Toyota yaris berwarna merah favoritku berhenti di pinggir jalan tepat di depan studio foto di tengah kota.
Aku mengambil tas ransel besar di dalamnya dan keluar dari mobil itu, lalu berdiri untuk menatap bangunan studio dari depan.Inilah kehidupanku sekarang, menjadi fotografer lepas dan usaha kecil-kecilan. Pekerjaan seperti ini tak pernah terbayang akan aku jalani sebelumnya. Semua datang dengan tiba-tiba. Berawal dari kejadian aku meratapi kesedihanku atas pernikahan Jinan dulu itu.“Bayangkan ada yang lebih baik dari Jinan. Datang menghampiri dan menyambut lu, mendekap lu dengan penuh cinta.”
Tracy mengucapkan itu dengan mendorong pelan tangan kanannya, lalu menarik kembali menempelkan didada. Matanya mengecil dengan bibir menciut sexy, di akhiri dengan helaan napas dan memejamkan mata. Aku melirik geli ke arahnya dan kembali menangis kencang.
“Nggak! Pokoknya gua cuma mau Jinan!”
“Yee, ya udah sana ke ka
Langit cerah siang hari. Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan di pohon.Aku berjalan di atas pasir di tepi pantai, mengabadikan keindahan alam dengan kamera kecilku.Beberapa orang berbeda usia terlihat sedang bermain pasir. Semuanya tak luput dari pandanganku.“Ahhh, segarnya!” manisnya air kelapa murni menyegarkan tenggorokanku setelah cukup lama berjalan.Mataku kembali menyapu sekeliling. Sesekali rambut panjangku berkibar di terpa angin.“Di sini selalu ramai seperti ini ya, Bang?”“Iya, mbak. Apalagi kalau liburan.”Seorang pria muda pemilik kedai kecil, beberapa kali aku melirik ke arahnya, ‘Manis,’ gumamku. Bibir tipis yang terlihat seksi menurutku apalagi saat tersenyum sempat mengalihkan fokus hingga aku ingin melirik terus.Ini kali pertama aku ke pantai ini, sepertinya aku akan sering ke sini nanti.“Halo,” ucapku menyapa seseorang di telpon.
Pagi yang cerah menyambutku, secerah senyum seseorang di depanku.Aku mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah siap.Minivan Putih membawaku, Miles, dua orang teman, salah satu asistenku dengan seorang driver juga barang perlengkapan kami ke tempat tujuan.Aku melirik mereka yang santai menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil. Sementara aku merasa sedikit gelisah duduk di samping Miles yang mulai sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.Bagaimana bisa makhluk setampan ini adalah seorang wanita?Bibirnya yang merah alami terlihat menggoda, tampak sedikit glossy oleh sentuhan lip balm. Tanpa sengaja aku menggigit bibirku sendiri.“Hmm ...?” Orang yang sedang ku perhatikan tiba-tiba membuka mata. Dia tersenyum menangkap expresi kagetku yang membuang muka.Asistenku melihat itu, entah sengaja atau tidak. Dia ikut tersenyum menggodaku yang ku balas dengan tatapan mengancam, membuatnya cekikikan.Seiring mobil
Seorang Pemuda tampan duduk di barisan kedua depan mimbar dalam Gereja. Aku menghampirinya ketika kebaktian pagi ini usai untuk menyapa. Senyum tipis masih seperti dulu, terukir manis di bibirnya. "Apa kabar?" sapaku lagi sambil duduk di kursi kosong di sebelahnya. "Selalu baik." Dia membalas dengan tersenyum kearahku. Sempat beberapa menit kami terdiam, sebelum terdengar lagi Dia berkata, "Kapan pulang?" tanyanya sambil menoleh. "Oh, itu ... dua hari lalu," jawabku. Aku berusaha tersenyum, meski jelas terasa begitu kaku. "Aku duluan, bye!" Dia mengatakan itu bersamaan dengan berdiri dari tempat duduk dan langsung melangkah keluar, tanpa menungguku membalas perkataannya. Masih pada posisiku semula, aku menatap punggungnya yang mulai menghilang dari pandangan. Entah kenapa ada rasa sedih di sini, aku menyentuh dadaku sendiri. *** "So, nggak ada rencana untuk stay di sin
Kiki, begitulah semua orang memanggilku. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang beda Ayah. Ayahku sendiri telah meninggal, tak lama setelah aku mengenalnya. Ayah dan Ibuku, berpisah sejak aku masih dalam kandungan. Kedua adikku, Ibu dapatkan dari pernikahannya yang ke dua. Saat itu aku tak ada di sana. Itu karna sejak bayi, Kakek dan Nenek di kampung yang merawatku. Bahkan aku mengira kedua orang tua itu adalah Ayah dan Ibuku. Dan, inilah kisah perjalananku. Kembali pada beberapa belas tahun yang lalu. Pagi ini, masih sama dengan pagi sebelumnya. Masih dengan mengantuk, aku berjalan menuju sungai yang tak jauh dari Rumah. Dengan menenteng ember kecil berisi peralatan mandi, dan handuk melingkar di pundak. Sesampainya di sana, seperti biasa aku duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Dengan memeluk lututku dan merapatkan handuk di pundak, su
Malamnya, kami semua duduk membentuk setengah lingkaran di depan tungku yang menyala, untuk menghangatkan diri. Tak lama Eyang berdiri, mengambil gelas dan menawarkan minuman hangat untuk kami. "Jangan pake gula ya, Mbah." Ucap Wanita yang duduk disebelahku. Aku sempat melirik kearahnya sebentar. Dia menyambut lirikan dengan senyum, dan aku memalingkan wajahku darinya. Setelah cukup banyak mengobrol, yang aku bahkan tak mengerti dan tak terlalu mau tau isi obrolan itu. Kamipun beranjak untuk tidur. Wanita itu tidur di kamarku dan Eyang. Kami tiduran sambil menatap langit-langit rumah dalam kamar. Terdengar Eyang masih ngobrol dengan wanita itu. Aku yang berada di tengah merasa sedikit terganggu. Namun, ku coba untuk memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, terasa wanita itu bergerak dan memelukku. Aku yang masih memejamkan mata, memilih untuk berpura-pura tidur. Dia mencium kening dan membelai pipiku. Tak terasa sepertinya aku
Satu tahun berlalu tanpa ada kabar dari Mama. Aku mulai merasakan seperti di buang. Ada rasa sesal terkadang datang, andai dulu aku tetap bersama Kakekku. Tiba-tiba rasa rindu menyapa, aku menangis mengingat wajah mereka berdua. Kelembutan Kakek yang masih terasa meski jarak telah begitu jauhnya membuatku meneteskan air mata. Adik kecilku menghampiri, menggelayut pada pundakku. Aku menarik badannya ke dalam pelukanku. Air mata tumpah, tangisku pecah. Anak sekecil ini sudah harus merasakan sulitnya hidup. Aku gendong hingga Dia terlelap. Di atas tempat tidur, aku meletakkan tubuh kecilnya dan kami tidur bersama. Pagi ini, kami berdua sudah selesai mandi. Aku sudah siap menggendongnya untuk pergi ke Sekolah. Di tengah pelajaran, terdengar suara tangis Adikku yang keras. Pagi tadi badannya memang terasa panas. Aku berlari ke ruang Guru untuk menenangkan Adikku. Ibu Guru yang biasa menemaninya sedang tak ada disana. Tak lama kemudi
"Lagi ngapain, Lu?" Suara temanku menyapa sambil mencolek pundakku dari belakang. "Nggak ada, bengong aja," Jawabku, "Mau kemana, Lu?" "Mau nyari makan gua, ikut gak, Lu? Kemaren malem gua pergi ama tamu gua. Makanan disitu enak-enak semua, Kiki!" Expresi gemas dia tunjukan sambil mengatakan itu. Belum sempat aku menjawab, kata-katanya sudah keluar lagi. "Beneran ikh, hayukk! Kalo lu ikut, kita pergi kesana. Kalo lu gak mau, gua cari makan deket-deket sini aja," sambungnya. "Lah, kenapa harus gua ikut baru kesana??" "Ikh Lu, mah. Tempatnya lumayan jauh. Tapi seru tau! Pemandangannya bagus. Bisa sekalian cuci mata Lu, mah. Daripada Lu bengong-bengong gitu. Hayukk, Ki!" ucapnya penuh semangat. "Yowes, ganti baju dulu," "Ho oh, gua tunggu depan, ya!" Temanku yang satu itu, memang suka banget jalan keluar. Di kota manapun yang kami datangi, hampir semua tempat seru dan asik buat menikmati suasana dia
Setelah sadar, aku berada di salah satu rumah warga, dikerumuni banyak orang yang entah hanya ingin melihatku, atau ada maksud lain ... aku tak tau. Beberapa dari mereka ada yang bertanya tentang keluarga, dan tinggal dimana mereka. Beberapa orang lagi, bertanya tentang ciri-ciri orang yang bersamaku malam itu, dan bagaimana aku bisa bersamanya. Kepalaku terasa sakit saat berusaha mengingat dan menjelaskan kepada mereka semua. "Sudah, biarkan anak ini istirahat."Sang pemilik rumah yang menyadari keadaanku, meminta kerumunan orang itu untuk tak terus mendesakku. Dia memapahku ke kamar, mendudukanku di atas ranjang anaknya yang sudah tak tinggal di rumah itu. "Sini, tiduran. Istirahat,” ucapnya sambil menepuk bantal yang selesai di rapihkan. Aku menuruti perkataannya. "Ibu, buatkan teh hangat, ya?" sambungnya lagi. Dengan mengangguk perlahan, aku mengiyakan tawarannya. Dan, dia beranjak pergi keluar kamar. S