Share

HANYA AKU YANG MENGERTI RASA INI

     Setelah sadar, aku berada di salah satu rumah warga, dikerumuni banyak orang yang entah hanya ingin melihatku, atau ada maksud lain ... aku tak tau.

Beberapa dari mereka ada yang bertanya tentang keluarga, dan tinggal dimana mereka. Beberapa orang lagi, bertanya tentang ciri-ciri orang yang bersamaku malam itu, dan bagaimana aku bisa bersamanya. Kepalaku terasa sakit saat berusaha mengingat dan menjelaskan kepada mereka semua.

"Sudah, biarkan anak ini istirahat." 

Sang pemilik rumah yang menyadari keadaanku, meminta kerumunan orang itu untuk tak terus mendesakku. Dia memapahku ke kamar, mendudukanku di atas ranjang anaknya yang sudah tak tinggal di rumah itu.

"Sini, tiduran. Istirahat,” ucapnya sambil menepuk bantal yang selesai di rapihkan. Aku menuruti perkataannya. 

"Ibu, buatkan teh hangat, ya?"  sambungnya lagi. Dengan mengangguk perlahan, aku mengiyakan tawarannya. Dan, dia beranjak pergi keluar kamar. Saat pintu dibuka, terlihat banyak orang yang tadi berkerumun masih ada disana.

Aku memiringkan badanku, meremas kuat selimut yang menutupi sebagian badan. Tak lama setelah itu, Ibu pemilik rumah datang dengan segelas minuman.

Dua hari berselang, seorang perempuan datang sambil menggendong anak balita. Perempuan itu adalah Mama dan Adikku. Dia tau aku ada disini, dari seseorang yang mendatanginya. Orang itu mengenaliku kemarin dulu sebagai keponakan dari temannya, yaitu adik dari Papa tiriku.

Aku duduk di kursi samping Mamaku, mendengarkannya bicara dengan Ibu pemilik rumah. Dia berterima-kasih dan meminta maaf untukku, atas keributan yang terjadi di rumah itu.

"Gak apa, saya tinggal disini sendiri. Anak-anak saya sudah besar semua, dan tak tinggal bersama saya lagi," ucapnya sambil tersenyum, dan menggengam tangan Mama.

"Iya, Bu. Setiap hari Kiki memang di rumah sama adiknya, karna saya harus kerja. Mungkin dia mau bebas, makanya dia kabur dari rumah,"  ucap Mama yang sontak membuatku memicingkan mata dan menatapnya kecewa.

"Ki, Kiki gak boleh gitu, ya? Bantu Mama, kasian Adek juga. Kalo mau maen, kan bisa sambil jaga Adiknya,"

     Ibu pemilik rumah menasihatiku seperti itu. Rasanya ingin ku ceritakan semua. Bahwa aku selama tinggal bersama Mama, lebih dari itu yang kulakukan untuk mereka. Tapi, sudahlah. Toh Ibu tak tau hal yang sebenarnya. Aku hanya menunduk mendengar ucapannya untukku.

Kami berpamitan dengan Ibu pemilik rumah, juga warga yang masih ada beberapa orang di sana. Masih dengan rasa takut, aku akhirnya mengikuti Mama untuk kembali pulang ke rumahnya. Sesampai di rumah, Papa tiriku sedang duduk di ruang tamu, pada sofa yang biasa ku pakai untuk tidur. Sebatang rokok tak berfilter menyelip di bibirnya yang berwarna gelap.

Mama melepas kain yang di pakai untuk menutupi kepalanya, dan mulai berkeluh kesah sambil menurunkan Adikku dari gendongan.

"Ada-ada aja. Untung pengawas baik, mau izinin libur kerja. Mana kerjaan lagi banyak,” cerocosnya.

"Trus gimana?" Papa tiriku menimpali.

"Apanya gimana? Ya dipake lah sama orang itu! Mana udah tua lagi,"

"Makanya jangan suka kabur-kaburan! Pelajaran tuh buat kamu, dipake asal-asalan sama orang gak di kenal!" 

Papa yang mendengar itu lantas tertawa. Mama merebahkan badannya di atas ranjang, terdengar hembusan napasnya panjang. Sementara aku, terdiam dengan beribu sumpah serapah dan amarah dalam dada yang kupendam.

Bagaimana bisa, kata-kata seperti itu keluar dari mulut seorang Ibu?!

Seorang yang sama-sama perempuan. Tak ada empati atau bahkan sakit hati anak perempuannya mengalami hal buruk seperti itu. Apakah dia sungguhan Ibuku??!

Mungkin aku tak bisa melihat wajahku memerah menahan marah saat itu, tapi aku bisa merasakan panasnya. Cukup lama terdiam tanpa kata dan suara. Mungkin Mama juga telah tertidur. Hanya tinggal aku dan Papa tiriku yang masih duduk di tempat semula. Meski terasa sangat sedih dalam hati, aku tak akan menangis di depannya!

Aku beranjak dari tempat duduk, mengambil gelas dan berjalan ke arah papa tiriku duduk. Karena teko air berada di atas meja di sampingnya. Aku bermaksut menggunakan air itu untuk menenangkan perasaanku.

Saat sedang menuang air kedalam gelas, "Gimana? Enak, gak?" 

Papa tiriku mencodongkan tubuhnya ke depan, mendekat ke arahku. Mengucapkan kata itu sambil menuntunku untuk menoleh ke arah tangannya yang melakukan sesuatu. Dia menyatukan Ibu jari dan telunjuknya hingga membentuk sebuah lingkaran. Sementara tangan kanan, dia menggunakan telunjuknya untuk memasuki lingkaran itu. Dengan tatapan mengejek, dia memasukan telunjuknya pada lingkaran, dan menariknya beberapa kali. 

"Babi!" Aku mengumpat bersamaan dengan menyiram air dalam gelas ke wajahnya. Hingga gelas jatuh karna tersenggol tangannya yang ingin menepis. Suara gelas yang jatuh ke lantai dan pecah, membangunkan Mama. Aku tak menyadari kapan Mama beranjak dari kasur, turun dan melangkah ke arahku.  

Tamparan keras sudah mendarat di pipiku saat itu.

"Begitu caramu sama orang tua, hah?! Liar, macam anak gak di didik!"  hardik Mama dengan suara nyaring, "Keluar kamu! Jadi Pelacur sekalian di luar!" 

Aku sempat menoleh kearah Mama, menatapnya dengan kebencian dan marah. Kemudian aku keluar dari rumah itu, seperti yang  dia mau. Aku menangis sepanjang jalan, tak perduli tatapan mata yang melihatku. Pada sebuah taman di kota itu, aku duduk diam sendirian seakan sedang menikmati pemandangan.

Banyak orang disana sore itu, ada beberapa Ibu yang juga menemani anaknya. Tiba-tiba, aku menyadari kerongkonganku kering sekali. Aku juga lapar. Tak ada uang atau apapun, selain baju di badan. 

Aku berusaha menyembunyikan kesedihanku pada semua orang di taman itu. Mungkin, karena aku merasa malu. Aku berpura-pura untuk menjadi sama seperti mereka, datang ke taman ini untuk bermain dan menikmati suasana.

Hingga ... satu persatu mereka kembali ke rumah masing-masing dan pergi dari taman itu. Saat itu langit pun telah gelap.

Hanya aku, yang tak punya tujuan untuk pulang. Ingin rasanya pergi ke tempat Mbah atau Omku. Tapi, teringat aku pernah mengecewakan mereka dulu itu, tak hanya satu kali. Akupun mengurungkan niatku. Itu karna Mamaku yang selalu mengiba saat mengunjungiku di rumah mereka. Memintaku kembali, menjaga adikku sambil Sekolah. Dan, itu selalu tak bertahan lama. Selebihnya, aku hanya menjaga Adikku, dan mengurus rumah. Tanpa Sekolah. Meski begitu, aku selalu mempercayai janjinya. Hingga hal itu terjadi berkali-kali, dan aku mengecewakan keluargaku yang lain. 

     Sekarang, jika aku kesana rasanya akan sangat malu. Mereka pasti tak akan menerimaku lagi karena kecewa itu.

Udara dingin, membuatku mendekap erat tubuhku sendiri. Di bangku taman, aku membaringkan tubuhku, bersembunyi dari hembusan angin, pada sandaran bangku.

"Bangun, bangun!" Sepertinya aku ketiduran. Suara sayup-sayup terdengar dari seseorang yang menggoyangkan tubuhku dengan tangannya, untuk membangunkanku.

Aku terbangun dan duduk. Di depanku, dua orang pria berumur berdiri menatapku.

"Jangan tidur di sini, bangun. Pulang!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status