Share

SEPARAH ITU.

Seseorang duduk di belakang meja, menghadapku yang duduk sendirian di depannya. Sebuah pulpen di tangan dan selembar kertas di atas meja.

Aku menyapu sekeliling ruangan dengan mataku. Tampak beberapa orang dengan seragam ada disana. Terlihat juga dua orang yang tadi membawaku ke tempat ini.

Salah satu dari mereka kemudian menghampiri, dengan segelas minuman di tangannya. Minuman itu lalu di letakkannya di atas meja di depanku, dan berkata,

"Ini di minum dulu."

Aku melirik ke arah dalam gelas itu, mencium aroma wangi teh hangat yang keluar bersama kepulan uap panasnya.

"Jadi, siapa namamu?" Tanya orang yang duduk di depanku.

Aku masih takut menatapnya. Dengan menunduk aku menjawab pertanyaan itu, dan juga pertanyaan lainnya.

Setelah itu, aku meraih gelas di depanku dan meminum isinya perlahan-lahan, dan kembali menundukkan kepala. Hingga sesi tanya jawab berakhir juga.

Di depan sebuah rumah sederhana, disitulah aku berada saat ini. Bersama dua orang yang menemukanku di taman.

Setelah salah satu dari mereka mengetuk pintu beberapa kali, terdengar jawaban dan suara langkah kaki menghampiri dari sang pemilik rumah. 

"Ada apa, ya?" Tanyanya setelah membuka pintu rumah. Seorang perempuan umur empat puluhan berdiri di ambang pintu.

Perempuan itu sempat melirik ke arahku, sebelum mempersilahkan kami masuk.

Disusul kemudian dengan munculnya tiga orang dari dalam rumah. Melihat salah satunya, aku langsung berteriak, 

"Kakek!" Sambil berlari kearahnya. Aku memeluknya dan di sambut dengan mata berkaca-kaca.

Kakek membimbingku masuk ke ruang tengah, meninggalkan Pakde dan Budeku bersama ke dua orang itu di ruang tamu.

Sayup-sayup terdengar suara mereka bercengkrama, meski tak terdengar jelas ucapannya. Tak lama setelah itu terdengar mereka berpamitan.

Bude masuk duluan ke kamarnya tanpa bicara. Setelah itu Pakde muncul dan berkata, "Masuk kamar Ki, tidur," 

Aku menoleh ke arah Kakekku yang mengangguk, memintaku menurut perkataan Pakde. Tanpa bersuara lagi, aku lantas beranjak dan pergi ke kamar yang di maksut.

Pagi hari, kami semua pergi ke Gereja. Pakde bertugas menyiapkan segala sesuatu sebelum acara kebaktian tiba.

Aku berinisiatif untuk membantunya, dan terlihat dia menyukai hasil pekerjaanku.

Tak terasa beberapa haripun telah berlalu. Aku yang selalu memakai baju sepupuku yang lelaki semua, akhirnya di minta Budeku untuk pulang ke rumah Mama mengambil baju milikku.

Rasa takut kembali menghampiri, aku terdiam tak menjawab ucapannya.

"Nanti di temenin sama Pakde," katanya lagi. Sepertinya Bude tahu yang ku pikirkan saat itu. Aku hanya mengangguk perlahan.

Singkat cerita, akhirnya aku tinggal bersama keluarga Pakde. Yaitu Kakak dari Mamaku. Beliau memiliki dua orang putera. Dimana salah satunya seumuran denganku.

Awalnya semua berjalan dengan sangat baik, dan aku berpikir akan selalu baik.

Bersama keluarga Pakde, aku lebih rajin beribadah. Selalu aktif dalam setiap kegiatan yang di selenggarakan oleh Gereja.

Hingga suatu hari, saat sebuah acara. Dimana kami semua para jemaat yang terdaftar dalam acara itu pergi ke sebuah tempat yang di sebut puncak. Itu adalah kali pertama aku pergi kesana.

Pada suatu malam, saat ibadah pelepasan.

Kami diminta berdoa dan mengakui dosa-dosa kami, dan memohon ampunan. Terdengar suara tangis di sekelilingku, termasuk tangisku sendiri.

Saat hamba Tuhan berkata, "Lepaskan!  Keluarkan semua masalahmu, bebanmu, kecewamu, dan sakit hatimu!" 

"Minta Tuhan campur tangan!" Lanjut hamba Tuhan itu.

Aku menangis tersedu-sedu, semua kenangan pahit teringat, dan berputar bergantian di dalam kepalaku. Tak ada kata terucap dari bibir, bahkan hatiku pun diam. Hanya air mata terus bercucuran bersamaan dengan isak tangis.

"Ampuni! Ampuni semua yang membuatmu sakit hati, ampuni yang mengecewakanmu! Ampuni yang menyakiti jiwamu!" 

Suara hamba Tuhan itu terdengar lagi, kali ini perlahan aku tak menangis seperti tadi. Airmata mulai surut, badanku gemetar hingga mengertakkan gigi seperti orang menggigil. Aku tak merasakan kesedihan itu lagi. Setelah itu, tak ada untaian kata terucap dari bibirku. Aku hanya diam menunggu, berharap cepat berakhir acara doa itu. Namun, tiba-tiba aku merasakan pergerakan di sekeliling tempatku berdiri. Dengan membuka sedikit mata, aku melihat para hamba Tuhan mengelilingi barisanku. Dengan mata terpejam, mereka mengucapkan kalimat-kalimat doa dari mulut mereka. Terlihat air mata masih membasahi pipi, dan kedua tangan mereka lalu terangkat keatas.

Aku mulai merasakan ketidak nyamanan pada saat itu. Terlebih ketika hamba Tuhan mulai menghampiri satu persatu orang-orang yang berdiri di sampingku. Hingga tiba giliranku, aku seperti ingin berlari menjauh.

Embusan napasnya keras menerpa wajahku. Dengan ucapan doa kembali memintaku untuk mengikutinya. Namun, aku tak bisa. Ada sesuatu yang menyumbat tenggorokanku. Hanya terdiam tanpa kata dan tangisan, hingga selesai acara doa itu.

Aku tersenyum kecut, melihat semua orang berpelukan. Sampai pada ketika aku juga termasuk orang yang mendapatkan pelukan itu.

Aku bergegas pergi keluar dari ruangan.

Terasa beberapa mata melihat kearahku, atau hanya perasaanku saja. Namun yang pasti, aku melihat dengan jelas. Hamba Tuhan itu tersenyum ke arahku, saat aku menoleh ke arahnya tadi.

'Mungkinkah dia tau, apa yang tersembunyi dalam hatiku?' gumamku.

Terlintas rasa takut, akan tersebarnya aibku. Bagaimanapun, aku ingin menyimpannya sendiri, dan melupakannya selama ini. Hidup normal seakan tak pernah terjadi.

Setelah itu, acara sharing bersama pemuda dan remaja di Gereja itu terjadi pada malan harinya. Mengangkat beberapa topik tentang menjadi terang dalam gelap sesuai Firman Tuhan. Hingga tiba-tiba, seseorang buka suara. Menanyakan tentang pentingnya sebuah keperawanan. Orang yang di tanya melempar pertanyaan itu menjadi topik untuk di komentari oleh siapa saja yang berada disana malam itu. Dan, seseorang kemudian berkomentar, "Keperawanan itu penting! Sebab itu harus dijaga dengan sebaiknya hingga malam pertama dengan suaminya," ucapnya, "Karena itu sama dengan harga dirinya," Lanjut orang itu lagi.

Ada juga yang berpendapat lain. Tapi pendapat orang tadi juga benar menurut sebagian dari mereka. 

"Hayoo, siapa yang gak perawan?" Ucap seseorang di sampingku, bercanda dengan suara hampir berbisik pada temannya.

Tapi, buatku itu seperti tuduhan yang membuatku langsung merasa, dan malu seketika. Aku seperti terintimidasi secara tidak langsung. Itu, membuatku tak ingin lagi berada disana.

"Kak, boleh izin duluan? Aku ngrasa gak enak badan," ucapku pada salah satu orang pembina.

"Oke, istirahat, ya. Jangan lupa do'a," Ujarnya sambil tersenyum, yang ku balas dengan anggukan perlahan.

Sejak itu, aku seperti menarik diri tanpa aku sadari. Entah kapan akhirnya semua terasa aku telah semakin jauhnya.

Aku tak pernah lagi hadir dalam Ibadah minggu, apalagi kegiatan muda mudi. Lambat laun keluargaku mulai menyadari.

Aku terus menghindari tatapan dan mungkin pertanyaan yang akan mereka ajukan padaku. Jika mereka di rumah, aku akan keluar. Aku akan di rumah, saat mereka di luar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status