Share

TERAKHIR KALINYA.

"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??" 

Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.

Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.

Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.

Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya. 

Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.

Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.

Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.

Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Rumah Sakit di Kota. Aku mulai mengikuti terapi disana beberapa kali sejak itu. Namun, tak sampai aku menyelesaikan terapi itu, aku berhenti.

Sering aku mendengar kata-kata dari teman-temannya, yang menjadikan kondisiku sebagai object bercandaan mereka. Bahkan salah satu keluarganya menyebutku gila.

Aku tak mau lagi datang ke Rumah Sakit itu. Dia tak memaksaku pada akhirnya, karena aku terus memohon. Hingga, hubungan kami memasuki tahun ke dua. Mantan kekasihnya yang dulu meninggalkannya untuk lelaki lain, tiba-tiba datang menawarkan kembali cinta yang dulu padanya.

Awalnya aku tahu, bahwa dia mengabaikan perempuan itu. Sampai suatu malam, hujan turun deras sekali.

"Kamu dimana?" Tanyaku.

"Di rumah, di mana lagi?" Jawabnya.

Biasanya saat hujan turun seperti itu, dia akan datang menemaniku. Dia tahu bahwa aku benci hujan dan takut dengan suara petir yang menggelegar. Namun, malam itu dengan alasan akan ada acara esok paginya, dia tidak bisa datang. Akupun mengerti kondisinya, dan melewati malam dengan ketakutan, sendiri. 

Pagi-pagi sekali, aku datang ke tempat tinggalnya dengan membawa makanan untuk sarapan, tapi dia tidak ada di sana.

Aku menghubungi salah satu temannya, yang ku tahu mereka sering bersama. Dari temannya itu aku tahu, mereka pergi ke diskotik tadi malam.

"Kris masih tidur kayaknya," ucap temannya itu, sepertinya dia tidah tahu Kris pergi tanpa sepengetahuanku.

Tak lama, aku mendatangi rumah temannya. Seperti ucap temannya tadi, dia memang masih tidur. 

Perlahan aku masuk, dan menghampirinya. Selama ini aku selalu percaya padanya, tapi tidak untuk saat itu. Mungkin karena dia berbohong semalam, aku menjadi curiga. Mencoba mencari sesuatu untuk membuktikan pikiranku, dengan menggeledah kantong jaket dan dompetnya.

Benar saja, pada salah satu kantong jaket itu, aku menemukan dua lembar kertas yang telah di remas. Satu lembar kertas adalah karcis parkir semalam, dan satunya lagi sebuah struk pembayaran kamar sebuah hotel. Aku keluar tanpa membangunkannya, menangis di balkon rumah temannya itu sendirian. Entah bagaimana, dia menyusul ketempatku berada. 

"Kamu ngapain sendirian disini?" ucapnya saat sudah berada di dekatku. Aku tak menjawab ucapannya itu. Kertas yang ku temukan di kantong jaketnya, ku letakkan di lantai tepat di depan kakinya. Dia mengambil kertas itu, 

"Ohh, ini mah si Andi, minjem buat bayarin," Andi adalah nama temannya yang lain, "Abis bayarin, yaudah aku tinggalin," lanjutnya lagi. Aku masih tak percaya dengan ucapannya. 

"Nggak percaya? aku telpon, nih, orangnya!" lanjutnya lagi.

Setelah mengucap itu, handphonenya berdering. Namun, suara handphone itu terdengar jauh.

"Nggak mau kamu angkat?" Aku bertanya, karena dia seperti enggan mengambil handphone itu. Membuatku semakin penasaran.

"Nggak, lah. Biarin aja," jawabnya. 

Aku berdiri dan berjalan menuju suara dering yang belum berhenti. Tiba-tiba, dengan cepat dia berlari hingga menyenggolku, untuk sampai ke tempat handphone itu lebih dulu. Dering handphone berhenti, karena dia menolak panggilan masuk itu. Sikapnya semakin membuatku curiga. 

"Coba lihat," ucapku sembari menengadahkan tangan, memintanya memberiku handphone itu. Tapi, dia menolak.

Kami mulai rebutan handphone di tangannya. Hal itu membuatku menjadi emosi. Aku mendorongnya, membuat dia mundur beberapa langkah, dan benda yang kami perebutkan terjatuh. Aku lebih dulu mengambil benda itu, dengan isyarat jari telunjuk ku acungkan ke depan, aku memintanya untuk jangan mengikutiku.

Di tempatku menangis tadi, aku mengecek panggilan masuk dan beberapa pesan singkat di dalamnya. Air mata menetes seketika. Hatiku sakit membaca setiap kata dari pesan-pesan itu. Aku bangkit untuk mengembalikan handphone miliknya dan pamit.

Suatu malam, di rumah kost tempat tinggalku. Aku mencoba mengakhiri hidup. Meminum sebotol shampoo di kamar mandi, dengan bersimpuh di bawah shower yang menyala.

Malam itu, adalah malam ke 3 setelah pertengkaran kami. Kris sama sekali tak pernah menghubungiku sejak hari itu. Aku merasa seakan tak berarti, mudahnya di buang seperti sampah yang tak terpakai lagi.

Saat itu aku masih berstatus karyawan di salah satu Agency, sebagai SPG kartu kredit. Tiga hari aku tak ada masuk kerja, dan tak memberi kabar berita. Membuat teman kerjaku akhirnya berada di depan pintu kamarku.

Aku masih sempat mendengar suaranya memanggil namaku beberapa kali, juga ketukan pintu yang keras saat itu. Hingga entah bagaimana, aku bangun dan menemukan diriku tidak di dalam kamar mandi lagi.

Terbaring di atas ranjang sebuah klinik dengan selang infus. Aku menangis menyadari diriku yang belum mati, saat melihat temanku itu duduk di sampingku.

Dari temanku, kemudian aku tahu kata-kata Kris saat dia menghubunginya, memberi tahu keadaanku dan percobaan untuk mengakhiri hidup,

"Dia nggak akan mati, nyawanya banyak!"

"Mati demi cinta, itu cuma ada di film-film cengeng!"

Begitulah.

Aku menangis setelah mendengar kata-kata itu, yang di ucapkan temanku dengan meniru gaya bicara Kris. Kemudian, aku tertawa, menghapus air mata, melepas selang infus, dan mengajak temanku pulang.

Seminggu berlalu, amarahku membuatku merasa kuat. 'Siapa juga yang butuh cowok seperti itu!' ucapku dalam hati.

Namun, setelah aku tak memikirkannya lagi. Tiba-tiba dia menghubungiku.

Padaku, dia mengaku sedang berada di parkiran diskotik. Menjelaskan alasannya menelponku, sambil di selingi tawa. Dia bilang, wajahku muncul dalam ingatannya. Kemudian, suaranya seperti sedang menangis. Tak ingin tergoda lagi, aku mengatakan padanya akan menutup telp. Aku melakukannya.

Kemudian, dia terus mengirimiku pesan singkat. Membuatku kesulitan beristirahat malam itu. Akhirnya, aku memutuskan menemuinya ... untuk alasan apa aku lakukan itu, aku masih tak tahu.

Singkat cerita, kami kembali bersama. Aku maafkan semua kesalahannya karena dia berjanji tak kan mengulangi lagi.

Tapi, janji hanya tinggal janji. Belum genap sebulan kami kembali bersama. Masih dengan orang yang sama, dia menghianatiku untuk kali kedua. Aku mengingatkannya pada janji yang pernah dia ucapkan padaku. Dan, jawabnya,

"Jangan naif, janji ada untuk di ingkari," lanjutnya lagi, "Jangan sakit hati karena aku begini. Salahkan orang yang udah bikin aku seperti ini!" Aku tersenyum sinis setelah mendengar kata-kata itu, dan melangkah pergi tanpa berpaling kearahnya lagi. 

Satu hal yang akhirnya ku sadari, bukan aku yang sebenarnya butuh therapy dari psikiater itu, tapi dia! Siapa sekarang yang sebenarnya lebih gila?! 

Aku berjalan pulang sambil menertawakan diri sendiri. Orang yang ku kira tulus, ternyata lebih busuk dari yang lain.

Beberapa bulan berlalu, aku kembali menjalani hari-hariku dengan tenang. Namun, sepertinya aku masih belum diizinkan untuk bernapas lega. Dia menghubungiku lagi! 

'Sakit jiwa' itu yang bisa ku gambarkan untuk dirinya saat itu. Lebih gila lagi, aku menemuinya juga. Ah, sudahlah ....

Dia menangis di telpon, mengatakan ingin mengakhiri hidupnya sama seperti yang pernah ku lakukan dulu. Teringat kata-katanya, aku mengembalikan kata-kata itu untuknya. Kemudian, dia bilang bahwa dia mengaku salah, dan sadar. Wanita yang tulus padanya, hanya aku. Namun, rasaku padanya saat itu sudah tak sama seperti dulu. 

Aku mengetuk pintu kamar hotel tempat dia berada, dia membuka pintu dan langsung memelukku. Aku mendorongnya masih dalam pelukanku, supaya aku bisa menutup pintu. Duduk di sampingnya, aku memperhatikannya yang tampak kusut. Dia mencoba memelukku lagi, dan aku menepis dengan lima jariku di dadanya, sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Aku tau, aku hanya orang terlambat buatmu, kan?!" ucapnya.

"Jika itu menurutmu ... maaf, aku hanya nggak pengen punya hubungan dulu," jawabku.

"Iya, aku tau! aku memang orang terlambat! iya, kan?? yaudah kamu pergi aja, udah puas, kan? lihat gimana aku sekarang!" Dia mengatakan itu sambil memadamkan api rokok ke tangannya. Aku mencoba mencegah, menarik tangannya untuk merebut rokok itu. Dia menangis tersedu-sedu, sambil berlutut mencoba meraih pinggangku untuk di peluknya. Rasa iba muncul. Aku membalas pelukan itu dengan membelai rambutnya. Kemudian dia berdiri, perlahan di usapnya pipiku. Tak lama setelah itu, dia mencium bibirku dengan penuh napsu. Aku hanya diam berdiri. Dia masih melanjutkan aksinya dengan menciumi leherku, sambil berusaha membuka pakaianku. Saat itu yang ku rasakan, hanya rasa sakit atas penghianatan dan kata-katanya dulu. Aku juga berfikir, sepertinya dia hanya ingin melepas hasratnya padaku. Aku merasa lebih sakit lagi. Menyadari aku tak bergeming, dia menghentikan aksinya dan menatapku.

Kemudian, dia membuka pintu. Aku melangkah keluar tanpa mendengar suaranya. Tak lagi peduli dengan apa yang dia lakukan setelah itu, dan apa yang akan terjadi padanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status