“Abang mau cerai?” tantangku sekali lagi.
Kutahan sekuat hati selaksa air mata yang mulai membentuk di pelupuk. Tidak boleh sekalipun beningnya jatuh untuk Bang Teguh dan ibu mertua yang dengan mudahnya menoreh luka di batinku.
“Eh .. siapa yang mau cerai, Gin!”
“Itu, ibu ngomongnya gitu!” sambutku seraya mendelikkan mata dengan sengaja ke arah ibu mertua.
“Bu ... Ibu ngomong apa, sih? Siapa yang mau bercerai?” Bang Teguh ikut melirik ibu mertua.
Aku tersenyum tipis agar tidak terlalu kentara, kemudian memicingkan mata demi melihat sepuasnya perubahan raut wajah dari ibu mertua yang ditentang oleh putra kesayangannya. Inilah Bang Teguh yang sesungguhnya, demi menghindar dari perceraian yang memberinya kerugian, dia lebih memilih menbantah ibu mertua dibandingkan sebelumnya.
“Abang pakai mobilnya, ya? Panas banget Gin.” Bang Teguh kembali mengemis. Aku muntab, lantas
“Maksudnya apa, Bu?” Aku menatap ibu mertua dengan sorot mata bingung.Wanita paruh baya itu menyunggingkan bibirnya, mungkin merasa malas saat mendengar suaraku.“Apa ini, Nit? Kwitansi apa ini?” tanyaku pada Nita seraya berharap wanita itu akan memberiku penjelasan. Meski demikian, Nita menggeleng, lantas menundukkan wajah. “Nita nggak tahu, Mbak.”“Ini, semuanya hutang-hutang Teguh, Mbak! Saya mau dibayar sekarang karena jatuh temponya udah terlalu lama. Gimana ini, saya juga butuh uang, masa sudah berbulan-bulan enggak balik uang saya?” jelas pria berkulit legam.Aku yang baru saja mendapatk an jawaban atas alasan dari kehadirannya lantas membelalakkan mata kembali. Kemudian, memandangi satu per satu lembar kehijauan yang dibubuhi tanda tangan milik Bang Teguh. Jumlah yang tertulis di atasnya tidak main-main, dan jika ditotal maka mencapai tiga puluh juta rupiah.“Saya berani pinjamin
Aku menunggu sejenak di depan rumah asing yang didatangi Bang Teguh, memperhatikan dari dalam mobil dengan jarak aman demi mengetahui pemilik dari hunian mencurigakan itu. Jika memang itu rumah Adinda bersama suamiku, lantas kenapa halamannya tidak terurus? Bahkan lebih cocok disebut berantakan bak diterjang badai sungguhan. Selang beberapa lama, motor lainnya datang. Dua pengendara yang berboncengan di atasnya ikut masuk ke rumah itu. Pintunya tertutup rapat, namun saat ada yang mengetuk, maka segera terbuka seolah-olah ada sistem otomatis yang mampu mendeteksi kehadiran seseorang. Aku menanti lagi dengan sabar, hingga siang berganti jadi sore tanpa memindahkan pandanganku meski hanya sedetik ke pintu rumah itu. Apa yang dua orang tadi dan Bang Teguh lakukan di sana? Kenapa hawanya jadi semakin mencurigakan? Di tengah kekalutan itu, satu motor lain menyusul. Sama seperti Bang Teguh dan dua orang setelahnya, pengendaranya segera masuk dengan langkah penuh per
Bang Teguh yang baru saja pulang menatapku kaget. Tatapannya matanya yang semula tersenyum jadi bulat besar. Kebingungan seakan menyelimuti pria itu, hingga tidak mampu beranjak dari ambang pintu.“Masuk, Bang ... pintunya ditutup, dong!” paparku lagi dengan senyum yang menyiratkan banyak makna.Aku sudah tidak mau lagi bertahan dengan pria ini dan keluarganya. Segala dusta yang telah mereka berikan, sudah cukup sebagai alasan untukku segera angkat kaki dari sini, melepaskan diri dari belenggu yang terus menjerat tanpa akhir.“Ka-kamu kenapa, sih? Makin hari makin aneh?” balas Bang Teguh seraya mendekatiku.Pria itu mengulurkan tangannya, hendak membelai wajahku. Tetapi aku, lebih dulu bergeser dan menjauh. Kutatap dia dengan pandangan tak suka, memberinya kejelasan jika aku tidak sudi disentuh olehnya, apalagi dengan tangan yang baru saja mencetak banyak noda dan dosa di rumah misterius tadi.“Gin!” Bang Teguh t
“Mbak, tinggal di sini, Nita mohon ....” Rintihan Nita semakin keras di sore yang menggelap ini.Rupanya, matahari sudah tenggelam, dan bulan mulai mengintip malu-malu.“Mbak, Mbak tega ninggalin Nita?” Isak tangis Nita kian mengeras meski malam mulai datang. Aku khawatir jika apa yang dilakukan oleh Nita akan membuat tetangga bertanya-tanya, kapan rumah ini bisa tenang dan bebas dari masalah.“Mbak harus pergi, Nit. Sudah tidak ada alasan lagi untuk tetap di sini,” jelasku pada Nita. Sama seperti sebelumnya, Nita keberatan, pelukannya menjadi semakin erat.Aku membuka pelan dekapan wanita itu, lantas menundukkan sedikit wajah demi menatap parasnya yang telah basah. Ada sekelebat rasa syukur yang melintas saat sadar jika di bawah atap yang dihuni oleh orang-orang berhati jahat ini, masih ada satu hati suci nan putih yang kian bersemi. Seandainya saja, wanita ini bisa kubawa pergi dari sini ....“Mbak, nanti
Aku mengemudi hampir satu jam lamanya di jalanan sendirian, tidak pernah terasa begitu kesepian seperti ini, karena aku menyadari mulai detik ini hidupku akan sendiri lagi. Tidak akan ada lagi suami yang bisa kujadikan sandaran hidup atau keluarga tempatku pulang, yang tersisa hanyalah diriku sendiri.Tapi tidaklah mengapa, lebih baik begini daripada harus selalu makan hati. Suami yang seharusnya menjadi pelindung, memberiku nafkah serta menyayangiku tidak pernah melakukan semua itu. Segala hal yang terjadi malah sebaliknya, dimana aku yang menjadi tameng untuknya dan keluarganya, mereka senang menerima nafkah dariku serta membenciku saat keinginan mereka tidak terpenuhi.Sepanjang perjalana ini kuusap lagi air mata yang terus mencuri celah, lalu memdekte diriku jika Bang Teguh dan keluarganya tidak pantas untuk ditangisi sama sekali. Mereka sudah memberiku luka sedalam ini, menghina dan menertawakan nasibku yang baru menikah di usia tiga puluh tahun. Padahal mereka se
“Sejak kapan kamu begini, An?” Aku berucap seraya menahan deraian air mata.Sudah tiga puluh menit berlalu, Anha juga telah bersuci dan memakai pakaian tidurnya yang bermotif beruang coklat dengan dasar merah muda. Seprei dari kasurnya sudah diganti, termasuk sarung bantal dan guling karena malam ini aku yang akan menemaninya.“Kenapa, Anha? Harusnya kamu mencariku ....” Linangan air mataku kian menjadi hingga kalimat itu menjadi terhenti. Begitu banyak permasalahan yang menumpuk di pundak hingga aku tidak lagi tahu alasan kenapa tangis ini tidak mau berhenti.“Aku putus asa, Gin. Aku mencari pekerjaan ke sana ke mari dengan modal ijazah SMA. Mencari pelayan di kafe saja aku tidak terima, Gin!” kisahnya. Anha menahan perasaannya sendiri, hingga setiap kali dia berbicara suaranya yang terdengar sengau dan sedih.“Aku juga tidak mau begini awalnya, Gin. Tapi aku dijebak orang, hingga akhirnya mulai menikmati jalan b
Pagi ini sesuai dengan kesepakatanku bersama Anha semalam, begitu jam bertengger di angka setengah enam pagi, aku dan gadis itu bergerak dengan mobil jazzku menuju gudang lebih dulu. Niat hati dengan sengaja untuk menukar mobil mungil ini dengan Range Roverku yang gagah perkasa terlebih dulu.Jarak rumah Anha tidak terlalu jauh, karena itulah kami tiba tidak lama kemudian dan mendapati dua pekerja lelaki yang tinggal di gudang baru selesai berolahraga. Keduanya menatap heran padaku dan Anha yang nongol di depan gerbang, padahal jam kerja masih sangat jauh untuk dimulai.Salah satu dari keduanya segera membuka gerbang selebar mungkin, memberi jalan untukku membawa mobil mungil itu ke garasi gudang yang luasnya bisa diisi oleh tiga mobil berukuran besar. Baik aku dan Anha, turun setelah mesin mobil kumatikan, kami berdua tersenyum senang pagi ini karena membayangkan rencana yang berjalan dengan mulus nantinya.“Bu?” Pria muda itu, lulusan salah satu ka
“Apa, Bu ... kenapa teriak pagi-pagi?”Aku mengintip dari balik jendela mobil, dua anak-beranak yang mungkin baru saja bangun pagi itu sudah keluar dari dalam rumah. Sama halnya dengan ibu mertua yang terperanjat terhadap si gagah, kedua mata Bang Teguh juga membulat saat melihat mobil yang serupa dengan impiannya itu berdiri megah di garasi.Aku segera beristigfar di dalam hati saat bongkahan kecil itu menaruh bahagia atas apa yang kulihat sekarang. Perilaku tidak pantas untuk pamer di depan keluarga Bang Teguh yang matre ini tidak seharusnya kulakukan, tapi entah kenapa aku malah menuruti bisik dari iblis dan akhirnya membawa si gagah ke rumah ini.“Enggak tahu, Bu ... mobil siapa ini masuk ke rumah kita? Mobil bagus ini, Bu ... mahal juga! Si Gina enggak akan sanggup beli,” sahut Bang Teguh yang ternyata membuat Anha terkikik.Aku segera keluar dari persembunyian karena tidak sanggup mendengar pria itu menjelekkanku, lalu menemu