Share

1. Tujuan

2021-Sydney, Australia.

"Mommy."

"Mommy."

"Hello, Mom? Mom...can you hear me?"

Lily Berna Samanta, gadis itu berteriak hampir putus asa sembari menuruni anak tangga, bersama bola basket tergapit antara pinggang dan tangan kirinya. "Mom? Mom, where are you?" panggilnya lagi.

Tidak seperti biasanya ibunya itu belum bangun dari tidurnya. Huh. Tangan kanannya menaruh ujung papan skateboard yang sedari tadi ia bawa untuk disandarkan di kursi makan.

"Ya Tuhan. Mommy dimana?" teriaknya lagi.

Lily sangat yakin jika saat ini rumahnya bak sarang hantu tanpa penghuni makhluk hidup. Biarlah ia menyebutnya seperti itu. Tapi pemandangan di depannya begitu jelas terlihat. Tidak ada kehidupan, bahkan lampu gantung yang tiap Lily bangun dari tidur sudah menyala di ruang tengah saja tak mengeluarkan sedikit cahaya. Hanya lampu kecil yang menempel di tembok menjadi penerang, remang-remang.

Praktis Lily mengerutkan kening saat mata bulat sedikit lebar miliknya melihat kearah jendela dengan gorden menjuntai panjang kebawah, sedikit bergoyang karena tertiup angin, artinya, jendela tidak tertutup dengan baik.

Tapi bukan itu intinya. "Belum begitu terang," Lily berbicara pelan.

Satu kenyataan muncul menyadarkan. Sedetik kemudian, Lily menepuk jidatnya sebab benda bulat yang menggantung di dinding menunjukkan pukul lima pagi. "Pantas saja, pasti Mommy belum bangun."

Suara knop pintu terdengar lirih saat tangan mungil gadis berusia hampir delapan tahun itu mencoba untuk memutarnya. Dibalik sana, terdapat sesosok wanita terlentang secara tidak manusiawi di atas ranjang, sungguh memalukan mengingat usianya yang beberapa tahun lagi akan menuju kepala tiga.

Lily menggeleng pelan setelah mengetahui bentukan tidur ibunya, gadis cilik berbalutkan kaos longgar itu perlahan memasuki kamar, mencoba untuk naik ranjang setelah melepaskan sepatu snakers miliknya yang akan dipakainya saat olahraga setelah ini.

"Mommy." gadis pemilik kulit tan itu menggoyangkan tubuh milik ibunya—Rose Alyne Everleight.

Tak ada respon.

Perlahan dengan gerak begitu lamban, Lily mencoba untuk menelungsup di balik selimut ikut tenggelam bersama ibunya dibawah sana.

"Eeeuuugh." Rose yang belum sadar penuh itu melenguh, merasa ada yang mengganggu namun, sudah jelas dan sangat tahu siapa pelakunya, sontak saja dengan gerakan pelan, wanita cantik itu merengkuh putri semata wayangnya.

"Mom, Lily rindu Daddy, kapan Daddy pulang?"

Rose membuka matanya, mengulas senyuman sebentar, "Nanti sore sweetheart, besok kita 'kan harus berangkat ke Jakarta."

"Yaaay, benarkah? Apa Daddy akan pulang sungguhan?" Mata Lily sampai berbinar saking senangnya.

Rose memilih diam dan hanya mengangguk semangat sebagai jawaban, yang sudah pasti membuat buah hatinya sunguh luar biasa senang.

"Semoga Daddy tidak melupakan skateboard pesananku."

Ya Tuhan.

Rose baru ingat bahwa putri kesayangnnya itu selalu punya maksud tertentu dalam percakapan di pagi hari. Kenapa bisa ia sampai lupa begini.

Tapi tunggu.

Rose mengendus tubuh Lily. "Adek sepagi ini wangi sekali." Wanita itu juga memindai penampilan putrinya. "Sudah rapi, mau kemana?" tanyanya kemudian.

"Mau bermain basket dan skateboard, Mom," jawabnya lugu.

"Harus pagi-pagi sekali ya?"

"Ayolah Mom, hari ini hari terakhirku di Negara ini, berikan aku kesempatan untuk mengucapkan perpisahan kepada club basket dan skeatboard, ya?" pintanya memelas terlebih memohon.

Lily bukanlah tipe gadis yang akan seenak jidatnya keluar rumah tanpa persetujuan dari orang tua, kecuali urusan yang sangat mendesak saja.

"Iya sweetheart, Mommy ijinin, apa sih yang enggak untuk Lily."

Jawaban Rose disambut dengan binaran mata Lily yang tampak berkilau.

Bahagia.

Hanya begitu saja membuat Lily bahagia.

***

"Daddy." Suara memekik tak tahu malu itu keluar setelah matanya menyorot pintu yang terbuka menamplkan sosok pria menawan yang disebutnya sebagai daddy oleh Lily.

Sontak saja bersamaan dengan teriakannya, Lily berlari sampai terburu menghampiri ayahnya. Sedangkan Jeffry tak kalah senang saat menagkap antusias Lily yang tiba-tiba meloncat minta dipeluk olehnya.

"Astaga, kangen Daddy ternyata," sapaan pertama keluar dari mulut Jeffry beserta membawa torsonya masuk lebih ke dalam rumah. Tidak lupa juga dengan Lily yang tetap berada digendongannya.

"Dek, ayok turun, Daddy baru saja datang, nanti Daddy kelelahan," pinta Rose pada Lily saat melihat raut letih Jeffry.

Jeffry menggelengkan kepalanya. "Sudah, tidak apa-apa, aku juga kangen ingin memeluk Lily," tolaknya.

"Daddy," panggil Lily lirih.

"Hm, ada apa sayang?"

Tangan mungil Lily menggantung di leher Jeffry. Matanya berpendar mencoba mempertahankan cairan yang akan merembes keluar. "Daddy harus janji. Daddy tidak boleh meninggalkan Lily," pintanya pilu.

Mencoba untuk kokoh, tapi, nyatanya cairan bening itu lolos begitu saja. Lily semakin mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher ayahnya, ada isakan tertahan didalamnya, terlihat sangat menyedihkan.

Jeffry dan Rose terpaku ditempat, menyimpan beribu kegelisahan akan permintaan tulus anaknya. Tidak biasanya Lily seperti ini, gadis itu terkenal ceria dan jarang menangis, bahkan dalam satu tahun bisa dihitung dengan jari berapa kali dia akan rela mengeluarkan air mata berharganya.

Jeffry tidak tega mendengar isakan Lily, ditambah pundak gadis itu sampai naik turun seperti ini. Tangan pria itu memberikan usapan halus pada surai coklat milik gadis di pelukan. "Hei, sayang, coba lihat mata Daddy," pintanya.

Perlahan Lily mendongak, menyatukan tatapannya tepat dikedua netra Jeffry yang masih diiringi dengan isakan dan bibir menyibik karena tangisan—sungguh mengemaskan.

Jeffry mengulas sebuah senyuman benar-benar tulus.

"Daddy janji, apapun keinginan Lily mutlak untuk Daddy turuti, jadi Lily tidak usah kawatir, Lily selalu ada disini." Pria itu menepuk dadanya diakhir kalimat.

Cairan bening juga tiba-tiba lolos di pipi Jeffry, betapa dirinya sangat menyayangi Lily. Kecupan dibubuhkan olehnya tepat dikening Lily, yang mampu dengan mudah menenangkan gadis itu.

Pemandangan mengharukan itu tak luput disaksikan oleh Rose juga, hingga ia harus sesegera mungkin memalingkan tubuhnya menghadap arah lain. Menghalau kepedihan yang tiba-tiba memunculkan memori lama, mencoba untuk menahan air mata namun, pedih tetap mendera, tidak bisa, Rose meremat baju yang tepat melapisi bagian dada, seolah mencegah sesak yang muncul secara bersamaan dan membabi buta.

Lily melihat punggung ibunya yang sedang gemetar menangis dalam diam. Tatapan gadis kecil itu tak dapat terartikan, menyimpan beribu rahasia yang membuatnya harus bungkam dengan kenyataan.

"Terimakasih Daddy," Lily menjeda kalimatnya. Gadis itu mencoba untuk menghapus asal cairan yang membasahi pipi gembilnya menggunakan kedua punggung tangan, kemudian, sedikit memberontak meminta untuk diturunkan.

Kedua telapak tangan Lily saling berpangku menggantung kedepan dihadapan Jeffry lalu ia berkata, "Daddy tidak lupa dengan skateboard pesananku 'kan?" tanyanya polos dengan cengiran menggelikan.

Tak ayak mengundang tawa untuk Jeffry, hingga Rose yang mendengar ikut menciptakan lengkungan bibir ke atas. Tanpa ragu, langsung saja wanita itu menghapus air mata dan melangkah mendekati belahan jiwanya.

"Duh, kau ini," gemas Rose diakhiri dengan mengecup pipi Lily berkali-kali hingga gadis kecil itu terkikik karena geli.

***

2021-Jakarta, Indonesia

Angin sore Jakarta yang semilir sejuk memasuki celah jendela mobil yang sengaja dibuka sedikit oleh Lily. Nuansa baru dari jalanan kota tak jauh berbeda dengan Australia, sama-sama memiliki gedung tinggi dan papan billboard besar terpajang di sepanjang bangunan.

Udara negara Indonesia tidak sama dengan Australia. Lily merasakannya, ada sedikit lega jika Negara ini tak memiliki musim dingin ataupun salju yang akan membekukan jalanan. Jujur Lily tidak suka dingin, tubuhnya secara rela menolak.

"Daddy, Mommy, apa boleh Lily memilih sendiri dimana Lily nanti bersekolah?" tanyanya kepada Jeffry yang menjadi kendali kemudi serta Rose yang berada di jok sampingnya.

Lily sedikit berlagak sok tahu mana sekolah yang bagus untuk menjadi tempat menempuh pendidikannya, seketika Jeffry dan Rose menyunggingkan sebuah senyuman. Biarkan saja, terserah putrinya, Lily memang terbiasa dengan hal seperti itu, mengajukan penawaran.

"Oke, tapi coba adek sebutin dulu mana sekolah yang adek inginkan, nanti Daddy sama Mommy akan rundingkan, deal?" Rose memilih untuk menuruti namun mengajak berdiskusi juga, sekaligus mengajarkan Lily menjadi anak yang tidak manja yang selalu dan harus dituruti keinginannya.

"Lily ingin sekolah di Jakarta Revolution Elementary School," ucapnya girang, namun semangatnya lebih mendominasinya.

Langsung saja Jeffry dan Rose saling memandang dengan kerutan di dahi mereka yang muncul bersamaan oleh sebab penasaran. Keduanya mencoba mencari jawaban atas permintaan anaknya yang diluar dugaan.

"Adek, Mommy mau tanya deh. Bagaimana adek bisa tau tentang sekolahan itu?"

Wajar bukan sebagai Rose yang tidak pernah mengajak Lily untuk menginjakkan kaki di Negara ini dibuat kebingungan dan penasaran, pasalnya darimana anaknya itu tahu menahu tentang sekolahan SD di Indonesia, pun cara pengucapan dan pelafalan begitu fasih, seperti sudah terencana dan menjadi incaran.

"Ayolah Mom, di Australia akses internet sangat lancar. Sudah cukup jelas bukan, Lily mencari informasi dimana sekolahan terbagus seantero Indonesia, sekolah itu salah satunya, dan poin pentingnya lagi, letaknya begitu strategis mom, dekat sekali dengan rumah sakit Everleight, Lily bisa main ke rumah sakit sepulang sekolah, sambil menunggu mommy pulang kerja," jawab Lily menggebu.

Ya Tuhan, Rose praktis menjatuhkan rahang. Kenapa disini Rose yang justru terlihat bodoh dengan melupakan tingkat kecerdasan anaknya sendiri, wanita itu jadi malu sendiri. Bahkan dirinya pula yang memberi akses bebas untuk Lily berselancar di dunia maya meski harus ia pantau setiap harinya, Rose harus menetapkan batasan yang mana yang boleh diakses dan tidak.

Baiklah. Karena alasan Lily sangat masuk di akal, maka Jeffry dan Rose saling melempar pandang, menunjukkan isyarat hingga ijinlah yang keluar dari keduanya. "Baiklah, Daddy dan Mommy setuju sayang," jawab final Jeffry.

Sekolah yang bisa dikatakan kelewat mahal itu bukanlah hal sulit bagi Jeffry dan Rose untuk masalah biaya. Bahkan, itu sangat mudah mengingat mereka termasuk orang yang sangat berkecukupan. Jeffry Ceo perusahaan mobil yang sukses di Australia bahkan ia bergelut di bidang otomotif lainnya, sedangkan Rose seorang dokter bedah, seperti yang dikatakan Lily tadi, bahkan ibunya akan bekerja dimana saja gadis itu sudah tahu. 

"Yaaaaay......" sontak saja Lily turun dari jok penumpang belakang, melonjak-lonjak kegirangan hingga mobil yang ditumpangi mereka bergoyang, begitu saja Lily sudah sangat bahagia.

Sign, Pee🍂

Comments (2)
goodnovel comment avatar
amaranisaa
Baguuus, Lily keknya lucu
goodnovel comment avatar
sayyidah ab
fiks, disini aja kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status