Share

DINA

XL terkekeh ingat dulu masa kecilnya, biarpun gendut tapi pemberani. Itu karena didikan almarhum ibunya yang mengajarkan kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak. Kalau orang lain bisa merundung kita, mengapa kita tidak bisa melawan. XL ingat-ingat itu sampai dirinya beranjak dewasa.

"Lalu, Lo kenal dengan Dina di mana?" tanya Farah. Bahasanya sudah amburadul, kadang kamu, kadang lo gue, mereka happy saja.

"Di tengah jalan raya," jawab XL. Sontak gadis di depannya kaget.

"Lho, kok bisa? Mana ada seperti itu. " Farah memandang XL keheranan.

"Bisa lah, kita berkenalan sama orang kan bisa di mana saja," jelas Xl. Dia tetap membuat Farah penasaran.

"Masa iya di tengah jalan raya? Aneh aja, ceritakan dong!" pinta Farah.

"Oke ... baiklah, tapi aku ngantuk ini, mungkin efek dari obat," keluh XL. Matanya tiba-tiba terasa berat, kepala terkulai karena rasa kantuk yang menyerang.

"Baiklah tidur saja, bercerita bisa kapan saja," sahut Farah. Gadis itu membenarkan letak selimut Xl. "Aku tungguin sambil baca novel digital kesayanganku, IPRIT," imbuhnya.

Ardhia hanya menganggukkan kepala, karena ucapan Farah semakin lama semakin samar. Dia tertidur dengan cerita Farah yang masih terdengar tentang novel kesayangannya.

Lamat-lamat XL mendengar Farah tengah asyik bercerita tentang seorang pendekar bernama Wisaka, tokoh dari novelnya tersebut. Namun, XL lebih tertarik dengan seorang bayangan yang berdiri di dekat jendela kamar rumah sakit ini. “Ibu ... benarkah itu Ibu?” tanya batinnya.

Silau sekali sinar lampu kamar ini. Tunggu, bukan sinar dari lampu yang menyamarkan wajah ibunya, tapi sinar dari wajahnya sendiri. Perempuan itu terlihat tersenyum ke arahnya. XL mengangkat tangan ke atas dahi, melindungi matanya dari cahaya yang menyilaukan itu.

Perlahan-lahan bayangan itu melangkah mendekati ranjangnya, semakin jelas wajahnya terlihat. Wajah yang begitu cantik dan bersih.

"Ibu ... Ibu," bisiknya. XL melirik Farah yang tertidur di sofa satu-satunya di ruangan ini. Rupanya dia tertidur setelah membaca novel.

Ibu tersenyum, kemudian menyentuh dan membelai rambut XL. Gadis itu ingat kalau ibu sudah meninggalkan dirinya. Tak sanggup lagi dia menahan air mata, XL menangis sambil memeluk tangan ibunya.

"Mengapa Ibu baru menengok aku sekarang?" tanyanya XL. Matanya tak lepas dari wajah yang sangat dirindukannya selama ini.

Ibu tidak menjawab, dia memberi isyarat kepada XL untuk mengikutinya. Lho, bagaimana bisa mengikutinya, bukankah di tangannya masih tertancap selang infus. Namun, sepertinya ibunya tetap ingin agar XL ikut, ibunya menuntunnya.

Ajaib, Xl melangkah mengikuti ibunya, tetapi dia masih bisa melihat badannya yang terbujur di ranjang tengah tertidur pulas.

"Mau ke mana, Bu?"

"Ikutlah, Ibu tunjukkan suatu tempat yang indah," jawabnya ibunya.

Tidak lama kemudian, Ardhia sampai di tengah padang rumput yang sangat luas. Banyak orang yang duduk-duduk di sana, bergerombol dan bercengkrama. Ada juga taman dengan bunga-bunga yang sedang mekar. Harum sekali udara di sekitarnya, menyegarkan. Dada XL terasa plong. Di bawah rimbunan pohon bunga terdapat kolam yang airnya begitu jernih. Ibu mendekat dan menciduknya memakai tangan, kemudian memberikannya kepada gadis itu. Rasanya manis sekali. Aneh, perut yang sakit sembuh seketika.

"Hai, berani sekali kau memberikan air itu kepada orang asing!" Tiba-tiba seseorang menghardik ibu XL. Nampak laki-laki itu sangat marah.

"Dia bukan orang asing, dia anakku sedang sakit," jawab ibu XL sengit. Dia berdiri melindungi putrinya.

"Tetapi dia bukan warga sini, suruh pulang atau kau bawa dia masuk!" Laki-laki itu masih membentak-bentak ibu XL.

Tentu saja XL tidak terima ibunya dibentak-bentak seperti itu. Dia berjalan ke depan ibunya untuk membelanya.

"Hei, kamu siapa? Berani-beraninya kamu membentak-bentak Ibuku!" teriak XL marah. Dia pasang badan sambil bertolak pinggang.

Ibunya meraih bahu gadis itu, mencoba menenangkan tetapi gadis itu tetap ingin menonjok mulut orang itu. Tiba-tiba ibunya mendorong XL dengan keras, gadis itu seperti melayang, terhempas dari ketinggian. Tangannya menggapai- gapai, tak menemukan pegangan.

"Ibu ... Ibu!" jerit XL. Dia memejamkan matanya karena takut, tangan yang sedang menggapai itu tiba-tiba ada yang menggenggam. Tangan yang begitu halus menariknya. Perlahan-lahan XL membuka matanya untuk melihat siapa pemilik tangan halus itu.

"Dina," seru XL tertahan. Dina tersenyum memandangnya. "Kapan datang?" tanyanya lagi.

"Aku khawatir melihat keadaanmu yang begitu pulas tertidur, tidak biasanya seperti itu. Aku berinisiatif menelpon Dina dan dia ada di hadapanmu sekarang," jelas Farah panjang lebar. Rupanya gadis itu sangat cemas melihat keadaan XL tadi.

"Aku mimpi bertemu Ibu," keluh XL. Tidak terasa dirinya menangis lagi, gadis itu sangat terpukul dengan mimpinya tadi.

"Sudahlah, menangis akan membuat perutmu sakit lagi," bujuk Dina.

"Tunggu ... tunggu, perutku ... perutk--"

"Kenapa, apakah sakit lagi?" Farah memotong ucapan XL, dia bergerak cepat membantu XL duduk.

"Perutku tidak sakit lagi, tadi aku dikasih minum air kolam yang rasanya manis sekali oleh Ibu, tetapi ada seseorang yang membentak Ibu gara-gara memberi air itu. Aku sudah bersiap menonjoknya, tetapi Ibu malah mendorongku dari ketinggian.” XL menceritakan mimpinya itu.

"Hahaha. Di mimpi juga masih mau nonjok orang? Benar-benar biang kerusuhan," ejek Dina sambil tertawa.

"Hush ... pelankan tawamu, ini rumah sakit!" sentak Farah.

"Hihihi, lupa." Cepat-cepat Dina menutup mulutnya. "Aku jadi keingetan saat dulu kenal sama XL ini. Hihihi," kata Dina sambil tetap cekikikan.

"Eh, aku jadi penasaran. Ayo dong cerita ... cerita!" seru Farah.

"Alkisah--"

"Hihihi, lucu mimikmu itu." Farah berkata sambil memukul paha Dina.

"Apa sih, Lo? Sakit tahu, jadi gak nih ceritanya?" tanya Dina pura-pura marah. Dia diam sambil cemberut.

"Maaf ... maaf, lanjuut," kata Farah sambil mengusap paha Dina.

"Hihihi, geli ih usap paha segala ... nanti dikira lesbong pula," sergah Dina. "Diam, aku mulai nih."

"Alkisah di tahun lalu, motorku keserempet mobil. Terjatuhlah aku, pipiku yang mulus mencium aspal saat itu. Namun, kesialanku tidak sampai di situ, pemilik mobil itu malah mencak-mencak memarahiku. Bukannya minta maaf, apes kan namanya?" Dina mulai bercerita.

"Oh iya, bener … apes sekali," tukas Farah menggoda Dina.

Dina mendelik, tadi nanya giliran dijawab hatinya mangkel. XL tersenyum mendengarnya, lucu kalau mereka sudah bercerita. Termasuk XL juga, kadang suka berkelakar. Menambah imun kalau istilah mereka.

"Terusin nih! Ternyata orang yang nabrak aku itu seorang aparat, aku yang baru bisa naik motor, jalannya masih suka ragu-ragu. Orang yang dibelakangku itu merasa kesal, terjadilah insiden itu."

"Aparat, bawa senjata dong?" tanya Farah.

"Justru itu karena ada senjata di pinggangnya, aku takut. Ia marah-marah kepadaku karena mobilnya lecet. Bukannya nolongin aku. Eh, malah sibuk minta ganti. Untung XL mau nolongin aku," kata Dina. "XL turun dari angkot dan membantuku berdiri. Dia berkacak pinggang memarahi orang yang menyerempet. Malu dia akhirnya.

Waktu itu XL berkata, "Hey, orang ganteng tapi hatinya tidak ganteng, tolonglah dulu korbanmu, baru bicara ganti rugi! Kalau perlu kita ke kantor polisi, biar jelas siapa yang salah antara kita, aku sanggup jadi saksinya."

"Lalu ...." ujar Farah tak sabar.

"Sudahlah, aku tak mau berurusan sama wanita, gak bakalan bisa menang, kamu sama saja seperti istriku. Tidak mau disalahkan. Sudah sana pergi! Ini buat kamu berobat!"

Laki-laki penabrak itu memberiku uang seratus ribu rupiah. XL masih sempat berteriak, "Jangan coba-coba melawan mahluk yang bernama wanita, dia akan mematahkan semua idealismemu!" Dina mengakhiri ceritanya sambil tertawa kecil.

"Bener banget itu, mana bisa wanita dilawan. Mahluk unik macam kita ini, seseorang yang selalu benar. Ehh selalu benar apa ingin benar ya?" tanya Farah menimpali.

"Mana kutahu, kok nanya aku?" kelakar XL

"Itu sih, istilah Pakde," gerutu Dina.

Merekai semua tertawa, kalau sudah berkumpul memang tidak ada kisah sedih di antara mereka. Bukan tidak pernah bertemu kesedihan, tetapi berusaha menyikapi kesedihan itu dengan suka cita.

Malam semakin larut, ngobrol ngalor ngidul membuat mereka tidak merasakan kantuk. Padahal hari sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba XL melihat bayangan putih di kaca jendela dekat pintu.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu yang diketuk. Mereka berpandangan, siapa yang datang tengah malam begini?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kinan Thi
ibunya katanya lemah lembut tapi malah nyuruh balas, melintir tangan. ibu yang tegas dan kuat kayaknya, Kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status