Share

4. Toleransi dingin

Vee sekarang sudah persis seperti pemandu wisata anak TK. Bagaiaman tidak, pria yang masih menggunakan setelan jas kantor itu sangat pusing sebelum sampai di tempat ini. Untuk menentukan tempat makan es krim saja membutuhkan waktu begitu lama, harus melewati sidang meja bundar dengan peserta tiga orang, minus Lily karena gadis itu tidak tahu apa-apa tentang Jakarta.

Alhasil, keputusan ditangan Vee, mutlak sampai ke empat bokong mereka duduk saling berhadapan di meja kedai es krim di tengah kota ini.

Meski sedikit pening, Vee tidak berbohong jika ia sangat senang. Keinginan Vee dari dulu memang ingin punya anak banyak. Bahkan, dia pernah sangat lantang membicarakan keinginannya ini pada kekasihnya waktu dulu.

Sayang, aku ingin punya anak lima. Bak memori terulang kembali yang berhasil menoreh luka lama, Vee akhirnya segera menghapus bayangan masa lalunya, diganti dengan menatap satu persatu para kurcaci yang berada di depannya.

Vee hanya berandai-andai setiap harinya diisi oleh para malaikat kecil seperti ini di istana megah miliknya. Tapi nyatanya Vee sekarang hanya punya satu anak, dan sama sekali tidak ingin memberikan adik untuk putri semata wayangnya.

"Papa, Rachel mau ice cream rasa strawberry dengan bentuk bunga mawar."

"Om, Sean pesan rasa green tea ya."

"Uncle, Lily mau rasa original chocolate."

"Sudah cukup, itu saja yang kalian pesan?" tanya Vee sembari memberi tawaran, ketiganya mengangguk serempak tanda menolak, sudah cukup.

Vee terkekeh, sudah tidak bisa dihitung lagi bagaimana bibir pria itu melengkung ke atas. Lagi-lagi Vee hanya menghela napas bahagia. Seandainya di dalam hidupnya memiliki kebahagiaan yang sempurna. Tapi sayangnya rasa lelah akan memiliki kebahagiaan itu merenggutnya secara perlahan, hanya menyisakan sakit yang hanya perlu ditahan.

Vee bergegas memesan dan tidak lama kemudian membawa berbagai es krim sesuai pesanan.

"Tara, ini pesanan kalian."

Mata ketiga anak-anak itu berbinar secara bersamaan, dengan tidak sabarnya satu persatu tangan mungil mereka mulai mengambil es krim masing-masing. Sangat aneh, hari ini Jakarta cukup dingin dan mereka memilih mengguyur lambungnya dengan es krim.

Suara dentingan telepon mengusik indra rungu, si empu yang merasa terpanggil pun segera mengambil ponsel dari saku coat warna hitam miliknya.

"Hei!" Sean terpekik melihat nama pemanggil dari pinselnya. "Ini maksudmu meminjam ponsel milikku tadi siang?" tanyanya kemudian pada Lily dengan menunjukkan screen ponselnya, terlihat jelas siapa yang menelfon disana.

Tanggapan Lily hanya sebatas anggukan, cuek, datar, lalu mengisyaratkan Sean untuk cepat mengangkat telfonnya.

"Hello, Mommy Auntie," jawab Sean setelah menggeser tanda hijau di ponselnya lalu menempelkan benda itu di daun telinganya.

📞"Sekarang aunty sangat yakin ini kau, Sean."

Sean terkekeh menanggapi. "Iya Mommy Auntie, ini Sean," jelasnya.

📞"Tadi Lily mengirim mengirim pesan, katanya kalian bermain basket sebentar, apa sekarang sudah selesai, dimana Lily sekarang?"

Sean menangkap kekawatiran ibu Lily dari seberang sana, anak itu sedikit melirik ke arah Lily yang sedari tadi penasaran yang hanya menunjukan kedipan matanya berkali-kali.

"Lily sekarang bersamaku Mommy Auntie, kami sedang makan es kr,"

Sreeeet.

Lily tiba-tiba merebut ponsel milik Sean. "Hot chocolate Mommy, Lily sedang minum hot chocolate," ucapnya saat ponsel Sean sudah berada dikuasanya.

Ketiga orang saksi bisu di radar yang sama dengan Lily pun mengerutkan dahi secara kompak atas seuntaian kalimat kebohongan yang mengurai dari bibir imut milik gadis cilik berkepang kuda itu.

📞"Dek, Mommy tau kamu sedang berbohong."

Lily pun segera turun dari kursi, beranjak menuju tempat pemesanan ice cream. "Auntie, can i order one hot chocolate?"

"Tentu saja bisa sweety, tunggu di mejamu ya." Lily pun berlari kembali ke kursinya, gerakan kecilnya mampu membuat Vee untuk memberikan sedikit uluran bantuan kepada Lily untuk naik lagi di kursi yang nyatanya memang sedikit tinggi dari pinggangnya.

"Thank you Uncle." bisik Lily beserta menjauhkan ponsel dari telinganya.

Vee kembali ke tempatnya dengan senyum terpatri di wajahnya, tak ayak membuat putrinya Rachel sedikit cemburu—hal yang wajar bukan bila seorang ayah dekat dengan gadis kecil lain maka ia pasti akan sedikit tidak suka.

Lily berlanjut dengan ponsel yang harus ditempelkan lagi ditelinganya. "See, Mommy dengar 'kan, Lily minum hot chocolate." Sedikit terdengar kekehan dari Rose akan kelakuan gadis nakalnya itu—pintar berbohong.

📞"Baiklah, mau Mommy jemput kapan, dek?"

"Jangan," tolak Lily begitu cepat. "Suruh Pak Sam saja yang menyusul Lily kesini," pintanya melanjutkan.

📞"Kenapa tidak minta Daddy yang menyusul?"

Lily merasa tertohok akan pertanyaan yang di berikan ibunya, arah matanya mengedar kemana-mana, melihat Vee dan Rachel secara bergantian.

"Lily yakin sekali, Daddy pasti sangat sibuk, tadi pagi Lily denger Daddy telepon dengan Uncle Jack, mereka ada rapat sampai malam, maaf Mommy, Lily sedikit menguping tadi."

Lily selalu merasa bersalah apabila tidak sengaja mendengar pembicaraan orang yang lebih tua, Lily bisa saja bungkam, hanya saja Lily terpaksa untuk mengatakannya. Ada sedikit sesal di raut wajahnya.

📞"Baiklah, sebenarnya Mommy juga mau bilang, Mommy tidak bisa jemput Adek, ada operasi dadakan."

"Oke Mommy, semoga berhasil operasinya, Lily akan berdoa untuk keselamatan pasien, i love you more than i can release, Mom. Lily akan segera share locatoin."

Pip.

"Huuft!! Sean, ice cream musuh Mommy, apalagi hari ini dingin," marah Lily pada Sean hingga matanya melotot.

Sean hanya terkekeh, melihat Lily yang sedang ber api-api seperti ini sangat menyenangkan baginya, sama sekali tidak merasa bersalah, memang sejatinya dia lupa jika hari ini sangat dingin.

"Maaf, tidak sengaja."

"Kau ini selalu membuatku marah, untung aku masih memakannya sedikit, aku tidak membayangkan membohongi Mommy sebanyak tadi."

Lily sedikit menyesal telah membohongi ibunya, meskipun hanya makan sedikit, sama saja berbohong. Lily tidak mau mendustai ibunya lebih banyak, takut dosa katanya.

"Lily sangat takut pada ibunya, ya?" pertanyaan Rachel yang tiba-tiba mendarat.

Lily menoleh pada Rachel dan menetralkan amarahnya sebelum menjawab, "Sedikit, hanya saja tubuhku sedikit tidak bersahabat dengan cuaca dingin, Mommy selalu melarangku makan-makanan dingin di cuaca seperti ini," jelasnya.

Seperti sedang menyesal sembari menunggu pesanan hot chocolate datang, Lily menaruh kepalanya di kedua telapak tangan dengan siku yang menyandar di meja lalu bibirnya pun mengatup-ngatup lucu.

Lily merasa bosan dan menyesal tidak bisa menghabiskan ice cream yang sayangnya sudah ketahuan oleh ibunya, sekali lagi Lily melirik Sean dengan pelototan. 

"Apa?" Sean bertanya.

Lily mengabaikan Sean, sangat jengkel sekali dengan laki-laki itu. Sebenarnya Lily bisa saja menghabiskan es krimnya sekarang juga, toh ibunya tidak ada didepannya. Namun, Lily bukanlah gadis yang seperti itu, selagi belum ketahuan tidak apa-apa diteruskan.

Sean tidak terima di abaikan, lantas laki-laki itu menepuk kepala Lily. "Maaf. Tapi jangan diulangi lagi."

"Kamu yang salah, kenapa aku yang tidak boleh mengulangi lagi."

Sabar. Sean mengelus dada. "Maksudnya, saat cuaca dingin jangan sekali-kali makan es krim. Aku tidak mau mengaku salah, karena aku benar."

Lily menghela napas panjang. Menarik tipis kedua sudut bibirnya, lalu mengangguk. Gadis itu tidak cukup keras kepala. Ia tahu salah dan tak seharusnya marah kepada Sean. "Sorry." ungkapnya.

Sean tak pernah dibikin pusing oleh Lily. Gadis itu cukup bisa menempatkan diri. Tidak manja juga seperti anak perempuan lainnya. "It's ok."

Vee melihat interaksi dua teman yang baru di pertemukan oleh sebab jarak yang jauh itu dibuat kagum. Sean dan Lily, meskipun sering adu gontok, keduanya saling sayang, sangat jelas terlihat.

Tiba-tiba Vee punya ide. Sebagai orang tua dan ayah yang baik, Vee merasakan segelintir rasa bersalah pada Lily yang baru saja membohongi ibunya. Sangat benar sekali, hari ini sangat dingin, tidak seharusnya Vee membawa mereka ke tempat surganya pecinta es yang kelewat manis dan menggiyurkan ini.

"Anak bandel ya kamu." Vee sedikit bercanda pada Lily dengan mencubit pelan hidung gadis itu.

"Hihihihi, maaf Uncle." Lily tersenyum lebar sembari menegakkan tubuhnya, senyum inilah yang paling menyiratkan kebahagiaan di hari ini. 

Senyuman itu. Vee membatin sembari menahan jantungnya yang mendadak ingin meledak yang praktis membuat kepalanya berpaling kesamping, ia mencoba menggeleng-gelengkan kepala, yang kiranya bisa menepis bayangan menyakitkan yang tiba-tiba ikut datang. 

Vee berdehem sejenak sebelum menatap Lily lagi. "Karena Lily tidak boleh makan ice cream, punya Lily biar Uncle yang makan, ya?"

"Tapi itu bekasku Uncle, sedikit aku makan tadi."

Vee menggeleng. "Tidak masalah" jawabnya singkat sembari menggeser ice cream milik Lily untuk ditempatkan tepat di depannya.

Lily seperti melupakan sesuatu. "Sean aku pinjam ponselmu lagi, lupa kirim lokasi pada Mommy."

Sean pun mengulurkan ponsel miliknya, namun ditariknya lagi, Sean menunjukkan ekspresi yang sangat sulit ditebak, mungkin hanya Lily yang tahu maksudnya.

"What do you want, Se?" tanya Lily dengan tatapan datarnya.

"Marry me?" goda Sean sembari menaik-naikkan alisnya.

"Shut up, Sean!!" Lily melotot pada Sean. Baru saja berbaikan, Sean berulah lagi dan membuatnya geram.

Vee yang menyaksikan pertikaian kecil di depannya itu diam-diam menahan tawa, sangat menggemaskan. Bagaimana mungkin Sean yang dikenalnya acuh bisa bertingkah berbalik 360 derajat dengan menggoda seorang gadis. 

Jaeko telah membuatnya tumbuh dengan baik sepertinya.

Dibalik itu semua, tak ada yang menyadari mata Rachel berkaca-kaca dengan tangan mengepal mengakibatkan buku-buku jarinya memutih, entah apa yang di rasakan gadis cantik itu. Mungkin merasa posisinya telah direbut oleh Lily, baik di hadapan Sean maupun dihadapan ayahnya sendiri.

Lily pun segera merebut ponsel dari tangan Sean, segeralah dia mengirim lokasinya pada ibunya.

"Uncle bisa mengantar Lily sebenarnya," tawar Vee.

"No Uncle, tidak boleh," tolak Lily spontan dengan jari telunjuk bergoyang ke kanan dan ke kiri bergantian.

"Kenapa?" Sean pun ikut penasaran.

"Lily baru ingat, beberapa hari yang lalu, saat Mommy dan Daddy menonton berita, Lily seperti melihat Uncle dan Rachel berada di dalammya. Lalu Lily menghampiri Mommy dan Daddy, tapi Mommy segera mematikan saluran TV. Saat Lily bertanya 'kenapa tv-nya dimatikan' Daddy menjawab, 'orang yang baru saja ada di tv itu terlalu tampan, takut kalau Mommy jatuh cinta, terkadang Daddy dan Mommy itu terlalu konyol Uncle."

Lily menceritakan panjang kali lebar kali tinggi, Vee pun sempat tertawa agak terbahak mendengar kekonyolan keluarga gadis itu.

"Tadi 'kan Lily bilang sendiri, Mommy Lily sedang operasi dan Daddy Lily sedang rapat." Vee masih berusaha membujuk Lily dengan sisa tawanya.

"Tidak Uncle. Uncle itu terlalu terkenal, siapa tau Pak Sam bilang pada Mommy dan Daddy, bisa gawat, Daddy takut Mommy diculik orang tampan nantinya," lagi-lagi penjelasan Lily membuat Vee terbahak.

Yasudahlah, padahal Vee tidak ada niat sedikitpun menculik orang, apalagi menculik ibu Lily ini, Vee akhirnya menyerah untuk membujuk Lily, toh gadis itu juga sudah mengirim lokasi kepada ibunya.

Tapi tetap saja, Vee merasa bertanggung jawab untuk mengantar Lily pulang berkat janji dengan Jaeko yang sudah dibuat.

"Bagaimana kalau Lily batalkan saja, biar uncle yang mengantar pulang. Uncle sedikit memaksa. Bolehkah?"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
amaranisaa
So cuteeeeeeee
goodnovel comment avatar
Rara
Lily l, Sean super cute
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status