Share

AWAL SEBUAH PERJALANAN.

Malamnya, kami semua duduk membentuk setengah lingkaran di depan tungku yang menyala, untuk menghangatkan diri.

Tak lama Eyang berdiri, mengambil gelas dan menawarkan minuman hangat untuk kami.

"Jangan pake gula ya, Mbah." Ucap Wanita yang duduk disebelahku. Aku sempat melirik kearahnya sebentar. Dia menyambut lirikan dengan senyum, dan aku memalingkan wajahku darinya.

Setelah cukup banyak mengobrol, yang aku bahkan tak mengerti dan tak terlalu mau tau isi obrolan itu. Kamipun beranjak untuk tidur.

Wanita itu tidur di kamarku dan Eyang. Kami tiduran sambil menatap langit-langit rumah dalam kamar.

Terdengar Eyang masih ngobrol dengan wanita itu. Aku yang berada di tengah merasa sedikit terganggu. Namun, ku coba untuk memejamkan mata.

Beberapa saat kemudian, terasa wanita itu bergerak dan memelukku.

Aku yang masih memejamkan mata, memilih untuk berpura-pura tidur. Dia mencium kening dan membelai pipiku. Tak terasa sepertinya aku tersenyum. Malam pun berlalu.

Aku masih dengan rutinitas harianku, dan akan pergi ke sekolah pagi itu. Saat ku lihat wanita itu berada di dapur bersama Eyang.

Di Sekolah, aku menceritakan kejadian tadi malam pada teman-teman.

Aku merasa sangat senang dan mereka juga.

"Trus, kamu pergi donk ke jakarta?" Tanya salah satu temanku.

Aku terdiam sebentar sebelum menjawab pertanyaannya, karena aku masih belum tahu. Wanita itu tidak mengucapkan apa-apa semalam.

"Gak tau," Sambil menggelengkan kepala.

Saat sudah waktunya pulang sekolah. Aku bergegas berlari agar cepat sampai rumah.

"Friska, aku duluan, ya!" Seruku pada teman yang biasanya pulang barengan.

Sampai di rumah, hanya Eyang yang terlihat.

Tanpa bertanya, aku mencoba mencari sosoknya sendiri. Setelah berapa lama mencari, sepertinya Eyang menyadari.

"Mamamu sudah pulang," Serunya dari dapur, tempat ku lihat dia berada tadi.

Dengan lemas karna kecewa, aku melangkah menghampiri Eyang.

"Mamamu punya anak lagi masih kecil. Katanya gak bisa di tinggal lama," Ucapnya kemudian.

Dalam hati aku berkata, 'Aku kan juga anaknya. Setidaknya, tunggu aku pulang sekolah dulu baru pergi,' 

Saat itu, bahagia yang ku bawa dari sekolah setelah menceritakan dirinya pada teman-temanku, hilang.

Entah kenapa aku tiba-tiba berlari keluar rumah.

Desa kecil kami hanya ada satu tempat untuk menunggu mobil umum, menuju stasiun. Kesanalah tujuanku.

Hanya ada satu mobil yang belum terisi penuh di tempat itu. Aku mencoba mencari sosok Ibu yang baru ku kenal.

"Ki, sini!" Aku mendengar suara dari dalam mobil memanggilku. Tanpa ragu aku masuk ke mobil itu.

Wanita itu duduk di samping penumpang lain yang langsung menggeser tubuhnya, untuk memberiku ruang. Aku duduk di sebelahnya.

"Kiki, mau ikut Mama, pulang?" Tanya wanita itu.

Aku sempat ragu untuk menjawabnya. Bagaimana nanti dengan Kakek dan Nenekku juga Eyang? 

"Mbah udah tau kok, semalam Mama sudah izin," Tambahnya yang seperti tau apa yang sedang aku pikirkan.

Seketika aku mengangguk mengiyakan. Dia lalu memeluk dan menciumku.

Setelah itu, mobil melaju menuju stasiun.

Aku duduk di ruang tunggu sambil melihat kearah wanita itu yang sedang antri membeli tiket.

Tak lama kemudian, diapun datang kearahku dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya, mengikuti langkahnya dari belakang.

Kami masuk ke sebuah warung kecil, masih di area dalam stasiun.

Nasi pecel dan soto, adalah menu di warung itu. Tanpa bertanya padaku, wanita itu memesan dua mangkok soto dan nasi untuk kami berdua. Kami menikmati makanan itu sampai habis, sambil menunggu kereta tiba.

Jakarta.

Kota yang sangat panas dan padat. Begitulah menurut pandanganku kala itu.

Untuk kali pertama aku menginjakkan kaki di Kota ini.

Masih dalam genggaman tangannya, aku mengikuti langkahnya dari belakang, menuju deretan kendaraan umum yang baru pertama kali aku lihat. Kemudian aku tau, itu adalah 'Bajai'. Dengan kendaraan itu, kami melanjutkan perjalanan kami menuju rumahnya.

Seorang Pria duduk di teras rumah kecil, dimana aku masih menatapnya tanpa berkata.

Wanita itu memanggilku dengan isyarat untuk mendekatinya dan memberi salam padanya.

Kemudian aku tau, dia adalah Papaku. Dia adalah suami kedua dari wanita itu. Aku masuk kedalam rumah dan melihat sekitar. Rumah itu bahkan hanya memiliki satu kamar.

Sebelum aku sempat bertanya, wanita itu sudah berkata lebih dulu, "Kamu tidur disitu, ya?" Sambil menunjuk sofa panjang yang sedang ku duduki. Aku hanya mengangguk dengan perlahan.

Teringat kata Eyang, wanita itu punya anak kecil yang katanya tak bisa di tinggal lama. Aku mencari sosok anak kecil itu yang tak ada disana. Ternyata itu bohong belaka. Mungkin Wanita itu mengarangnya agar bisa cepat kembali ke Jakarta, atau Eyangku yang asal bicara.

Satu bulan di rumahnya, aku mulai bersiap-siap untuk sekolah lagi. Aku juga sudah terbiasa memangggilnya dengan sebutan Mama.

Kehidupanku menyenangkan. Mama menyayangiku karena aku adalah anak satu-satunya. Meski Papa, aku tak cukup dekat dengannya, masih merasa seperti orang asing.

Genap sembilan tahun usiaku sekarang, aku sudah berada di kelas tiga Sekolah Dasar.

Kemudian, Mama mempunyai anak bayi dari Papaku yang sekarang. Sejak itu Mama tak bekerja lagi. Hanya berjualan makanan sarapan setiap pagi.

Siangnya, terkadang Mama mengajakku untuk menemui Keluarganya yang berada di Kota yang sama dengan kami. Dari situ aku tau, bahwa Nenek- Ibu kandung Mamaku ada di Kota itu juga, setelah sekian lama. Nenek tinggal bersama dengan beberapa Pamanku. Mereka semua sangat baik.

Bulan demi bulan berganti. Semua masih berjalan seperti biasa. Hingga pertengkaran terjadi di antara mereka berdua, yang kemudian membuat kami harus pindah ke Kampung halaman Papa.

Di Kampung ini, Mama masih tetap berjualan makanan. Sekolahku juga pindah. Aku membantunya usai pulang Sekolah. Namun, itu tak berlangsung lama.

Sebagai anak kecil, aku memang tak tau apa-apa, yang aku tau hanya kemudian aku, dan adikku di tinggalkan di Kampung berdua. Mama menitipkan kami pada Ibu mertuanya dan kembali ke Jakarta bersama Papa.

Adikku belum genap satu tahun usianya saat di tinggalkan mereka. Akulah yang harus merawat dan mengurusnya sendirian. Bahkan membawanya ke Sekolah setiap hari.

Mertua Mama adalah orang yang baik hanya di depan Mama. Seperginya Mama, kami hanya di anggap orang asing yang menumpang di Rumahnya. Akupun tak pernah menganggapnya Nenekku karena perlakuannya itu.

Bagiku Tuhan memang baik, meski aku malu mengatakannya. Karena kami tidak pernah kelaparan selama ditinggalkan, meski mertua Mama tidak memberi kami makan. Para Tetangga dan Guru-guruku juga sangat baik pada kami berdua.

Sebenarnya tidak secara langsung Perempuan tua itu tidak memberi kami makan. Hanya saja makanan itu memang sering kali sudah habis atau tak ada di tempatnya lagi. Saat aku bertanya, ketika aku harus memberi makan Adikku,

"Beras abis, Mamamu gak pernah kirimin uang!" Begitu jawabnya. Akupun hanya bisa diam.

Itu kali pertama aku memberanikan diri untuk meminta sedikit nasi pada Tetangga. Seorang janda yang memiliki anak sudah besar semua. Untungnya, Adikku bukan tipe anak kecil yang rewel. Hanya dengan nasi putih dan kecap manis saja, Dia sudah mau makan dengan lahapnya.

Sejak itu aku mulai berpikir untuk mencari cara agar bisa bertahan hidup dengan Adikku. Meski akhirnya hampir semua orang di Kampung jadi tau keadaanku, dan membuatku kuatir dengan apa yang akan di lakukan perempuan tua itu pada kami. Eh, ternyata perempuan itu bersikap biasa saja.

Akhirnya aku dan Adikku bisa bertahan. Dengan pekerjaan sampingan yang aku lakukan sepulang Sekolah.

Sambil bekerja, aku membawa Adikku serta. Pekerjaanku adalah mencabut benih padi yang sudah tumbuh untuk di tanam lagi. Terkadang aku membantu Tetanggaku memetik sayuran genjer di rawa untuk dia jual di pasar. Upahnya memang tidak besar, tapi lebih dari cukup untuk kami berdua. Dan sepertinya, para Tetangga yang memberiku pekerjaanpun tidak benar-benar membutuhkan tenagaku. Mereka hanya ingin membantuku setelah tau keadaan kami.

*Buka lembaran berikutnya ya :) 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status