ya, Pak,? Uang Bapak tidak cukup lagi ya, Pak, hingga Ibu begini, bangun ... Bu, bangun!" Ardhia terus menangis sambil mengguncang-guncang badan ibunya yang terbujur kaku.

Orang-orang melihat dengan tatapan yang trenyuh. Ardhia tidak perduli, hari ini adalah hari terakhirnya melihat Ibu.

"Pak, kalau kita bawa lagi ke rumah sakit, Ibu bangun kan, Pak?" tanya Xl pada Bapak.), PP

Bapak menggeleng lesu, air matanya perlahan jatuh tak mampu tertahan lagi. Semua orang menghibur, tapi saat itu gadis kecil itu tidak berhenti menangis. Dia memeluk Ibunya menunggu keajaiban dapat hidup lagi.

"Bu, aku tak kuat lagi, Bu, dadaku sesak, bangunlah, Bu, sebentar saja!" Ardhia masih terus meratap-ratap.

"Makanya, sudah nangisnya kalau dadamu sudah sesak, ayo pindah duduknya, jenazah ibumu harus segera dimandikan," kata tantenya.

"Biar aku saja yang mandikan, aku suka disuruh Ibu menggosok punggungnya, nanti aku gosok kakinya juga, huu hu hu," Ardhia berkata kepada tantenya, tangisannya tak juga reda.

"Boleh, kamu boleh ikut memandikan," jawab tantenya.

Dengan langkah terhuyung-huyung, Xl ikut memandikan Ibu, dirinya memperhatikan wajah ibunya baik-baik, merekam dalam ingatannya. Itulah terakhir Ardhia kecil melihat ibu.

Mata Xl panas rasanya, lalu menangis teringat Ibu. Mungkin karena pengaruh obat, kemudian dia pun tertidur. Terbangun saat satu tangan halus menggenggam tangannya. Perlahan gadis itu membuka matanya untuk melihat siapa yang datang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status