Share

4. Masih Ingat Aku?

Sahara masuk ruangan dengan pakaian utuh di tubuhnya. Walau tetap sangat minim, setidaknya wanita muda itu tak lagi telanjang bulat seperti di panggung tadi.

Rok pendek berkilap dengan butiran manik yang ukurannya hanya sejengkal menutupi bagian bawah tubuhnya. Sedangkan bagian atas, dadanya juga tertutup semacam bra bercorak senada. Gemerlap dan memiliki asesoris mengkilap di bawah minimnya cahaya ruangan.

Dan sepertinya, itu adalah seragam yang diberikan club. Karena Inke masuk dengan pakaian yang nyaris serupa. Hanya berbeda model sedikit.

Inke masuk ke ruangan dengan tatapan antusias dan tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Tapi, ketika melihat Roy memandang Sahara terus menerus, Inke mengurangi senyum di wajahnya.

“Seperti biasa, Miss?” tanya Sahara pada Nancy.

“Tunggu instruksi, Ra.” Nancy merapatkan giginya. Kesal kenapa dari sekian banyak gadis penari, tamu di sebelahnya malah memilih gadis keras kepala seperti Sahara.

“Oh, oke.” Sahara menjawab pelan sekali. Dia berdiri dengan kedua tangannya menyatu di depan.

Roy mengalihkan tatapannya pada Inke. Rambut lurus hitam legam dengan kulit kuning langsat dan tingginya hanya sebatas telinga Sahara. Pinggul dan pahanya menarik perhatian Roy selama penampilan gadis itu di pentas. Terutama keberaniannya.

“Yang ini namanya Inke. Cukup berpengalaman,” tukas Nancy, mengangkat gelas dan menyesap cocktail-nya.

Roy mencoba menatap mata Inke lebih lama. Dan seperti wanita lain yang pernah dia temui, Inke memberinya isyarat khusus. Gadis penari itu mengigit bibir bawahnya dengan gesture menggoda. Tak ada bedanya, pikir Roy.

Lalu, Roy memindahkan tatapannya pada wanita berambut sebahu. Wanita muda yang dicarinya.

“Nama kamu siapa?” tanya Roy dengan suaranya yang dalam. Suara yang belasan tahun ini jarang ia gunakan untuk berbasa-basi dengan wanita.

“Sahara,” ucap wanita itu, menatap tajam ke arah Roy.

Roy memakukan pandangannya pada Sahara. Menatap wanita muda itu dari atas ke bawah tanpa menggerakkan kepalanya sedikit pun. Sahara terlihat gelisah. Memindahkan tumpuan kakinya berkali-kali, dan menunduk untuk mengecek pakaiannya yang minim. Wanita itu mengartikan bahwa Roy melihat hal yang salah dengan tampilannya.

“Maaf, ada yang salah?” tanya Sahara akhirnya. Wajahnya terlihat kesal karena Roy terus memandanginya.

“Rara,” tegur Nancy, merapatkan mulutnya memandang tajam pada Sahara.

Roy menarik senyum tipis di bibirnya. Ternyata gadis kecil pemberani itu tak berubah. Roy menoleh pada Nancy yang duduk berjarak semeter darinya. Dia tahu benar saat ini Sahara mati-matian mengumpulkan uang untuk membayar biaya pengobatan pengasuh yang merawatnya bagai anak sendiri sejak kecil. Roy tak menyangka ada sifat belas kasih yang mengalir dalam keturunan keluarga Spencer. Karena Sahara bisa saja meninggalkan wanita itu dan hidup bebas memikirkan dirinya sendiri. Gadis penari di depannya itu, tak perlu balas budi.

“Anda bisa meninggalkan saya sendirian,” ucap Roy setengah memerintah pada Nancy.

Nancy sedikit terkejut mendengar perkataan Roy. Biasanya tamu akan memintanya berada di ruangan lebih lama untuk ditemani minum sambil menonton pertunjukan yang lebih privat. Dia kembali mengangkat gelas cocktail dan meneguknya sedikit lebih banyak.

“Baiklah, aku permisi. Selamat menikmati pertunjukan. Gadis-gadisku pasti apa yang harus mereka lakukan.” Nancy bangkit dan memutari meja kecil di depannya. Dia mengedipkan mata saat sekilas memandang Inke, lalu meninggalkan ruangan.

“Maaf, Anda mau kami langsung memulai?” tanya Inke.

Roy mengangguk.

Inke melirik Sahara yang berdiri di sebelah dinding dengan telepon ekstensi. Mengerti dengan hal yang dimaksudkan rekannya, Sahara mengangkat telepon dan menghubungi operator. Satu menit setelah Sahara meletakkan telepon, lagu Boy Toy yang dinyanyikan Marisa Maino mengalun di ruangan temaram.

Musik itu tak menghentak seperti di ruang pertunjukan utama tadi. Penyanyi wanita yang mendesah dan lirik lagu yang penuh arti, cukup merepresentasikan akan sesensual apa tarian dua gadis itu.

Kesan tak menyukai apa yang dilakukannya, terlihat di kilatan mata Sahara saat gadis itu menatap Roy. Meski begitu, Sahara tetap profesional. Gadis itu sudah bergerak ke tengah, mencengkeram tiang besi yang dilakukan tiap penari jika mengadakan pertunjukan utama. Sahara sudah meliuk mengikuti musik.

Lantunan musik baru satu menit, Inke sudah mulai meraba pengait penutup dadanya. Saat berhasil melepaskan atasannya, Inke mencampakkan potongan pakaian itu ke pangkuan Roy. Inke mendekap tiang besi dan menggesekkan dadanya di sana.

Sahara melirik Inke yang lebih agresif dari biasanya. Sepertinya seniornya itu menyukai pria yang duduk menyilangkan kaki di depan mereka. Sahara mengenali pria yang saat pertunjukan di ruang utama tadi duduk di barisan terdepan bersama seorang pria lain.

Pria yang tampan dan penuh kharisma. Tapi, Sahara tak menyukai caranya memandang. Terlalu dingin dan penuh ancaman. Sorot mata pria yang tak bisa dipercaya.  Lagi-lagi, pria kaya yang membiarkan anak-istrinya di rumah demi bisa menikmati hiburan melihat wanita telanjang. Walau kaya dan tampan, sikap seorang gentleman tetap amat penting baginya.

“Kamu,” ucap Roy, menunjuk Inke. “Ke sini! Saya mau kamu melayani dari dekat. Dan bilang ke rekanmu, jangan mengulur waktu untuk melepaskan pakaiannya. Saya sudah membayar sangat mahal untuk ini,” ketus Roy.

To Be Continued

Komen (33)
goodnovel comment avatar
Wijayanti Yanti
kak jussss
goodnovel comment avatar
Mawar Aryanti
udah panas dingin.kwkwwkw
goodnovel comment avatar
Siti Alfiah
waow bgt, dewasa bgt ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status