Share

IBU.

     Kiki, begitulah semua orang memanggilku. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang beda Ayah.  Ayahku sendiri telah meninggal, tak lama setelah aku mengenalnya. Ayah dan Ibuku, berpisah sejak aku masih dalam kandungan.

   Kedua adikku, Ibu dapatkan dari pernikahannya yang ke dua. Saat itu aku tak ada di sana.  Itu karna sejak bayi, Kakek dan Nenek di kampung yang merawatku. Bahkan aku mengira kedua orang tua itu adalah Ayah dan Ibuku.

Dan, inilah kisah perjalananku.

Kembali pada beberapa belas tahun yang lalu.

Pagi ini, masih sama dengan pagi sebelumnya. Masih dengan mengantuk, aku berjalan menuju sungai yang tak jauh dari Rumah. Dengan menenteng ember kecil berisi peralatan mandi, dan handuk melingkar di pundak.  Sesampainya di sana, seperti biasa aku duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai.

Dengan memeluk lututku dan merapatkan handuk di pundak, supaya lebih hangat. Hingga menit berlalu, aku masih enggan membersihkan badanku dengan air sungai yang mengalir itu.

'BYURR!!'

Air dingin mengalir dari atas kepalaku, membasahi badanku yang masih lengkap memakai baju. Aku berjingkat berdiri karena kaget. Disusul suara cekikikan Nenekku, yang entah sejak kapan berada disitu.

"Tuman! Bukannya mandi, malah jagongan (duduk)!" Hardiknya masih diselingi tawa, melihatku yang bersungut-sungut sambil turun dari atas batu.

Sebenarnya, meski sangat dingin hingga mengeluarkan uap dari mulut saat bicara. Setelah selesai mandi tak terasa sedingin itu. Hanya saja, aku selalu sulit untuk memulai mengguyur badanku.

Hal itu terjadi hampir setiap hari. Usiaku saat ini sudah tujuh tahun, aku duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Terlepas dari itu, aku adalah anak yang sangat mandiri. Kakek dan Nenek akan selalu sibuk di ladang setiap hari dan seharian. Karena itu, aku harus mengerjakan semua keperluanku sendiri.

Jika sedang tak sibuk, Kakek membuat batako dan dikumpulkan untuk nanti jika ingin memperbaiki rumah kami. Rumah kami saat ini, dindingnya masih kayu dan anyaman bambu.

Untuk membantu Kakek, aku harus membawa pulang batu atau pasir dari sungai setiap habis mandi.

Di Sekolah, tak beda dengan murid kebanyakan. Aku melakukan aktifitas belajar dan bermain bersama teman-temanku seperti biasanya.

Pergi dan pulang Sekolah juga bersama-sama dengan mereka. Karena Sekolah kami cukup jauh dari rumah, dan kami akan berjalan kaki setiap harinya untuk kesana.

"Ahh! Aku telat!" pekikku sedikit panik, setelah melirik jam dinding di rumah. Benar saja, jalanan menuju Sekolah sangat sepi. Maksudku, tak terlihat teman-temanku lagi. Sedikit mempercepat langkah dan sesekali berlari, aku mencoba secepat mungkin untuk sampai.

Meski terlambat, akhirnya aku tiba dengan selamat. Aku mendapat hukuman atas keterlambatanku. Pak Guru, memintaku membersihkan papan tulis tempat Beliau menulis di kelas, dan menghapus tulisannya setiap kali selesai. Tidak berat memang, tapi cukup membuatku malu. Rutinitas seperti itu terjadi setiap hari, kecuali hukumannya, ya. Dan hari minggu tentunya.

Tahun berganti, aku akan naik ke kelas dua. Di sini, setiap murid berprestasi akan mendapat hadiah dari Sekolah. Aku adalah salah satunya. Namun, hari itu bukan hari yang membuatku senang. Tak seperti orang tua teman-temanku. Kakek ataupun Nenek, tak ada yang bisa datang menemaniku. Saat salah satu orang tua maju ke depan, mewakili anaknya menerima hadiah dengan wajah bangga. Aku maju untuk mewakili diriku sendiri. Mungkin ini bukanlah hal besar, tapi di usiaku saat itu, entah kenapa begitu sangat penting buatku. Yasudahlah ... bagaimanapun, Kakek dan Nenek sibuk juga untuk mencukupi kebutuhanku.

Sudah lewat magrib, Kakek dan Nenek baru sampai rumah. Baju di badannya kotor, wajah mereka juga. Nenek langsung menuju dapur memasak air untuk mandi Kakek. Beberapa hari ini kondisinya memang sedang tidak sehat, tapi Kakek tetap bersikap seperti biasa saja. Beliau memang bukan orang yang suka mengeluh. Kakek duduk di depan perapian. Merapikan kayu bakar supaya tetap menyala, sekalian menghangatkan badan.

    Diam-diam aku memperhatikannya. Wajah lelah terlihat jelas diterpa cahaya dari api dalam tungku. Ada hal yang ingin aku tanyakan, tapi tak pernah terucap dari mulutku. Rasanya tak tega untuk bicara. Tak sadar, embusan napasku terdengar.

"Nak, kalau belajarnya udah, langsung tidur. Jangan tidur malam-malam,"  Suara lembut Kakek mengagetkanku. Begitulah cara Beliau berbicara. Sangat lembut dan pelan. Tak pernah sekalipun kudengar Kakek berteriak.

Berbeda dengan Nenek, yang memang seperti terbiasa bicara dengan nada cukup tinggi.

Namun, satu hal yang ku tau pasti. Baik Kakek atau Nenek, keduanya menyayangiku.

"Iya, Mbah,” jawabku.

"Udah makan, belum?"  Sambung Kakek yang langsung aku jawab,  "Sudah,"  Setelah itu  aku berdiri dan beranjak ke kamar untuk tidur. Meski di kamar aku tak bisa langsung tidur. Tentu saja, karena pikiranku masih berputar pada rasa penasaranku.

'Kira-kira, Ibuku seperti apa, ya?' gumamku.

Malam pun berlalu.

Aku kembali melakukan aktifitasku seperti biasa. Hingga siang, saat waktunya aku pulang. Aku berjalan sambil bercanda dengan temanku, yang rumahnya dekat dengan rumahku. Saat aku sampai di depan rumah, Dia akan berbelok, dan masuk sebuah gang menuju rumahnya.

Aku melambaikan tangan ke arahnya, dan dia membalasku. Kemudian aku menaiki jalan yang sedikit lebih tinggi dari jalan utama untuk menuju kehalaman rumah.

Aku berdiri terdiam mematung di bawah gapura, melihat Nenek sedang duduk bersama seseorang di teras rumah. Namun, itu tak berlangsung lama. Aku kembali melangkah dan semakin mendekat kearah mereka berdua. Setelah memberi salam, aku langsung masuk menuju kamar.

 Rumah kami bukan rumah yang besar. Di dalamnya hanya ada dua kamar. Satu kamar untuk Kakek dan Nenek, dan satunya lagi kamarku dan Eyang buyutku- ibu dari Kakek. Dua kamar itu letaknya berhadapan, berada pada lorong yang menghubungkan ruang tamu dan dapur.

"Sudah pulang? Sini makan," sapa Eyang dari dapur, dengan masih duduk di depan baskom berisi kopi, yang mungkin baru dipetiknya dari belakang rumah tadi.

Aku membalas ucapannya dengan mengangguk sambil mengganti baju.

"Itu siapa?" tanyaku, setelah aku cukup dekat dengan tempatnya duduk. Sambil ikutan memilih kopi, aku menunggu jawaban.

"Masa gak tau? Itukan Mamamu," jawab Eyang datar tanpa memalingkan wajahnya dari baskom.

Aku terdiam dan meninggalkan Eyangku sendirian, melewati lorong menuju ruang tamu. Mengintip wanita yang sedang mengobrol dengan Nenekku.

Rasa penasaran selama ini telah hilang, aku sudah melihat seperti apa wujud Ibuku itu.

Menyadari keberadaanku. Nenek memanggil dan memintaku untuk bergabung dengan mereka. Aku menurut saja.  Wanita itu tersenyum menatapku, tangannya terulur menyentuh pipiku dan mengusapnya beberapa kali, sebelum kemudian memelukku. Aku hanya terdiam tanpa kata, sampai dia melepasnya.

"Kiki, udah besar, ya? Cantik," Kata pertama yang terucap darinya.

"Makasih," jawabku malu-malu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status