Share

SESEORANG YANG LAIN.

Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.

Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.

Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.

Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.

Awalnya aku merasa kembali semua berjalan normal. Entah kapan mulainya, aku sudah menjadi sangat liar di mata mereka. Aku sadar, saat itu aku bahkan sudah mulai merokok. 

Pakde memergokiku merokok di kamar mandi, itu membuatnya lantas marah besar padaku saat itu. Seperti biasa, aku selalu diam tanpa mengucap sepatah kata. Namun, tidak berhenti di situ saja. Teguran dan amarah keluarga, bukannya membuatku berubah, justru membuatku semakin parah.

Dalam hati aku menyadari, jika sikapku membuat mereka menjadi jengah. Aku hanya tidak tahu bagaimana untuk berhenti!

Aku berharap ada orang yang bisa mengerti, tapi bagaimana mungkin? bahkan aku menutup rapat semua yang menjadi bebanku selama ini agar tak di ketahui.

Waktu terus berjalan, kini bukan lagi hanya rokok yang ku hisap. Aku bahkan menghisap ganja juga. Aku semakin merasa terpuruk saat itu, tak lagi perduli pada diriku sendiri.

Entah apa yang ku inginkan, aku pun tak tahu. Aku hanya terus berusaha mencari ketenangan dengan caraku sendiri.

Hingga suatu hari, aku merasa tak lagi di inginkan, dan hidupku tak lagi berarti.

Saat itu, aku baru pulang kerja. Menemukan setumpuk pakaian tergeletak di teras rumah. Bude mengusirku. Aku mencoba bertanya alasannya, tapi dia menjawab tak peduli lagi padaku. Lalu, aku membawa pakaian itu dengan sekantong plastik hitam besar menuju tempat kerjaku.

"Bang, sementara aku tidur disini dulu, ya? sampai dapet kontrakan," pintaku pada pemilik warnet tempat kerjaku. Untungnya beliau mengizinkan.

Sejak itu, aku menjalani hari-hari tanpa tujuan. Aku semakin tak tau arah dan lupa jalan. Terpuruk dalam kesedihanku sendiri yang teramat dalam, hingga terfikir olehku untuk mengakhiri saja hidupku ini.

Malam itu, apa yang selalu ku fikirkan benar-benar aku lakukan. Aku menelusuri sepanjang jalan penyebrangan dengan perlahan-lahan, menunggu sepi tak ada orang. Lalu, mulai menaiki pagar pembatas jalan, sambil berurai air mata penyesalan. Dan, akupun siap melompat.

Tiba-tiba, sebuah tangan menarik keras hingga membuat tubuhku terpental kebawah dan jatuh.

"Astagfirullah, nyebut, Dek!" suara seseorang terdengar bahkan sebelum aku melihat sosoknya. Aku menoleh kearah pemilik suara itu. Seorang pria telah duduk bersimpuh di samping tubuhku yang jatuh. Aku menepis tangannya yang masih dengan kuat mencengkeram tanganku.

"Ada masalah apa? sini cerita, jangan ambil jalan pintas, dosa," ucapnya

'Orang sepertimu lah yang membuat hidupku hancur seperti ini,' gumamku

Aku tak kan percaya lagi dengan orang yang berpura-pura membantuku, tapi kemudian mengambil keuntungan dariku!

"Bukan urusanmu!" Aku menjawabnya dengan ketus dan berdiri meninggalkannya.

Pria itu terus mengejarku, berusaha merayuku untuk mau menenangkan diri dulu. Mungkin, Dia kuatir aku akan mengulangi yang aku lakukan tadi.

"Jangan gegabah, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Hidup ini sangat berharga, jangan di sia-sia," ucapnya lagi.

Aku menghentikan langkahku dan menoleh padanya,

"Kamu tau apa?! apa yang aku alami tak ada jalan keluarnya! hidupku sudah hancur, berakhir!" ujarku,

"Sekarang, aku hanya seorang manusia hina yang tak di inginkan siapapun juga!" 

Aku mendeprok dengan berlinang air mata, tangisku pecah saat itu.

Aku mulai menceritakan semua yang ku alami padanya, bahkan yang tak bisa ku ceritakan pada keluargaku. Dia terdiam mendengar ucapanku itu. Kemudian, selembar uang lima ribuan di keluarkannya dari saku celana, di sobeknya menjadi dua.

"Ini, ambil satu. Simpan baik-baik, jika nanti tak ada yang menginginkanmu karena alasan itu, datanglah kembali ke tempat ini. Aku akan menunggu," ujarnya

Dia mengajakku ke rumahnya, dimana disitu ada juga ibu dan adiknya, dan aku menginap disana malam itu. Esok hari, temanku menjemput. Aku meminta orang yang menolongku untuk menghubunginya tadi pagi.

Dirumah temanku, aku masih belum bisa melepaskan diri dari pikiranku yang ingin mati. Saat suasana terasa sepi, aku kembali mengulangi perbuatanku itu lagi. Aku menenggak segelas spirtus yang ku dapat dari dapur. Ibu temanku mengetahui perbuatanku dan segera memberi pertolongan.

Sayup terdengar di telingaku, percakapan temanku dan ibunya,

"Kamu tau rumahnya dimana? cepat anter pulang kalo udah mendingan. Daripada nanti kenapa-kenapa disini, kita juga yang susah," ujarnya.

Aku menangis mendengar kata-kata itu, merasa bahwa mungkin dimanapun aku berada, hanya akan menyusahkan orang lain saja. Lalu, aku pergi dari rumah temanku tanpa sepengetahuannya.

Kembali menyusuri jalan tanpa tujuan.

Pada sebuah terminal kecil di tengah perumahan, aku menghentikan langkahku di sebuah warung kopi yang berada di situ.

Terlihat banyak remaja seusiaku di sekitar terminal itu, mereka tertawa dan bercanda dengan teman-temannya. Seseorang membawa gitar juga berada di antara mereka.

"Mau minum apa?" Aku menoleh pada suara yang mengalihkan pandanganku, seorang pria pemilik warung itu telah berdiri di sampingku,

"Nggak, Bang, gak punya uang," jawabku.

Pria itu lalu melengos kedalam setelah mendengar jawabanku. Beberapa menit kemudian kembali datang dengan segelas es teh manis yang di sodorkan ke arahku,

"Nih, minum aja. Gratis," ucapnya sambil tersenyum. Aku menerima pemberiannya sambil mengangguk perlahan.

Tak lama berselang, seorang pria yang usianya hanya sedikit di atasku datang dan duduk di sampingku. Dia tersenyum dan menyapaku, tentu saja ada rasa takut padanya saat itu. Tapi, beberapa waktu kemudian, aku sudah akrab dengannya.

Singkat cerita, dia menjadi kakak angkatku saat itu. Namanya Ferdy, dia bukan anak jalanan seperti yang lain. Dia hanya suka bergaul dengan mereka, dan tetap pulang ke rumahnya. Ferdy juga bukan anak dari orang yang tidak mampu sebenarnya, hanya saja di terminal ini dia merasa bisa melupakan masalahnya di rumah.

"Bang, kalo dia mau makan atau minum kasih aja, ya. Nanti catet, aku yang bayar," ucap Ferdy pada pemilik warung. Dan, sejak itu dia membayar semua makanan dan minumanku di warung itu. Ferdy juga memberiku sebuah jaket berwarna coklat yang di tulisinya sendiri dengan tangannya, sebuah nama dari seseorang yang terkenal, yang aku bahkan tidak tau siapa. 'SLASH' itulah nama yang dia tulis di belakang jaket itu. Ferdy sangat mengidolakannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status