Share

Bab 3: Permintaan Bang Teguh

“Baru pulang kamu?!” hardik ibu mertua tepat setelah Nita menginjak lantai rumah.

Aku yang baru memarkirkan mobil di garasi, menghela napas dalam-dalam. Entah bagaimana caranya menyelamatkan Nita dari kekangan ibu mertua, jika dirinya saja tidak mau berusaha lepas darinya.

“Enak ya ... dibelain Gina?! Kamu deketin Gina sekarang biar kecipratan kaya, gitu?” Lagi ... ibu mertua tanpa henti mencibir. Bukan! Lebih tepatnya menghina. Suaranya menggema jelas hingga ke teras rumah. Entah apa kata tetangga setiap mendengar keruhnya suasana rumah ini. Raungan tanpa henti dari ibu mertua seolah menjadi melodi yang akan terus berputar.

Kulangkahkan kaki, menyusul Nita agar ibu mertua sedikit melunak padanya. Namun, kutemukan sesuatu yang mencengangkan saat ini.

Pria yang kunikahi dua tahun lalu itu, sudah duduk santai di sofa, menikmati makanan yang kupesan melalui ojek online. Sedang ibu mertua, masih saja melanjutkan marah-marahnya.

“Itu istrimu, Guh!” Ibu Mertua ikut menyorotiku. Tatapannya jadi sinis dan berani, berbeda jauh dengan saat pagi tadi.

“Bang ... cepet banget pulangnya? Ini masih siang. Memangnya Bang Teguh enggak kerja?” tanyaku pada suamiku itu— pria yang masih sibuk mengunyah paha ayam bakar dengan ganasnya bak kelaparan.

Aku mendekati Bang Teguh setelah memberi isyarat pada Nita agar beranjak ke kamar. Kurasa, sakitnya hati Nita saat ini berkat hardikan ibu mertua tidak perlu bertambah. Wanita itu sebaiknya kuselamatkan lebih dulu, sebelum air matanya tumpah ruah dengan caci-maki berikutnya.

“Bang? Aku nanyain loh!” protesku pada Bang Teguh.

“Kamu ini, Gin! Tunggu sebentar, suamimu sedang makan!” Ibu mertua menyahut.

Entah kenapa, kuperhatikan jika wanita tua ini seringkali begitu berani di depan Bang Teguh. Bahkan tidak segan-segan menghardik diriku.

“Gin ... Abang mau bicara sama kamu,” ujar Bang Teguh. Paha ayam yang sedari tadi dia gerogoti tulangnya mulai terlepas dari tangan.

Bang Teguh menarik secarik tisu dari box, kemudian menyeka sudut-sudut bibirnya yang berlepotan bumbu dan minyak. Sebenarnya, aku mencelos hati saat melihat dua dari lima porsi ayam bakar nasi uduk itu kandas diterjang Bang Teguh. Menyisakan nasi tok dengan sayur timun serta gorengan tempe. Syukurnya, aku sempat memesan beberapa potong ayam goreng tepung dari toko langgananku, jadinya dua bungkus itu masih bisa terselematkan.

“Bicara langsung di depan Ibu, Guh!” sela ibu mertua lagi.

Dua anak-beranak ini jadi semakin mencurigakan. Seolah-olah mereka baru saja menyusun rencana untuk menyakiti diriku seperti yang dilakukan ibu mertua serta anaknya dari siaran tivi ikan terbang. Semoga saja, nasib-nasib mengenaskan itu tidak menimpa diriku.

“Oke, Bu.” Bang Teguh patuh.

Diliriknya kembali aku yang berdiri di depannya dengan wajah tersenyum puas. Padahal, pertanyaanku tentang dirinya yang pulang kerja jauh sebelum waktunya belum dijawab.

“Gini loh, Gin ... itu, temen Abang lagi cari orang buat beli tanah kebun bosnya. Harganya dua em, kamu minat, enggak?” Bang Teguh nyengir setelah memberitahuku maksud dari hatinya.

Dua em? Aku sendiri tersentak saat mendengar nilai dari harga tanah yang ditawarkan Bang Teguh. Tabunganku bisa terkuras hingga setengahnya jika benar-benar membeli tanah itu. Aku menggeram, ternyata ini tujuan suamiku dan ibu mertuanya. Pantas Bang Teguh segera pulang meski masih siang.

“Tidak, Bang!” Aku menekan kalimatku. “Baru bulan lalu kita beli tanah, masa beli lagi? Harganya juga tiga kali yang kemarin.”

“Itu kan tanah buat kamu, atas nama kamu, Gin. Yang ini, atas nama suamimu,” sambut ibu mertua yang membuat batinku mendadak nyeri.

“Apa maksudnya, Bu? Kenapa aku harus beli tanah buat Bang Teguh? Memangnya ....”

“Abang juga pengen kayak temen Abang, Gin. Dia punya tanah luas buat dipake berkebun. Terus hasil kebunnya dia jual dan sekarang dia jadi pengusaha sukses. Gimana tuh? Ngiler, kan?” Bang Teguh senyam-senyum, mungkin membayangkan hamparan kebun hijau di dalam tanah luas yang harganya masih tidak masuk di kepalaku.

Memang ini kota besar. Tetapi, tetap saja aku keberatan. Membeli tanah senilai milyaran dan atas nama Bang Teguh? Enak saja mereka!

“Maaf, Bang. Aku enggak mau. Kita enggak perlu beli tanah lagi. Yang lama juga enggak pernah digarap. Cuma dibiarkan terlantar!”

“Itu luasnya kurang, Gin! Yang ini ....”

“Tidak, Bang. Abang ini, jangankan berkebun, kerja saja suka bolos. Memangnya ... kerja apa sih, Bang? Memangnya ... ada ya kantor yang ngizinin pegawainya keluar masuk begitu?” sindirku.

Sebenarnya, aku tidak tega berperilaku begini. Namun, kelakuan Bang Teguh hari ini semakin menjadi-jadi. Dengan wajah tanpa dosanya, dia pulang lalu memintaku membelikannya tanah. Padahal, nafkahnya untukku saja sering terlewatkan.

“Kamu ini, Gin! Jangan begitu sama suamimu! Dosa kamu!”

“Bu ... aku berdosa? Terus kalau ibu dan Bang Teguh meras aku kayak gini, apa itu nggak dosa? Aku kerja banting tulang siang sampai malam itu demi keluargaku di kampung. Bukan cuma buat kalian di sini. Lagian, Bu ... urusanku di sini sebagai mantu, bukan sebagai tulang punggung. Sudah cukup aku jadi donatur di sini.” Aku mendengkus dengan sorot mata yang menyala-nyala lalu ngacir sejauh mungkin hingga ke kamar kami.

Sempat kudengar ibu mertua yang ngomel-ngomel pada Bang Teguh soal aku yang terus menentang dirinya, enggan memberinya uang. Lalu, diungkitnya perihal aku yang juga menolak membayar COD-nya. Yah ... aku sudah terbiasa dengan ibu mertua yang senang menyudutkan mantunya. Soal wanita tua itu, aku masih bisa tahan. Tapi, jika sudah menjalar hingga ke Bang Teguh, aku tidak terima.

Mereka berdua, tidak boleh kubiarkan menghisapku lebih jauh dari ini!

Bersambung ...

@bemine_3897

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mertua parasit
goodnovel comment avatar
cutetylytis pretty
geram pulak baca
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Ternyata Teguh cuma manfaatin Gina
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status