Share

Bab 7: Pertengkaran Tanpa Akhir

“Susah ya, ngomong sama menantu kayak kamu. Belagu!” Ibu mertua mencebik dengan keras, kemudian dia berusaha bangkit dari kursi yang didudukinya saat datang tadi.

Melihatnya bergerak, aku masih diam membisu. Kenyataan pahit yang ditorehkannya selama ini membuatku enggan membantu.

“Gin! Kamu diam aja di situ?” seru Bang Teguh tidak terima.

“Istrimu tidak tahu diri, Guh! Sudah untung kamu mau nikah sama dia, kalau enggak jadi perawan tua sekalian!” Lagi ... ibu mertua mengumpatiku.

“Sudah, Bu ... jangan marah-marah lagi, biar Teguh yang ngajarin Gina nanti. Sekarang, Ibu fokus istirahat dulu, ya?” pinta Bang Teguh tanpa beranjak dari posisinya saat ini.

Aku menyunggingkan senyum, ucapan serta perbuatannya sama sekali tidak sinkron. Perkataan pria itu seolah-olah telah menempatkan ibu mertua di atas tahta, namun nyatanya memapahnya ke kamar saja tidak pernah dia dilakukan.

“Nita!” Ibu mertua mengganti sasaran karena tidak ada yang kunjung datang membantunya.  

Nita yang baru saja menurunkan keranjang buah pembelianku segera beranjak mendekat, tidak dihiraukannya peluh yang terus mengalir di pipi, serta tubuh yang semakin ringkih setelah semalaman bergadang. Wanita itu, memang memiliki hati seputih salju.

“Iya, bantuin mertuamu, Nit! Jangan numpang saja di sini!” Bang Teguh kembali melayangkan belatinya pada Nita.

“Numpang?” Aku mendesis. Kalimat dari suamiku telah mengotori telingaku.

“Numpang gimana, ya? Mulai dari nyapu, ngepel, nyuci sampai masak itu Nita yang kerjain, loh. Kok Bang Teguh teganya ngatain dia numpang?”

“Itu sudah tugas kalian sebagai mantu di sini. Memangnya kamu maunya ibu yang ngerjain semuanya?” balas Bang Teguh.

“Mantu atau pembantu, ya?” Aku menyeringai lagi. Benar-benar sudah panas hatiku melihat bagaimana buruknya sifat dua orang ini.

“Mbak, sudah. Jangan dilanjut, malu sama tetangga. Bu Husna lagi ngintip,” ingat Nita seraya melirik ke pagar samping rumah.

Mendengar hal itu, aku turut serta menoleh, mencari-cari tetanggaku yang baik budi itu. Dan benar saja, dua pasang mata terlihat sedang mengintip dari balih celah-celah pagar. Tubuhnya yang gempal membuatnya kesusahan bertahan di antara dua pokok kayu yang masih remaja di rumahnya. Kasihan sekali Bu Husna, mencari gosip sampai segitunya.

“Masuk, Nit. Besok, kamu ikut Mbak ke gudang!” perintahku pada Nita dengan suara ketus. Aku benar-benar sudah muak dengan perlakuan mereka selama ini, menjadikanku ATM berjalan dan Nita sebagai budak mereka. Dan anehnya, Bang Willy yang notabenenya suami wanita ini seolah-olah buta dengan semua perlakuan keluarganya pada Nita yang dia nikahi.

“Sombong!” Ibu mertua menyindirku lagi. “Mentang-mentang duitmu banyak, kamu berlagak di sini, Gin!”

“Ibu benar ... kamu enggak hormat sama ibu, dan sama aku! Kamu istriku!” sambung Bang Teguh. Rupanya, dua insan ini tidak mau menyudahi pertikaian di teras. Mereka lebih senang mengundang Bu Husna-Bu Husna yang lain dan menonton kami hingga puas.

“Terserah apa katamu, Bang. Aku capek, mau istirahat!” ketusku lagi. Setelahnya lekas berbalik ke dalam rumah tanpa membiarkan diriku disakiti lagi.

Aku mengabaikan ibu mertua yang sedang berpura-pura kesulitan berjalan, atau panggilan dari Bang Teguh serta omelan tidak berujungnya itu. Apa perduliku lagi? Di saat semua hal kuberi, namun mereka membalasku dengan rasa sakit hati.

Meninggalkan ketiganya, aku melenggang masuk ke kamar, lalu menutupnya dengan keras. Sesak di dada kutumpah dalam satu tarikan napas panjang dan helaan yang berat. Bagaimanapun, air mata ini tidak boleh lagi terjatuh apalagi untuk orang-orang berhati batu itu.

Kulirik sebentar, jaket hitam di gantungan yang menyembunyikan jaket jeans di bawahnya, barang bukti yang belum sempat kudokumentasikan itu semoga tidak dibawanya pergi setelah kejadian hari ini. Aku mendadak risau, tentang bagaimana caranya membongkar seluruh dusta Bang Teguh dengan langkah-langkah yang elegan dan pintar.

“Gin!”

“Fyuh ....”

“Abang mau ke kantor!” ungkapnya dari luar kamar.

Kuusap wajahku yang sedikit hangat, kemudian membukakan pintu demi melihat wajah pria pendusta itu. Sudah bisa kutebak, jika kantor yang dia maksud adalah rumahnya bersama wanita dengan panggilan Adinda.

“Kantor yang mana, Bang?” Aku tersenyum tepat di bingkai pintu yang membuat Bang Teguh mengernyitkan dahi.

“Kantor yang mana apanya? Kantor Abang lah!”

“Oh, bisa ya, Bang ... masuk setengah hari begini? Dari siang sampai pagi, ya?” ujarku lagi dengan intonasi mencela. “Bilang saja mau nginap di sana! Dasar tukang bohong!”

“Iya, sampai pagi karena harus gantiin temen. Bagi duit, Gin! Duit Abang habis buat biaya rumah sakit Ibu,” pintanya seraya mengulurkan tangan. Entah kemana rasa malunya dia buang, hingga Bang Teguh dengan mudahnya menadah, menunggu pemberian dari istrinya.

“Bang Teguh minta aku? Kenapa? Kan baru gajian?”

“Apaan, sih? Kok kamu jadi pelit begini? Kalau enggak mau kasih ya udah, nggak usah pakai acaranya nyinyir!” pungkasnya dengan nada tinggi. Bang Teguh terlihat marah dan tersinggung, dikepalnya tangan yang di dalamnya berisi kunci mobil Jazz milikku.

Segera, kualihkan pembicaraan, “Bang, kuncinya sinikan!” Giliranku yang mengulurkan tangan.

“Apalagi sih? Abang mau ke kantor, masa pakai motor? Malu! Semua orang kantor sudah tahu kalau istri Abang pengusaha sukses.” Bang Teguh menunjuk sembarang arah, suaranya naik dua oktaf yang menandakan dirinya tidak setuju denganku.

“Aku mau bawa ke gudang, buat dipakai karyawan mulai hari ini. Mereka kesusahan bolak-balik ke distributor pakai motor! Mereka lebih butuh daripada Abang yang hanya buat pamer doang,” serangku lagi. Dadaku naik turun, kembang-kempis karena menentang suamiku sendiri. Tapi, apa boleh jadi, semua rasa percaya dan kebaikanku dibalasnya dengan pengkhianatan seluas ini.

Tidak cukup jarang memberiku nafkah, lebih berpihak pada ibu mertua dan senang pamer harta, kini Bang Teguh menodai pernikahan kami dengan menikah lagi. Dan busuknya, ibu mertua terlibat di dalamnya.

“Gila! Enggak bisa gitu, Gin! Ini mobil kan sering Abang yang pakek, milik Abang. Kenapa tiba-tiba mau kamu bawa ke gudang?” Bang Teguh segera menyimpan kunci mobilku di saku. Dengan keras dan jelas, dia menolak mengembalikan kuda besi itu. Tapi aku, lebih tidak sudi jika hasil kerigatku digunakannya bersama wanita dengan panggilan Adinda. Segala hal yang kuperoleh saat ini, sudah dititipkan Rabbi sebelum kami menikah, jadi Bang Teguh atau pun ibu mertua tidak berhak mengatur diriku sejauh itu.

“Mobil Abang? Maaf, Bang ... semuanya aku beli pakai uang sendiri. Bahkan kebutuhan harian di rumah ini seringnya aku yang menanggung. Kalau menurut Abang itu mobil punya Abang, coba sebutkan berapa kontribusinya? Berapa uang Abang yang keluar untuk beli? Bayar pajak dan perawatan?” Aku mengatur poin-poin utamanya di depan Bang Teguh.

Pertiakaian kami rupanya mengundang perhatian dari ibu mertua yang baru saja berleha-leha di kamarnya. Wanita paruh baya itu, berdiri tegak di ambang pintu, menatap kami dengan sorot mata elang.

“Kembalikan, Bang! Aku mau mobilku!” tegasku dengan pandangan yang menantang Bang Teguh.

“Kembalikan saja, Guh! Memang istrimu sudah enggak waras. Harusnya kamu ceraikan saja dia biar hidup kita bebas dari orang nggak punya perasaan kayak dia!” cela ibu mertua.

“Oh ... cerai? Oke, ayuk!” sambutku dengan senyum yang lebih cerah. Sedang Bang Teguh, terdiam cukup lama. Wajahnya yang semula dipenuhi kemarahan berubah pucat, seolah-olah tidak siap jika gudang uangnya berpisah darinya.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Baharudin Haris
capek deh di potong potong
goodnovel comment avatar
Petronela Masi
kisah ini seperti terjadi di kehidupan ku.rasanya sakit banget kita cuma di manfaatin untuk kepentingan mereka sekeluarga
goodnovel comment avatar
Yumnamarwa
lanjutannya dong thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status