“Baru pulang kamu?!” hardik ibu mertua tepat setelah Nita menginjak lantai rumah.
Aku yang baru memarkirkan mobil di garasi, menghela napas dalam-dalam. Entah bagaimana caranya menyelamatkan Nita dari kekangan ibu mertua, jika dirinya saja tidak mau berusaha lepas darinya.
“Enak ya ... dibelain Gina?! Kamu deketin Gina sekarang biar kecipratan kaya, gitu?” Lagi ... ibu mertua tanpa henti mencibir. Bukan! Lebih tepatnya menghina. Suaranya menggema jelas hingga ke teras rumah. Entah apa kata tetangga setiap mendengar keruhnya suasana rumah ini. Raungan tanpa henti dari ibu mertua seolah menjadi melodi yang akan terus berputar.
Kulangkahkan kaki, menyusul Nita agar ibu mertua sedikit melunak padanya. Namun, kutemukan sesuatu yang mencengangkan saat ini.
Pria yang kunikahi dua tahun lalu itu, sudah duduk santai di sofa, menikmati makanan yang kupesan melalui ojek online. Sedang ibu mertua, masih saja melanjutkan marah-marahnya.
“Itu istrimu, Guh!” Ibu Mertua ikut menyorotiku. Tatapannya jadi sinis dan berani, berbeda jauh dengan saat pagi tadi.
“Bang ... cepet banget pulangnya? Ini masih siang. Memangnya Bang Teguh enggak kerja?” tanyaku pada suamiku itu— pria yang masih sibuk mengunyah paha ayam bakar dengan ganasnya bak kelaparan.
Aku mendekati Bang Teguh setelah memberi isyarat pada Nita agar beranjak ke kamar. Kurasa, sakitnya hati Nita saat ini berkat hardikan ibu mertua tidak perlu bertambah. Wanita itu sebaiknya kuselamatkan lebih dulu, sebelum air matanya tumpah ruah dengan caci-maki berikutnya.
“Bang? Aku nanyain loh!” protesku pada Bang Teguh.
“Kamu ini, Gin! Tunggu sebentar, suamimu sedang makan!” Ibu mertua menyahut.
Entah kenapa, kuperhatikan jika wanita tua ini seringkali begitu berani di depan Bang Teguh. Bahkan tidak segan-segan menghardik diriku.
“Gin ... Abang mau bicara sama kamu,” ujar Bang Teguh. Paha ayam yang sedari tadi dia gerogoti tulangnya mulai terlepas dari tangan.
Bang Teguh menarik secarik tisu dari box, kemudian menyeka sudut-sudut bibirnya yang berlepotan bumbu dan minyak. Sebenarnya, aku mencelos hati saat melihat dua dari lima porsi ayam bakar nasi uduk itu kandas diterjang Bang Teguh. Menyisakan nasi tok dengan sayur timun serta gorengan tempe. Syukurnya, aku sempat memesan beberapa potong ayam goreng tepung dari toko langgananku, jadinya dua bungkus itu masih bisa terselematkan.
“Bicara langsung di depan Ibu, Guh!” sela ibu mertua lagi.
Dua anak-beranak ini jadi semakin mencurigakan. Seolah-olah mereka baru saja menyusun rencana untuk menyakiti diriku seperti yang dilakukan ibu mertua serta anaknya dari siaran tivi ikan terbang. Semoga saja, nasib-nasib mengenaskan itu tidak menimpa diriku.
“Oke, Bu.” Bang Teguh patuh.
Diliriknya kembali aku yang berdiri di depannya dengan wajah tersenyum puas. Padahal, pertanyaanku tentang dirinya yang pulang kerja jauh sebelum waktunya belum dijawab.
“Gini loh, Gin ... itu, temen Abang lagi cari orang buat beli tanah kebun bosnya. Harganya dua em, kamu minat, enggak?” Bang Teguh nyengir setelah memberitahuku maksud dari hatinya.
Dua em? Aku sendiri tersentak saat mendengar nilai dari harga tanah yang ditawarkan Bang Teguh. Tabunganku bisa terkuras hingga setengahnya jika benar-benar membeli tanah itu. Aku menggeram, ternyata ini tujuan suamiku dan ibu mertuanya. Pantas Bang Teguh segera pulang meski masih siang.
“Tidak, Bang!” Aku menekan kalimatku. “Baru bulan lalu kita beli tanah, masa beli lagi? Harganya juga tiga kali yang kemarin.”
“Itu kan tanah buat kamu, atas nama kamu, Gin. Yang ini, atas nama suamimu,” sambut ibu mertua yang membuat batinku mendadak nyeri.
“Apa maksudnya, Bu? Kenapa aku harus beli tanah buat Bang Teguh? Memangnya ....”
“Abang juga pengen kayak temen Abang, Gin. Dia punya tanah luas buat dipake berkebun. Terus hasil kebunnya dia jual dan sekarang dia jadi pengusaha sukses. Gimana tuh? Ngiler, kan?” Bang Teguh senyam-senyum, mungkin membayangkan hamparan kebun hijau di dalam tanah luas yang harganya masih tidak masuk di kepalaku.
Memang ini kota besar. Tetapi, tetap saja aku keberatan. Membeli tanah senilai milyaran dan atas nama Bang Teguh? Enak saja mereka!
“Maaf, Bang. Aku enggak mau. Kita enggak perlu beli tanah lagi. Yang lama juga enggak pernah digarap. Cuma dibiarkan terlantar!”
“Itu luasnya kurang, Gin! Yang ini ....”
“Tidak, Bang. Abang ini, jangankan berkebun, kerja saja suka bolos. Memangnya ... kerja apa sih, Bang? Memangnya ... ada ya kantor yang ngizinin pegawainya keluar masuk begitu?” sindirku.
Sebenarnya, aku tidak tega berperilaku begini. Namun, kelakuan Bang Teguh hari ini semakin menjadi-jadi. Dengan wajah tanpa dosanya, dia pulang lalu memintaku membelikannya tanah. Padahal, nafkahnya untukku saja sering terlewatkan.
“Kamu ini, Gin! Jangan begitu sama suamimu! Dosa kamu!”
“Bu ... aku berdosa? Terus kalau ibu dan Bang Teguh meras aku kayak gini, apa itu nggak dosa? Aku kerja banting tulang siang sampai malam itu demi keluargaku di kampung. Bukan cuma buat kalian di sini. Lagian, Bu ... urusanku di sini sebagai mantu, bukan sebagai tulang punggung. Sudah cukup aku jadi donatur di sini.” Aku mendengkus dengan sorot mata yang menyala-nyala lalu ngacir sejauh mungkin hingga ke kamar kami.
Sempat kudengar ibu mertua yang ngomel-ngomel pada Bang Teguh soal aku yang terus menentang dirinya, enggan memberinya uang. Lalu, diungkitnya perihal aku yang juga menolak membayar COD-nya. Yah ... aku sudah terbiasa dengan ibu mertua yang senang menyudutkan mantunya. Soal wanita tua itu, aku masih bisa tahan. Tapi, jika sudah menjalar hingga ke Bang Teguh, aku tidak terima.
Mereka berdua, tidak boleh kubiarkan menghisapku lebih jauh dari ini!
Bersambung ...
@bemine_3897
Setelah menolak permintaan Bang Teguh untuk membeli tanah seharga 2 Milyar itu, ibu mertua mulai menatapku dengan sorot mata penuh kebencian seperti yang selama ini diberikannya pada Nita. Tidak cukup sampai di situ, intonasi bicara ibu mertua berubah drastis, penuh cibiran dan ketidaksukaan.Aku yang merasakan dengan jelas perubahan itu hanya bisa berpura-pura acuh. Karena, aku yakin benar jika semua yang dilakukan ibu mertua, hanya untuk menekanku, agar segera menyetujui keinginan putranya, membeli tanah dengan harga yang fantastis lalu mengganti namanya atas nama Bang Teguh. Sudah sinting hidup ini! Entah kenapa dulu, kuterima lamaran pria ini.“Gin!” Seruan dari suara Bang Teguh memanggil namaku.Hampir saja, aku duduk bengong di meja makan. Makanan yang sudah kuambil hanya tercampur aduk di piring. Tidak sesuap pun masuk ke dalam tenggorokan, apalagi jatuh ke lambung yang sudah daritadi meronta minta bagian.“Enggak usah dipanggil,
Pagi ini, setelah memeriksa gudang dan pesanan pembeli, aku menyegerakan diri melangkah menuju rumah sakit tempat dimana mertuaku dirawat. Menggunakan jasa ojek online, aku menumpang hingga tiba di gedung bertingkat megah yang dipilih ibu mertua sebagai tempatnya berobat.Sejenak, aku menghela napas kala melihat bagaimana bagusya bangunan ini. Rumah Sakit Budiantara namanya. Salah satu perusahaan jasa yang menawarkan fasilitas mewah dan berkelas, tentunya dengan harga yang tidak ramah di kantong.Aku bergegas menuju ruang tempat di mana ibu mertua dirawat, tentunya sesudah membelikannya sekeranjang besar buah-buahan bagus dan segar dari toko buah yang berjalan beberapa meter dari rumah sakit. Aku tidak mau dianggap menantu celit dan kikir, hanya karena menghadiahinya buah-buahan dalam jumlah terbatas. Lagipula, Bang Teguh juga yang akan menikmatinya nanti.Baru langkah pertama memasuki lantai dasar, aroma menusuk dari alkohol dan obat-obatan menyeruak di rongga
Aku segera kembali ke rumah Bang Teguh dengan menyewa ojek yang mangkal di dekat rumah sakit meski kusadari beberapa kali ponsel berdering nyaring, mendendangkan panggilan dari suamiku sendiri. Mungkin, pria itu tidak menyangka jika aku benar-benar akan menentang dirinya dan memilih pulang dibandingkan menemui ibu mertua yang sibuk berpura-pura sakit.Begitu tiba di depan pagar, ojek yang telah menempuh jarak cukup jauh untukku itu meminta tebusan mencapai lima puluh ribu. Aku sedikit mengernyit awalnya, lalu mengeluarkan uang seratus ribu yang berjubel di dalam dompet dan memberikannya padanya.Terlihat dia yang mulai merogoh kantong jaket serta sakut celana. “Enggak ada kembaliannya, Mbak. Uang pas aja. Si Mbak pelanggan pertama,” pintanya santun.Aku mengulas senyum, kembalian sebesar itu memang tidak lagi terasa banyak sejak Rabbi memberi harta yang berlimpah. “Buat Bapak aja kembaliannya. Semoga bermanfaat.” Lantas, aku segera mendor
“Susah ya, ngomong sama menantu kayak kamu. Belagu!” Ibu mertua mencebik dengan keras, kemudian dia berusaha bangkit dari kursi yang didudukinya saat datang tadi.Melihatnya bergerak, aku masih diam membisu. Kenyataan pahit yang ditorehkannya selama ini membuatku enggan membantu.“Gin! Kamu diam aja di situ?” seru Bang Teguh tidak terima.“Istrimu tidak tahu diri, Guh! Sudah untung kamu mau nikah sama dia, kalau enggak jadi perawan tua sekalian!” Lagi ... ibu mertua mengumpatiku.“Sudah, Bu ... jangan marah-marah lagi, biar Teguh yang ngajarin Gina nanti. Sekarang, Ibu fokus istirahat dulu, ya?” pinta Bang Teguh tanpa beranjak dari posisinya saat ini.Aku menyunggingkan senyum, ucapan serta perbuatannya sama sekali tidak sinkron. Perkataan pria itu seolah-olah telah menempatkan ibu mertua di atas tahta, namun nyatanya memapahnya ke kamar saja tidak pernah dia dilakukan.“Nita!” Ibu
“Abang mau cerai?” tantangku sekali lagi.Kutahan sekuat hati selaksa air mata yang mulai membentuk di pelupuk. Tidak boleh sekalipun beningnya jatuh untuk Bang Teguh dan ibu mertua yang dengan mudahnya menoreh luka di batinku.“Eh .. siapa yang mau cerai, Gin!”“Itu, ibu ngomongnya gitu!” sambutku seraya mendelikkan mata dengan sengaja ke arah ibu mertua.“Bu ... Ibu ngomong apa, sih? Siapa yang mau bercerai?” Bang Teguh ikut melirik ibu mertua.Aku tersenyum tipis agar tidak terlalu kentara, kemudian memicingkan mata demi melihat sepuasnya perubahan raut wajah dari ibu mertua yang ditentang oleh putra kesayangannya. Inilah Bang Teguh yang sesungguhnya, demi menghindar dari perceraian yang memberinya kerugian, dia lebih memilih menbantah ibu mertua dibandingkan sebelumnya.“Abang pakai mobilnya, ya? Panas banget Gin.” Bang Teguh kembali mengemis. Aku muntab, lantas
“Maksudnya apa, Bu?” Aku menatap ibu mertua dengan sorot mata bingung.Wanita paruh baya itu menyunggingkan bibirnya, mungkin merasa malas saat mendengar suaraku.“Apa ini, Nit? Kwitansi apa ini?” tanyaku pada Nita seraya berharap wanita itu akan memberiku penjelasan. Meski demikian, Nita menggeleng, lantas menundukkan wajah. “Nita nggak tahu, Mbak.”“Ini, semuanya hutang-hutang Teguh, Mbak! Saya mau dibayar sekarang karena jatuh temponya udah terlalu lama. Gimana ini, saya juga butuh uang, masa sudah berbulan-bulan enggak balik uang saya?” jelas pria berkulit legam.Aku yang baru saja mendapatk an jawaban atas alasan dari kehadirannya lantas membelalakkan mata kembali. Kemudian, memandangi satu per satu lembar kehijauan yang dibubuhi tanda tangan milik Bang Teguh. Jumlah yang tertulis di atasnya tidak main-main, dan jika ditotal maka mencapai tiga puluh juta rupiah.“Saya berani pinjamin
Aku menunggu sejenak di depan rumah asing yang didatangi Bang Teguh, memperhatikan dari dalam mobil dengan jarak aman demi mengetahui pemilik dari hunian mencurigakan itu. Jika memang itu rumah Adinda bersama suamiku, lantas kenapa halamannya tidak terurus? Bahkan lebih cocok disebut berantakan bak diterjang badai sungguhan. Selang beberapa lama, motor lainnya datang. Dua pengendara yang berboncengan di atasnya ikut masuk ke rumah itu. Pintunya tertutup rapat, namun saat ada yang mengetuk, maka segera terbuka seolah-olah ada sistem otomatis yang mampu mendeteksi kehadiran seseorang. Aku menanti lagi dengan sabar, hingga siang berganti jadi sore tanpa memindahkan pandanganku meski hanya sedetik ke pintu rumah itu. Apa yang dua orang tadi dan Bang Teguh lakukan di sana? Kenapa hawanya jadi semakin mencurigakan? Di tengah kekalutan itu, satu motor lain menyusul. Sama seperti Bang Teguh dan dua orang setelahnya, pengendaranya segera masuk dengan langkah penuh per
Bang Teguh yang baru saja pulang menatapku kaget. Tatapannya matanya yang semula tersenyum jadi bulat besar. Kebingungan seakan menyelimuti pria itu, hingga tidak mampu beranjak dari ambang pintu.“Masuk, Bang ... pintunya ditutup, dong!” paparku lagi dengan senyum yang menyiratkan banyak makna.Aku sudah tidak mau lagi bertahan dengan pria ini dan keluarganya. Segala dusta yang telah mereka berikan, sudah cukup sebagai alasan untukku segera angkat kaki dari sini, melepaskan diri dari belenggu yang terus menjerat tanpa akhir.“Ka-kamu kenapa, sih? Makin hari makin aneh?” balas Bang Teguh seraya mendekatiku.Pria itu mengulurkan tangannya, hendak membelai wajahku. Tetapi aku, lebih dulu bergeser dan menjauh. Kutatap dia dengan pandangan tak suka, memberinya kejelasan jika aku tidak sudi disentuh olehnya, apalagi dengan tangan yang baru saja mencetak banyak noda dan dosa di rumah misterius tadi.“Gin!” Bang Teguh t