“Jadi ini gudangnya, Mbak Gini?” Nita menatap takjub bangunan tiga lantai yang telah menjadi sarang uangku selama ini.
Bangunan luas yang kubeli dari hasil menabung, penjaja barang dagangan selama bertahun-tahun, hingga merambati bisnis online tujuh tahun lalu itu, berdiri megah di depan kami berdua. Dijejeri oleh beberapa motor yang merupakan milik para pekerja. Serta satu unit mobil berjenis Range Rover yang bersembunyi di bagasi.
Khusus kendaraan besi yang besar itu, adalah milikku sendiri. Aku sengaja menyimpannya di gudang agar ibu mertua tidak tahu tentang hal ini. Bukannya bersikap pelit, tetapi satu unit mobil berjenis Jazz yang kubawa pulang, lebih sering dipakai ibu mertua dibandingkan olehku sendiri. Digunakannya untuk pamer kesana kemari, jika dirinya telah berhasil mencapai puncak kejayaan dalam hidupnya.
Tidak apa-apa jika aku dianggap pelit sekalipun. Nyatanya, selama dua tahun menikahi Bang Teguh, aku telah menggelontorkan uang dalam jumlah tidak sedikit semenjak mereka tahu aku adalah pebisnis online yang mahsyur.
Omset perbulan dari tiga toko e-commerce yang kumiliki mencapai satu milyar, dan bisa bertambah saat musim-musim tertentu. Namun semua hal ini tidak kudapatkan dengan satu jentikan jari. Melainkan hasil dari memerah keringat hingga sedikit terlambat menikah.
Aku hanyalah gadis desa, tamatan SMP yang saat itu tidak mampu melanjutkan sekolah karena terkendala biaya. Jangankan sekolah, membeli baju, sepatu atau buku, bisa makan setiap hari saja sudah syukur rasanya.
Dilahirkan sebagai anak pertama dengan delapan bersaudara yang dempet-dempet jarak kelahirannya, membuatku terpaksa mundur banyak. Membiarkan cita-citaku sebagai seorang guru terbang bersama angin di musim panas. Tersapu badai di musim hujan.
Perih, sakit semua bercampur aduk saat kulihat teman-teman seumuranku berangkat sekolah bersama-sama dengan baju putih abu-abu yang megah. Mereka memakai sepatu hitam yang bagus, tas punggung yang juga keren. Sedangkan aku, duduk di pinggiran toko, menjajakan donat berselimut gula buatan ibu.
Tidak lama berjualan donat, aku ditawarkan untuk bekerja oleh pemilik toko dimana aku menumpang. Pria paruh baya yang kukira hidup sebatang kara itu, memberiku pekerjaan sebagai penjaga toko, karena dirinya sudah tidak lagi mampu melakukannya seorang diri
Jangan tanya bagaimana riangnya aku saat itu. Tidak hanya berjingkrak-jingkrak, mengangguk pada penawaran menakjubkan yang kudapatkan, aku juga membungkuk berulang kali pada pria yang biasa dipanggil Kakek Tua oleh pelanggannya itu.
Beranjak dari situlah, aku belajar bagaimana mengelola sebuah toko kelontong. Menghapal berbagai harga barang, baik harga grosiran atau eceran. Tidak jarang, banyak pembeli yang mencoba nakal saat Kakek Tua sedang keluar, namun aku dengan sigap mengeluarkan buku catatan harga yang telah dibuat oleh Kakek Tua dan membuat pembeli itu bungkam.
Tiga tahun lamanya, aku menghabiskan usia sekolah SMA di toko kelontong yang lapuk. Lalu, bermodalkan tabungan yang sedikit itu, aku mencoba peruntungan sendiri dengan membuka kios di sudut pasar. Bukannya mengkhianati Kakek Tua yang sudah baik hati, melainkan aku dipaksa keluar dari sana, karena toko kelontong miliknya ingin ditutup.
Aku masih ingat ucapan Kakek Tua sore itu sebelum kami berpisah, menurutnya aku akan sukses di masa depan nanti selama, aku mau berusaha dengan keras dan mudah menolong, dari situlah dunia akan berpihak padaku. Sebagai hadiah perpisahan, barang-barang milik Kakek Tua dipindahkan ke kiosku.
Selama empat tahun itu, aku berjuang merangkak dari bawah. Sesekali dibantu oleh adik-adikku, namun kerap kali aku berjuang sendirian. Mereka tidak boleh bolos sekolah, apalagi sampai putus sekolah. Untuk alasan itulah, aku mengelola sendiri kios hingga membesar menjadi sebuah toko.
Tahun kedelapan, saat aku berusia dua puluh dua tahun, dari salah seorang pembeli yang mengomel-ngomel karena barang di toko lebih mahal daripada barang di toko online, aku yang penasaran, mulai mencari tahu tentang hal itu.
Bagaimana caranya berjualan dengan harga murah, memangkas biaya sewa yang terlalu mahal serta menggapai lebih banyak pembeli. Aku tahu teori ini darimana? Dari buku adikku yang kuliah di jurusan manajemen bisnis. Aku yang menyekolahkannya? Syukurnya, dia dapat beasiswa.
Peranku pada mereka hanya sampai tamat SMA, karena keuntungan di toko kelontong juga tidak seberapa. Sebab itulah, aku putar otak, mencari keuntungan yang lebih banyak namun dengan jalan yang halal.
Saat itu, aku berkenalan dengan toko online buatan anak negeri di tahun 2012. Berbekal kemampuan yang buruk dalam menggunakan teknologi, aku kembali merangkak dari bawah, menjajakan barang-barang di sana. Satu hari, dua hari, tiga hari hingga terasa ingin menyerah saja, sebab pesanan tidak kunjung tiba.
Lalu, aku melakukan sedikit inovasi setelah mengintip lagi buku-buku kuliah adikku sendiri. Memperbaiki deskripsi barang, tampilan toko online hingga memperbarui gambar dengan yang lebih jernih.
Tidak butuh berminggu-minggu, dengan izin Allah pesanan datang satu persatu. Awalnya terlihat mudah untuk ditangani, namun semakin hari aku semakin kewalahan menghadapi.
Di sinilah, aku mengangkat karyawan pertama, Bu Iyem namanya. Wanita berstatus janda yang ditinggalkan oleh suaminya demi wanita lain. Dengan beliaulah, aku berlari mengejar mimpiku. Hingga saat ini, aku punya tiga toko online di tiga platform berbeda dengan total pengikut mencapai lima juta.
Semua kegiatan bisnis itu, berputar di bangunan tiga lantai yang luas ini. Dimana lantai pertama merupakan gudang dan ruang pengemasan. Lantai dua adalah kantorku sendiri dan ruang admin, sedang lantai tiga gudang tambahan untuk barang-barang tertentu serta dua kamar untuk karyawan lelaki yang tinggal di sini.
“Kapan ya, Nita bisa kayak gini?”
Anganku segera terbelah saat kudengar Nita bergumam lagi. Wanita bertubuh kurus dengan wajah pucat itu masih menatap bangunan tiga lantaiku.
“Masuk, Nita? Lihat-lihat gudang,” tawarku yang segera disambut bahagia olehnya.
Baru satu langkah berjalan, ponsel gadis itu berdering. Iya, ponsel bukannya gawai keren yang selama ini dimiliki oleh kebanyakan orang. Di tahun 2018, sangat sulit menemukan seseorang yang masih bertahan dengan ponsel itu.
Telepon Nita adalah telepon seluler keluaran lama, yang masih menggunakan tombol untuk dioperasikan dan bukannya layar penuh yang sebesar nampan. Nyess lagi hatiku melihat nasib wanita itu. Padahal, hidupku di masa lalu juga tidak ubahnya dengan Nita.
“Ibu, Mbak?!” desahnya yang beriring dengan wajah sayu.
“Nita pulang ya, Mbak? Takutnya nanti ibu laporan sama Bang WIlly,” lanjutnya lagi.
“Tidak perlu takut. Kalau suamimu nanya kamu kemana, bilang saja pergi sama Mbak, Nita. Lagipula, suamimu laki-laki baik, tidak akan mikir aneh-aneh sama kamu,” ingatku. Memang benar, karakter dari Bang Willy adalah lelaki penyayang nan lembun. Berbanding terbalik dengan ibu mertu yang kasar dan kejam.
“Mbak tahu sifat ibu, kan? Mending kita pulang saja ya, Mbak? Lain kali kita lihat gudangnya Mbak lagi,” pintanya memelas.
Melihatnya begitu, aku menjadi iba. Kuanggukkan kepala meski terasa berat jika harus kembali ke rumah itu sebelum Bang Teguh atau Bang Willy kembali. Ibu mertua akan tetap bertindak kejam sebelum kedua putranya datang.
Bersambung ....
Follow igku, yuk? Di @Bemine_97
“Baru pulang kamu?!” hardik ibu mertua tepat setelah Nita menginjak lantai rumah.Aku yang baru memarkirkan mobil di garasi, menghela napas dalam-dalam. Entah bagaimana caranya menyelamatkan Nita dari kekangan ibu mertua, jika dirinya saja tidak mau berusaha lepas darinya.“Enak ya ... dibelain Gina?! Kamu deketin Gina sekarang biar kecipratan kaya, gitu?” Lagi ... ibu mertua tanpa henti mencibir. Bukan! Lebih tepatnya menghina. Suaranya menggema jelas hingga ke teras rumah. Entah apa kata tetangga setiap mendengar keruhnya suasana rumah ini. Raungan tanpa henti dari ibu mertua seolah menjadi melodi yang akan terus berputar.Kulangkahkan kaki, menyusul Nita agar ibu mertua sedikit melunak padanya. Namun, kutemukan sesuatu yang mencengangkan saat ini.Pria yang kunikahi dua tahun lalu itu, sudah duduk santai di sofa, menikmati makanan yang kupesan melalui ojek online. Sedang ibu mertua, masih saja melanjutkan marah-marahnya.
Setelah menolak permintaan Bang Teguh untuk membeli tanah seharga 2 Milyar itu, ibu mertua mulai menatapku dengan sorot mata penuh kebencian seperti yang selama ini diberikannya pada Nita. Tidak cukup sampai di situ, intonasi bicara ibu mertua berubah drastis, penuh cibiran dan ketidaksukaan.Aku yang merasakan dengan jelas perubahan itu hanya bisa berpura-pura acuh. Karena, aku yakin benar jika semua yang dilakukan ibu mertua, hanya untuk menekanku, agar segera menyetujui keinginan putranya, membeli tanah dengan harga yang fantastis lalu mengganti namanya atas nama Bang Teguh. Sudah sinting hidup ini! Entah kenapa dulu, kuterima lamaran pria ini.“Gin!” Seruan dari suara Bang Teguh memanggil namaku.Hampir saja, aku duduk bengong di meja makan. Makanan yang sudah kuambil hanya tercampur aduk di piring. Tidak sesuap pun masuk ke dalam tenggorokan, apalagi jatuh ke lambung yang sudah daritadi meronta minta bagian.“Enggak usah dipanggil,
Pagi ini, setelah memeriksa gudang dan pesanan pembeli, aku menyegerakan diri melangkah menuju rumah sakit tempat dimana mertuaku dirawat. Menggunakan jasa ojek online, aku menumpang hingga tiba di gedung bertingkat megah yang dipilih ibu mertua sebagai tempatnya berobat.Sejenak, aku menghela napas kala melihat bagaimana bagusya bangunan ini. Rumah Sakit Budiantara namanya. Salah satu perusahaan jasa yang menawarkan fasilitas mewah dan berkelas, tentunya dengan harga yang tidak ramah di kantong.Aku bergegas menuju ruang tempat di mana ibu mertua dirawat, tentunya sesudah membelikannya sekeranjang besar buah-buahan bagus dan segar dari toko buah yang berjalan beberapa meter dari rumah sakit. Aku tidak mau dianggap menantu celit dan kikir, hanya karena menghadiahinya buah-buahan dalam jumlah terbatas. Lagipula, Bang Teguh juga yang akan menikmatinya nanti.Baru langkah pertama memasuki lantai dasar, aroma menusuk dari alkohol dan obat-obatan menyeruak di rongga
Aku segera kembali ke rumah Bang Teguh dengan menyewa ojek yang mangkal di dekat rumah sakit meski kusadari beberapa kali ponsel berdering nyaring, mendendangkan panggilan dari suamiku sendiri. Mungkin, pria itu tidak menyangka jika aku benar-benar akan menentang dirinya dan memilih pulang dibandingkan menemui ibu mertua yang sibuk berpura-pura sakit.Begitu tiba di depan pagar, ojek yang telah menempuh jarak cukup jauh untukku itu meminta tebusan mencapai lima puluh ribu. Aku sedikit mengernyit awalnya, lalu mengeluarkan uang seratus ribu yang berjubel di dalam dompet dan memberikannya padanya.Terlihat dia yang mulai merogoh kantong jaket serta sakut celana. “Enggak ada kembaliannya, Mbak. Uang pas aja. Si Mbak pelanggan pertama,” pintanya santun.Aku mengulas senyum, kembalian sebesar itu memang tidak lagi terasa banyak sejak Rabbi memberi harta yang berlimpah. “Buat Bapak aja kembaliannya. Semoga bermanfaat.” Lantas, aku segera mendor
“Susah ya, ngomong sama menantu kayak kamu. Belagu!” Ibu mertua mencebik dengan keras, kemudian dia berusaha bangkit dari kursi yang didudukinya saat datang tadi.Melihatnya bergerak, aku masih diam membisu. Kenyataan pahit yang ditorehkannya selama ini membuatku enggan membantu.“Gin! Kamu diam aja di situ?” seru Bang Teguh tidak terima.“Istrimu tidak tahu diri, Guh! Sudah untung kamu mau nikah sama dia, kalau enggak jadi perawan tua sekalian!” Lagi ... ibu mertua mengumpatiku.“Sudah, Bu ... jangan marah-marah lagi, biar Teguh yang ngajarin Gina nanti. Sekarang, Ibu fokus istirahat dulu, ya?” pinta Bang Teguh tanpa beranjak dari posisinya saat ini.Aku menyunggingkan senyum, ucapan serta perbuatannya sama sekali tidak sinkron. Perkataan pria itu seolah-olah telah menempatkan ibu mertua di atas tahta, namun nyatanya memapahnya ke kamar saja tidak pernah dia dilakukan.“Nita!” Ibu
“Abang mau cerai?” tantangku sekali lagi.Kutahan sekuat hati selaksa air mata yang mulai membentuk di pelupuk. Tidak boleh sekalipun beningnya jatuh untuk Bang Teguh dan ibu mertua yang dengan mudahnya menoreh luka di batinku.“Eh .. siapa yang mau cerai, Gin!”“Itu, ibu ngomongnya gitu!” sambutku seraya mendelikkan mata dengan sengaja ke arah ibu mertua.“Bu ... Ibu ngomong apa, sih? Siapa yang mau bercerai?” Bang Teguh ikut melirik ibu mertua.Aku tersenyum tipis agar tidak terlalu kentara, kemudian memicingkan mata demi melihat sepuasnya perubahan raut wajah dari ibu mertua yang ditentang oleh putra kesayangannya. Inilah Bang Teguh yang sesungguhnya, demi menghindar dari perceraian yang memberinya kerugian, dia lebih memilih menbantah ibu mertua dibandingkan sebelumnya.“Abang pakai mobilnya, ya? Panas banget Gin.” Bang Teguh kembali mengemis. Aku muntab, lantas
“Maksudnya apa, Bu?” Aku menatap ibu mertua dengan sorot mata bingung.Wanita paruh baya itu menyunggingkan bibirnya, mungkin merasa malas saat mendengar suaraku.“Apa ini, Nit? Kwitansi apa ini?” tanyaku pada Nita seraya berharap wanita itu akan memberiku penjelasan. Meski demikian, Nita menggeleng, lantas menundukkan wajah. “Nita nggak tahu, Mbak.”“Ini, semuanya hutang-hutang Teguh, Mbak! Saya mau dibayar sekarang karena jatuh temponya udah terlalu lama. Gimana ini, saya juga butuh uang, masa sudah berbulan-bulan enggak balik uang saya?” jelas pria berkulit legam.Aku yang baru saja mendapatk an jawaban atas alasan dari kehadirannya lantas membelalakkan mata kembali. Kemudian, memandangi satu per satu lembar kehijauan yang dibubuhi tanda tangan milik Bang Teguh. Jumlah yang tertulis di atasnya tidak main-main, dan jika ditotal maka mencapai tiga puluh juta rupiah.“Saya berani pinjamin
Aku menunggu sejenak di depan rumah asing yang didatangi Bang Teguh, memperhatikan dari dalam mobil dengan jarak aman demi mengetahui pemilik dari hunian mencurigakan itu. Jika memang itu rumah Adinda bersama suamiku, lantas kenapa halamannya tidak terurus? Bahkan lebih cocok disebut berantakan bak diterjang badai sungguhan. Selang beberapa lama, motor lainnya datang. Dua pengendara yang berboncengan di atasnya ikut masuk ke rumah itu. Pintunya tertutup rapat, namun saat ada yang mengetuk, maka segera terbuka seolah-olah ada sistem otomatis yang mampu mendeteksi kehadiran seseorang. Aku menanti lagi dengan sabar, hingga siang berganti jadi sore tanpa memindahkan pandanganku meski hanya sedetik ke pintu rumah itu. Apa yang dua orang tadi dan Bang Teguh lakukan di sana? Kenapa hawanya jadi semakin mencurigakan? Di tengah kekalutan itu, satu motor lain menyusul. Sama seperti Bang Teguh dan dua orang setelahnya, pengendaranya segera masuk dengan langkah penuh per