Share

Bab 5: Ibu Mertua Dirawat

Pagi ini, setelah memeriksa gudang dan pesanan pembeli, aku menyegerakan diri melangkah menuju rumah sakit tempat dimana mertuaku dirawat. Menggunakan jasa ojek online, aku menumpang hingga tiba di gedung bertingkat megah yang dipilih ibu mertua sebagai tempatnya berobat.

Sejenak, aku menghela napas kala melihat bagaimana bagusya bangunan ini. Rumah Sakit Budiantara namanya. Salah satu perusahaan jasa yang menawarkan fasilitas mewah dan berkelas, tentunya dengan harga yang tidak ramah di kantong.

Aku bergegas menuju ruang tempat di mana ibu mertua dirawat, tentunya sesudah membelikannya sekeranjang besar buah-buahan bagus dan segar dari toko buah yang berjalan beberapa meter dari rumah sakit. Aku tidak mau dianggap menantu celit dan kikir, hanya karena menghadiahinya buah-buahan dalam jumlah terbatas. Lagipula, Bang Teguh juga yang akan menikmatinya nanti.

Baru langkah pertama memasuki lantai dasar, aroma menusuk dari alkohol dan obat-obatan menyeruak di rongga hidung. Termasuk juga, pemandangan yang mampu membuat bulu kuduk meremang, saat melihat sosok terbaring kaku di ruang IGD yang berdinding kaca bening.

Aku melewati ruangan dengan dengan langkah terburu-buru. Kemudian, mendekati meja resepsionis. Salah satu dari dua suster yang sedang bertugas menatapku sejenak, lalu bertanya dengan sopan, “Mau jenguk siapa, Mbak?”

“Mertua saya, Sus. Semalam masuk ke sini.”

“Namanya siapa, Mbak? Biar saya carikan.”

“Erna, namanya Bu Erna. Datang bersama putranya,” jelasku yakin seyakin-yakinnya.

Bang Teguh sudah memberiku alamat rumah sakit ini, maka sangat tidak mungkin ibu mertua dirawat di rumah sakit yang lain. Mendengarku menyebut nama ibu mertua, suster berwajah bulat itu segera mengecek daftar pasien rawat inap dari komputernya, lalu sejurus kemudian menemuiku dengan informasi yang kubutuhkan. “VIP lima lantai dua, Mbak.”

Darahku sedikit berdesir saat mendengar ruangan yang disebut suster. Ah, baiklah apa urusannya denganku ibu mertua dirawat di ruangan seperti apa. Lagipula, kedua putranya yang akan menanggung semua biaya perawatan.

“Makasih ya, Sus!” pamitku terakhir kali, lalu beranjak segera menuju lift yang untungnya masih terbuka.

Tidak perlu waktu lama, aku berhasil menemukan ruang VIP lima di lantai kedua seperti yang disebutkan suster di lantar dasar tadi. Aku mengintip sedetik dari jendela kaca yang terhalang gorden, berharap jika ruangan yang terdengar riuh dari luar bukanlah ruang ibu mertua.

Bagaimana mungkin gelak tawa yang menggelegar dan mengusik ketenangan itu berasal dari ibu mertua yang sedang sakit? Aku berulangkali mengucap istigfar, berharap jika pikiran buruk yang menguasaiku saat ini hanyalah tiupan serta hasutan dari setan belaka.

Aku menekan knop pintu, lalu mendorongnya pelan agar tidak menimbulkan suara. Sedikit melongok ke dalam, seketika bola mata ini terasa hampir melompat dari sarang. Ibu mertua duduk santai sambil bersandar di dashboard mobil, di tangannya dia menggenggam garpu yang ditusukkan potongan buah pir, dan di pangkuannya terdapat sepiring penuh buah-buahan yang sudah dipotong dan dikupas.

Ibu mertua tertawa menggelegar, saat teman-temannya yang berkunjung berbicara kepadanya, menggosipkan tentang bagaimana mewahnya rumah sakit yang saat ini dikunjungi, serta tentang buah mahal yang sedang dinikmati. Turun ke bawah, di lantai yang dingin karena sofa satu-satunya yang diberikan rumah sakit sudah penuh diisi oleh dua wanita bertumbuh bulat seperti ibu mertua, ada Nita yang duduk bak pekerja rumah tangga. Gadis itu dengan sabar menguliti apel dan pir yang sepertinya buah tangan dari dua wanita tersebut.

“Jadi, enak dong, Bu ... punya mantu tajir. Uh, rumah sakit aja dibayarin semahal ini. Pasti dia sayang banget sama Bu Erna.” Salah satu wanita yang kukenal sebagai Bu Husna berbicara lagi, tentunya tanpa berhenti menggigit dan mengunyah buah yang dihidangkan Nita.

“Iya, dong ... Bu. Itu, Bu ... Teguh mau beli tanah, buat kebun. Harganya dua em ...,” obral ibu mertua lagi dengan bangganya. “Nanti, tanahnya mau dikasih ke saya, Bu. Enakkan Bu, punya mantu tajir. Hehehe ....”

“Wah, dua em, Bu? Itu duit semua?”

Ibu mertua mengangguk bangga. “Iya, Teguh itu duitnya banyak. Istrinya kaya raya, pinter kan anak saya nyari bini? Kalau yang modelan begini sih ....” Kali ini, ibu mertua melirik Nita yang duduk diam di bawah.

Tanpa melakukan apapun, tetap saja Nita kena sembur dan hina.

“Ya, bilang ke Willy, Bu ... cari lagi yang baru, harus yang kayak Gina. Kan lumayan banget Bu. Apalagi, si Willy mukanya ganteng, banyak yang demen.” Bu Inah menyambar tepat setelah ibu mertua selesai.

Ketiganya kembali menertawai Nita, sesekali membandingkannya denganku atau dengan mantu-mantu mereka yang bekerja di kantor. Tidak jarang, kudengar ibu mertua mengiyakan saran-saran dari temannya untuk meminta Bang Willy menikah lagi.

“Kalau enggak, Teguh juga bisa tuh nikah lagi, hehe ....” Bu Husna terkikik. Sepiring pir dan apel yang dipotong Nita ludes olehnya. Aku masih belum beranjak sama sekali dan balik pintu, ada banyak hal yang bisa kudengar, meski sebagiannya memilukan.

“Loh, kan memang sudah dua, Bu ....” Bu Inah menjawab.

“Hush! Jangan keras-keras, nanti ada yang laporan,” ingat ibu mertua.

Aku yang mendengar dengan jelas hal itu merasa bagaikan disengat. Apa maksud ibu mertua dan kedua temannya? Bang Teguh menikah lagi?

 “Loh, kapan Bu Husna?”

“Ah, si Ibu. Itu, Bu ... yang di ....”

Aku tidak sempat mendengar Bu Husna hingga selesai, karena Bang Teguh lebih dulu datang dan menarik gagang pintu hingga berdentum. “Kapan kamu sampai, Gin?” tanyanya dengan wajah yang memucat. Sepertinya, Bang Teguh berusaha menyembunyikan sesuatu.

“Abang nikah lagi?” Aku segera menginterogasi.

“Kamu ngawur. Nikah lagi? Satu saja sudah bikin pusing,” elaknya. “Sudah, cepat masuk! Kamu telat jenguk ibu. Harusnya datang agak pagi, biar bisa bantu-bantu ibu bersih-bersih.”

“Bang, jawab dulu! Aku masih ngomong.”

“Gina ... kamu denger apa sih dari ibu-ibu tukang gosip itu?” Bang Teguh menegurku dengan keras. Terlihat, beberapa suster dan kerabat dari pasien melirik ke arah kami yang berdebat di ambang pintu.

“Aku denger sendiri kalau kata Bu Husna kamu nikah lagi, dan ibu mertua sendiri yang ....”

“Itu cuma halunya kamu aja, Gin! Ini semua biar kamu nggak perlu beliin aku tanah dua em itu, kan? Kamu segininya, ya Gin! Aku suamimu, kepala rumah tangga. Kok tega ya kamu ngefitnah aku sampai begini!” Bang Teguh menunjuk dirinya dengan sorot matanya yang bergetar.

Semakin aku bersikeras, maka semakin keras pulalah balasan jawaban dari Bang Teguh. Pria itu tidak mau mengakui tuduhan yang kudengar langsung dari tiga wanita di dalam.

“Sudah, aku mau ketemu ibu. Kamu masuk atau nunggu di sini, terserah saja, Gin!” Bang Teguh mendorong kembali pintu yang baru saja ditutupnya. Pria itu mengabaikanku yang masih berusaha memahami kejadian membingungkan saat ini.

“Mbak ... masuk, yuk?” Nita datang mendekat, seraya memanggilku dengan suaranya yang pelan dan lemah. Kulihat, gadis itu menyimpan iba di pelupuk matanya, mungkin sadar jika aku mendengar semua gosip miring yang dilakukan ibu mertua.

“Tidak, Nit ... bawa masuk ini. Aku harus pergi sebentar. Ada sesuatu yang belum selesai,” ujarku pada Nita.

Kuserahkan sekeranjang buah nan mahal itu agar bisa memuaskan rasa haus ibu mertua, lalu bergegas pergi dari sana dengan hati yang membara. Ada banyak hal yang kini harus kusibak sendiri. Perjuanganku di rumah ini tidak hanya tentang Nita, keserakahan ibu mertua dan Bang Teguh, tetapi juga kabar angin soal pengkhianatannya terhadapku.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kedua menantu perempuan sama2 tolol cuma beda versi aja
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Aku pikir Nita yg terzolimi trnyta Gina lebih parah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status