Share

Bab 2: Masa Laluku

“Jadi ini gudangnya, Mbak Gini?” Nita menatap takjub bangunan tiga lantai yang telah menjadi sarang uangku selama ini.

Bangunan luas yang kubeli dari hasil menabung, penjaja barang dagangan selama bertahun-tahun, hingga merambati bisnis online tujuh tahun lalu itu, berdiri megah di depan kami berdua. Dijejeri oleh beberapa motor yang merupakan milik para pekerja. Serta satu unit mobil berjenis Range Rover yang bersembunyi di bagasi.

Khusus kendaraan besi yang besar itu, adalah milikku sendiri. Aku sengaja menyimpannya di gudang agar ibu mertua tidak tahu tentang hal ini. Bukannya bersikap pelit, tetapi satu unit mobil berjenis Jazz yang kubawa pulang, lebih sering dipakai ibu mertua dibandingkan olehku sendiri. Digunakannya untuk pamer kesana kemari, jika dirinya telah berhasil mencapai puncak kejayaan dalam hidupnya.

Tidak apa-apa jika aku dianggap pelit sekalipun. Nyatanya, selama dua tahun menikahi Bang Teguh, aku telah menggelontorkan uang dalam jumlah tidak sedikit semenjak mereka tahu aku adalah pebisnis online yang mahsyur.

Omset perbulan dari tiga toko e-commerce yang kumiliki mencapai satu milyar, dan bisa bertambah saat musim-musim tertentu. Namun semua hal ini tidak kudapatkan dengan satu jentikan jari. Melainkan hasil dari memerah keringat hingga sedikit terlambat menikah.

Aku hanyalah gadis desa, tamatan SMP yang saat itu tidak mampu melanjutkan sekolah karena terkendala biaya. Jangankan sekolah, membeli baju, sepatu atau buku, bisa makan setiap hari saja sudah syukur rasanya.

Dilahirkan sebagai anak pertama dengan delapan bersaudara yang dempet-dempet jarak kelahirannya, membuatku terpaksa mundur banyak. Membiarkan cita-citaku sebagai seorang guru terbang bersama angin di musim panas. Tersapu badai di musim hujan.

Perih, sakit semua bercampur aduk saat kulihat teman-teman seumuranku berangkat sekolah bersama-sama dengan baju putih abu-abu yang megah. Mereka memakai sepatu hitam yang bagus, tas punggung yang juga keren. Sedangkan aku, duduk di pinggiran toko, menjajakan donat berselimut gula buatan ibu.

Tidak lama berjualan donat, aku ditawarkan untuk bekerja oleh pemilik toko dimana aku menumpang. Pria paruh baya yang kukira hidup sebatang kara itu, memberiku pekerjaan sebagai penjaga toko, karena dirinya sudah tidak lagi mampu melakukannya seorang diri

Jangan tanya bagaimana riangnya aku saat itu. Tidak hanya berjingkrak-jingkrak, mengangguk pada penawaran menakjubkan yang kudapatkan, aku juga membungkuk berulang kali pada pria yang biasa dipanggil Kakek Tua oleh pelanggannya itu.

Beranjak dari situlah, aku belajar bagaimana mengelola sebuah toko kelontong. Menghapal berbagai harga barang, baik harga grosiran atau eceran. Tidak jarang, banyak pembeli yang mencoba nakal saat Kakek Tua sedang keluar, namun aku dengan sigap mengeluarkan buku catatan harga yang telah dibuat oleh Kakek Tua dan membuat pembeli itu bungkam.

Tiga tahun lamanya, aku menghabiskan usia sekolah SMA di toko kelontong yang lapuk. Lalu, bermodalkan tabungan yang sedikit itu, aku mencoba peruntungan sendiri dengan membuka kios di sudut pasar. Bukannya mengkhianati Kakek Tua yang sudah baik hati, melainkan aku dipaksa keluar dari sana, karena toko kelontong miliknya ingin ditutup.

Aku masih ingat ucapan Kakek Tua sore itu sebelum kami berpisah, menurutnya aku akan sukses di masa depan nanti selama, aku mau berusaha dengan keras dan mudah menolong, dari situlah dunia akan berpihak padaku. Sebagai hadiah perpisahan, barang-barang milik Kakek Tua dipindahkan ke kiosku.

Selama empat tahun itu, aku berjuang merangkak dari bawah. Sesekali dibantu oleh adik-adikku, namun kerap kali aku berjuang sendirian. Mereka tidak boleh bolos sekolah, apalagi sampai putus sekolah. Untuk alasan itulah, aku mengelola sendiri kios hingga membesar menjadi sebuah toko.

Tahun kedelapan, saat aku berusia dua puluh dua tahun, dari salah seorang pembeli yang mengomel-ngomel karena barang di toko lebih mahal daripada barang di toko online, aku yang penasaran, mulai mencari tahu tentang hal itu.

Bagaimana caranya berjualan dengan harga murah, memangkas biaya sewa yang terlalu mahal serta menggapai lebih banyak pembeli. Aku tahu teori ini darimana? Dari buku adikku yang kuliah di jurusan manajemen bisnis. Aku yang menyekolahkannya? Syukurnya, dia dapat beasiswa.

Peranku pada mereka hanya sampai tamat SMA, karena keuntungan di toko kelontong juga tidak seberapa. Sebab itulah, aku putar otak, mencari keuntungan yang lebih banyak namun dengan jalan yang halal.

Saat itu, aku berkenalan dengan toko online buatan anak negeri di tahun 2012. Berbekal kemampuan yang buruk dalam menggunakan teknologi, aku kembali merangkak dari bawah, menjajakan barang-barang di sana. Satu hari, dua hari, tiga hari hingga terasa ingin menyerah saja, sebab pesanan tidak kunjung tiba.

Lalu, aku melakukan sedikit inovasi setelah mengintip lagi buku-buku kuliah adikku sendiri. Memperbaiki deskripsi barang, tampilan toko online hingga memperbarui gambar dengan yang lebih jernih.

Tidak butuh berminggu-minggu, dengan izin Allah pesanan datang satu persatu. Awalnya terlihat mudah untuk ditangani, namun semakin hari aku semakin kewalahan menghadapi.

Di sinilah, aku mengangkat karyawan pertama, Bu Iyem namanya. Wanita berstatus janda yang ditinggalkan oleh suaminya demi wanita lain. Dengan beliaulah, aku berlari mengejar mimpiku. Hingga saat ini, aku punya tiga toko online di tiga platform berbeda dengan total pengikut mencapai lima juta.

Semua kegiatan bisnis itu, berputar di bangunan tiga lantai yang luas ini. Dimana lantai pertama merupakan gudang dan ruang pengemasan. Lantai dua adalah kantorku sendiri dan ruang admin, sedang lantai tiga gudang tambahan untuk barang-barang tertentu serta dua kamar untuk karyawan lelaki yang tinggal di sini.

“Kapan ya, Nita bisa kayak gini?”

Anganku segera terbelah saat kudengar Nita bergumam lagi. Wanita bertubuh kurus dengan wajah pucat itu masih menatap bangunan tiga lantaiku.

“Masuk, Nita? Lihat-lihat gudang,” tawarku yang segera disambut bahagia olehnya.

Baru satu langkah berjalan, ponsel gadis itu berdering. Iya, ponsel bukannya gawai keren yang selama ini dimiliki oleh kebanyakan orang. Di tahun 2018, sangat sulit menemukan seseorang yang masih bertahan dengan ponsel itu.

Telepon Nita adalah telepon seluler keluaran lama, yang masih menggunakan tombol untuk dioperasikan dan bukannya layar penuh yang sebesar nampan. Nyess lagi hatiku melihat nasib wanita itu. Padahal, hidupku di masa lalu juga tidak ubahnya dengan Nita.

“Ibu, Mbak?!” desahnya yang beriring dengan wajah sayu.

“Nita pulang ya, Mbak? Takutnya nanti ibu laporan sama Bang WIlly,” lanjutnya lagi.

“Tidak perlu takut. Kalau suamimu nanya kamu kemana, bilang saja pergi sama Mbak, Nita. Lagipula, suamimu laki-laki baik, tidak akan mikir aneh-aneh sama kamu,” ingatku. Memang benar, karakter dari Bang Willy adalah lelaki penyayang nan lembun. Berbanding terbalik dengan ibu mertu yang kasar dan kejam.

“Mbak tahu sifat ibu, kan? Mending kita pulang saja ya, Mbak? Lain kali kita lihat gudangnya Mbak lagi,” pintanya memelas.

Melihatnya begitu, aku menjadi iba. Kuanggukkan kepala meski terasa berat jika harus kembali ke rumah itu sebelum Bang Teguh atau Bang Willy kembali. Ibu mertua akan tetap bertindak kejam sebelum kedua putranya datang.

Bersambung ....

Follow igku, yuk? Di @Bemine_97

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Kasihan miris banget nasib nya Nita
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si nita lebih berjiwa babu yg tertekan
goodnovel comment avatar
YanieAbdullah5
part ini menceritakan perjuangan seorang wanita yang sukses setelah bertahun tahun berjuang , jujur saya meresapi di part ini entah ini hanya fiksi atau nyata tapi author mampu membawa rasa sentimen pada pembaca ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status