Share

Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku
Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku
Author: Bemine

Bab 1: Aku Sudah Tahu Semuanya

“Gini loh, gini, Nita! Masa kerjaan begini saja kamu enggak becus? Mana masakan satu pun belum ada yang mateng. Aduh, punya mantu kok lemot banget, ya?” omel Ibu Mertua pagi itu.

Bukan! Bukan aku yang diomeli, sebab saat ini aku hanya duduk santai di kursi yang berlawanan dengan wanita kurus bernama Nita itu. Tidak ada satu tumpuk sayur pun di depanku, apalagi pisau serta talenan untuk memotong sayur.

Kedua tanganku bersih, jauh dari bau bawang apalagi amis ikan. Kuku-kukuku juga berkilauan, karena tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah selama menjadi menantu ibu mertua.

Tapi berbeda dengan Nita, wanita kurus yang sudah lebih dulu menginjakkan kaki di rumah ini, diperlakukan layaknya pembantu. Lihat saja, bagaimana lelahnya dia sejak pagi, mencuci piring, menyapu kemudian memasak. Namun, tidak pernah sekalipun kata-kata keluhan meluncur bebas dari bibirnya yang tipis.

“Nita ... ini gimana ini? Ikannya kamu cuci kok masih ada darahnya? Buta, ya?” lanjut ibu mertua seraya menerawang bagian perut ikan bandeng.

Wanita berusia enam puluh tahunan yang rambutnya telah memutih sebagian, dengan gaya boob serta setelannya yang selalu sama itu tidak henti-hentinya memarahi Nita. Sakitnya, Nita tetap tidak membantah. Diturutinya semua perintah ibu mertua dengan sukarela.

“Biar Gina aja, Bu?!” tawarku. Kasihan juga jika Nita yang terus bekerja.

“Eh ... eh, nggak usah, Gin! Kamu duduk aja di situ, ya? Nanti Teguh pulang kamu masih cantik dan wangi.”

Berbeda bukan respons ibu mertua? Hal itulah yang membuatku muak berpijak di rumah ini. Padahal, bukan aku yang tersiksa, bukan aku juga yang ditindas ibu mertua. Namun, aku tidak tega, jika wanita sebaik Nita akan terus bekerja keras di bawah telapak kaki ibu mertua.

“Kita sewa pembantu saja, Bu?!” tawarku lagi.

Ibu mertua terlihat melotot. Mungkin, khawatir jika menyewa pembantu, maka uang yang berkumpul di rekeningnya akan berkurang.

“Aku yang bayar, Bu,” lanjutku santai.

Sudah tahu benar karakter dari wanita ini, sebab itulah, aku tidak akan ambil pusing lagi. Rencana menyewa seorang pembantu di rumah bukanlah untuk ibu mertua, melainkan semata-mata hanya untuk Nita, mengurangi bebannya di rumah terkutuk ini.

“Nggak usah, Gin! Kamu kan sudah banyak transfer Ibu uang. Kalau kamu keluar uang lagi, Ibu jadi enggak enak. Mending, uangnya kamu kasih Ibu saja, hehe.”

“Aku sudah transfer Ibu bulan ini, kok. Dua juta setengah ya, Bu?” sahutku santai.

Aku mulai melirik ke arah Nita, wanita yang masih menundukkan wajah, menatap talenan yang kosong. Mungkin, Nita malu denganku, atau juga malu dengan nasibnya sendiri.

“Loh, kok?” Ibu mertua mendekat. Tidak terima dengan jumlah yang aku berikan.

“Maaf Bu ... mulai sekarang aku kasih dua juta setengah saja. Enggak lima juta lagi. Bukan kewajibanku nafkahin ibu dan rumah ini, tapi kewajibannya Bang Teguh dan Bang Willy— suaminya Nita,” tegasku pada ibu mertua.

Mendengar ucapanku barusan, wajah ibu mertua berubah pucat. Terlihat olehku juga, bagaimana ibu mertua mengepal tangan, mungkin ingin melayangkan satu bogem mentah ke arahku, sama seperti yang selama ini dia lakukan pada Nita.

Tapi aku, tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Akan kulindungi Nita sebagaimana aku melindungi diriku sendiri. Wanita itu, tidak boleh lagi terluka lebih dari ini.

“Uang dua juta setengahnya lagi, akan kuberikan sebagai gaji pembantu di rumah ini, Bu. Aku akan mencari pekerja, biar Nita dan aku bisa berleha-leha. Lagipula, kami itu menantu di rumah ini, bukannya pembantu, bukan juga gudang uang buat ibu,” tegasku lagi.

Aku beranjak dari duduk, memutari meja makan yang juga dibeli dari uang pemberianku. “Bangun kamu, Nit!”

“Mbak ... ini belum selesai, nanti ....”

“Bangun saja, Nit. Hari ini, biar kita makan pesan antar. Kamu pilih mau makan apa! Mbak yang akan bayar.”

Segera, aku menarik tangan Nita, menyeret paksa wanita ringkih itu hingga terseok-seok mengikuti. Tidak lagi kuperdulikan ibu mertua yang sibuk mengomel-ngomel di sana, di dapur yang masih berantakan.

“Hei ... mantu durhaka kamu, Nita!” Malah Nita yang kena maki.

——

Kutepis sementara kekesalan terhadap ibu mertua. Hal paling penting saat ini adalah, menyusun strategi agar Nita bisa diperlakukan sama denganku, serta ibu mertua yang berhenti menggerogoti uang-uangku.

“Mbak ... jangan begini?” protes Nita. Meski sebuah protes sekalipun, suara Nita begitu lemah. Tidak ada setitik tenaga pun terdengar dari ucapannya itu.

Ya ampun, Nita! Kenapa nasibmu buruk begini?

“Mbak, besok-besok ibu akan lebih kejam sama aku. Mbak jangan tentang ibu demi aku. Aku ikhlas, Mbak.”

“Ikhlas?” Aku memekik cukup keras. Tidak perduli jika ibu mertua mendengarnya. Kamarku dan Bang Teguh, cukup dekat dengan dapur dimana ibu mertua berada.

“Aku senang, Mbak. Asal bisa sama Bang Willy di sini, aku sudah senang.”

“Nita! Kamu ini kenapa, sih? Kenapa membiarkan orang lain menginjak-nginjak dirimu, hah?”

“Karena ....” Nita berhenti berbicara. Dia menatap lantai kamarku dengan sorot matanya yang sedih.

“Nita enggak punya uang milyaran kayak Mbak Gina,” lanjutnya yang membuat batinku tertekan.

“Gina ... Gin? Bukan pintunya?” Kudengar ibu mertua menggedor-gedor pintu kamarku.

Pembicaraanku dengan Nita sejenak terhenti. Wanita itu terlihat bingung, seperti panik hingga melirik sana sini.

“Kenapa, Nit? Jangan takut, ada Mbak di sini.”

“Mbak temui ibu, jangan bilang-bilang kalau Nita masuk ke sini. Ibu enggak izinin soalnya,” jelas Nita seraya bergerak menuju kamar mandi dalam.

Ditutupnya rapat-rapat pintu kamar mandi, lalu memutuskan untuk bersembunyi di sana. Nyess hatiku melihat bagaimana Nita ketakutan setiap kali melihat ibu mertua.

“Gina? Kamu di dalam, kan?”

Kuabaikan Nita sementara demi menghadapi ibu mertua yang kejam itu. Perlahan, aku menekan knop pintu meski rasa dongkol bersarang. Lalu dibaliknya, ibu mertua menyembul datang dengan sesuatu di tangannya.

Paket! Ya itu pasti paket. Ibu mertua pasti baru selesai membeli sesuatu dari toko online.

“Gin ... em, ini paketnya. Kamu pegang uang enggak? Lima ratus ribu saja, Gina. Ini COD, Ibu enggak pegang uang sama sekali. Mas kurirnya nungguin di depan.” Taktik baru ibu untuk menggerogotiku.

Sudah bukan kali pertama ibu mertua belanja COD, lalu memintaku untuk membayarnya dengan sejuta alasan dan jurus yang sudah dia persiapkan. Padahal, jelas-jelas jika di dompetnya selalu tersedia uang hingga jutaan jumlahnya. Memang dasarnya, ibu mertua hanya mau barang gratisan.

“Maaf, Bu ... enggak ada. Habis!” jawabku dingin.

“Loh, masa sih? Kan uangmu banyak, Gin.”

“Iya, banyak tapi di rekening, Bu. Aku enggak megang uang cash lagi. Semua serba debit.”

“Terus ini gimana, Gin?”

“Coba Ibu cek di dompet Ibu, kali aja keselip tuh lima ratus ribu. Bisa buat bayar CODnya.”

Wajah ibu mertua kembali memerah. Baru sesaat lalu, dirinya naik pitam karena aku yang menentangnya dan membela Nita. Sekarang, naik lagi berkat penolakanku membayar belanjaan ibu mertua.

“Sudah dulu, Bu? Aku mau ke gudang. Oh iya, Nita juga kuajak. Urusan makan siang dan malam, nanti aku pesankan sekalian,” ujarku terakhir kali pada ibu mertua.

— Bersambung

Follow aku di: @bemine_3897

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Ayo Gin bantu nita supsya tangguh sepertimu
goodnovel comment avatar
Ismimuji 3
hadir...gina ...kamu baik gin......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status