Share

6. Khawatir

Sepasang kaki kecil itu tidak hentinya mengulir kesana kemari di lantai dasar rumahnya, perasaan gelisah memang tidak bisa dipungkiri. Tangannya mengenggam sebuah ponsel, tapi matanya tak henti untuk sekedar mengalihkan pandangan dari layar komputer miliknya.

Lebih tepatnya dia menunggu balasan email dari seseorang yang seharian ini tidak bisa dihubunginya, sama sekali. Namun, satu, masih ada satu kesempatan yang belum ia digunakan, yaitu menelpon langsung, tapi untuk melakukan hal itu butuh kekuatan dan keberanian ekstra besar. 

"Jagoan apa yang kamu lakukan sedari pulang sekolah tadi?" tanya wanita yang sudah dipastikan adalah ibu dari jagoan itu. "Kamu juga belum memakan makanan yang sudah Mama siapkan."

"Sean sedang menghawatirkan Lily, Mama," jawabnya sepontan tanpa ragu dan malu.

Seharusnya untuk usia yang terbilang belum dewasa, tidak sewajarnya dia mengawatirkan seorang gadis. Tapi apa daya jika hati sudah berbicara, tidak bisa di hindari, jagoan yang ternyata Sean itu sangat perduli dengan Lily.

"Memangnya ada apa dengan Lily, Sean?"

"Kalau Sean tau, Sean tidak akan sebingung ini, Mama. Hari ini Lily tidak masuk sekolah, tidak ada surat izin, email dari Sean tidak dibalas, satupun tidak dibalas," jawab Sean putus asa dan sedikit menjelaskan dengan paksa mengenai sahabatnya.

"Kamu tidak mencoba untuk menelponnya?"

Sean memandang sebentar ponsel yang berada digenggamannya, sedari tadi dia sudah membuka kontak telepon milik ibu Lily, tapi masih ragu.

"Mama tahu sendiri 'kan, Lily tidak pernah menggunakan ponsel. Telepon rumah juga Sean tidak punya. Cuma ada nomor ini." Sean menunjukkan nomor ponsel milik ibu Lily.

"Sean, coba tenangkan dirimu. Bagaimana kalau kamu mencoba memberanikan diri untuk menelepon, setidaknya kamu akan lega."

Lala, ibu dari Sean itu khawatir, terlebih putranya itu belum menyentuh makanan yang sudah sedari tadi ia siapkan. Daripada menghabiskan waktu menggukir lantai dengan kakinya, bukankah lebih baik jika Sean langsung menelpon saja.

"Sean," panggil Lala lagi yang mendapati Sean masih berdiam sembari memandangi layar ponsel miliknya, ternyata Sean masih ragu.

"Biar Mama yang telepon, dengan melihatmu seperti ini, Mama juga sedikit kawatir pada Lily. Boleh Sean?" pinta Lala lembut agar Sean lebih tenang, walau sedikit.

Lala itu sangat kenal dengan Rose, beberapa kali kebetulan bertemu saat menjemput anak masing-masing setelah bermain basket bersama di Australia waktu dulu.

Sean hanya mengangguk pasrah. Dengan tersenyum, Lala menyalin nomer ponsel milik Rose pada ponsel miliknya, tak membutuhkan waktu lama, Lala pun langsung saja menelpon.

'Halo, La'

Rose menjawab dari seberang sana, suara Rose sangat lemah, Lala bisa sangat jelas mendengarnya.

"Rose, maaf mengganggu, aku ibu Sean," ucap Lala dengan mata yang beberapa kali melirik Sean waspada.

'Hei, Lala, kamu sedang berakting? Kenapa telepon? Eh, Lily datang'

'Mommy, bisakah Mommy tidak mengangkat telepon? Mommy masih sakit dan baru saja siuman'

Suara bentakan dan protes itu sudah dipastikan adalah milik Lily.

Lala tidak bisa menulikan indra pendengarannya, mendengar Rose sakit sangat mengejutkan baginya, apalagi mendengar kata—baru saja siuman—Lala berfirasat buruk.

'Sstt, adek diam dulu ya, ini Auntie Lala yang telepon'

Rose pun mencoba untuk menenangkan Lily dari amarahnya. Lily pun menurut setelah tahu siapa yang menelpon ibunya.

"Maaf Rose, apakah kau sakit saat ini?" Lala tidak dapat mengontrol rasa penasaran, terpaksa bertanya karena dilanda kekawatiran.

'Iya, La, tapi sudah tidak apa-apa sekarang, aku sudah baik-baik saja kok'

Lala adalah sahabat karib Rose yang sayangnya hubungan mereka harus disembunyikan dari siapapun atas permintaan Rose sendiri. 

Rose dan Lala berteman sejak kecil, namun saat umur sepuluh tahun, mereka harus berpisah karena Lala kembali ke Thailand—Negara kelahirannya. Keduanya kembali dipertemukan lagi tanpa sengaja tiga tahun yang lalu. Saat itu Lala yang menghabiskan liburan musim dingin bersama John Jaeko suaminya dan John Sean putranya di Australia—Rumah Nenek John yang satu komplek dengan rumah Rose.

Kebetulan yang luar biasa bukan?

Rose dan Lala bertemu saat sama-sama menjemput anak-anaknya di lapangan karena terlalu lama bermain basket sampai lupa waktu. Saat itulah keduanya saling melepas rindu, berhubungan sangat baik sampai sekarang, namun sangat dirahasiakan.

"Syukurlah kalau kau baik-baik saja, Rose. Sebenarnya Sean sangat kawatir pada Lily, karena Lily hari ini tidak masuk sekolah dengan tidak ada keterangan dan tidak membalas satupun email darinya."

Terdengar helaan nafas lembut dari balik telepon.

'Sebenarnya Lily sedikit terkejut melihatku sakit, dengan sangat terpaksa dia mengikutiku sampai Rumah Sakit, La. Sampaikan pada Sean dia baik-baik saja'

Rose menanggapi dengan suara yang tak begitu kuat.

Lala sedikit mendapatkan prasangka buruk. Curiga yang tiba-tiba mencuat diatas ubun-ubunnya membuat ia tidak begitu percaya jika Rose memang baik-baik saja. Mungkin nanti Lala harus memperingati Rose atas kepekaan dari dalam tubuhnya; Lala tidak mudah untuk dibohongi begitu saja.

Sean menarik-narik lengan ibunya, ingin berbicara sebentar pada Rose. Lala memberikan isyarat—tunggu—pada putranya dengan gerakan tangan melambai ke udara.

"Rose, Sean ingin berbicara padamu, apa boleh?"

'Tentu saja boleh, La'

Lala pun menyerahkan ponsel miliknya pada Sean. "Mommy Auntie baik-baik saja?" tanya Sean dengan nada kawatirnya.

'Mommy Auntie baik-baik saja, Sean'

Sean mengangguk. "Bolehkan Sean dan Mama mengunjungi Mommy Auntie?"

Sean melirik sebentar pada Lala atas permintaan spontannya pada Rose, seperti yang diharapkan, ibu Sean itu memberi anggukan dengan senyum teduh didalamnya—tanda setuju.

Ya, tentu saja Lala setuju, bahkan, jika Sean tidak memintapun, Lala sudah pasti akan menggebu menuju Rumah Sakit itu.

'Tentu saja boleh Sayang'

Mata Sean berbinar dengan terangnya. "Mommy Auntie dirawat di Rumah Sakit mana?" tanyanya antusias.

Lala yang berada disamping Sean sedikit lega melihat putranya yang sebelum ini lesu tak bernafsu yang terang membuatnya sedikit gelisah. Lala sangat tahu bagaimana pertemanan Sean dan Lily. Mereka berdua terlampau akrab hingga tak dapat terlepas satu sama lain. Apalagi Sean yang selalu meminta menghabiskan liburan ke Australia jika memiliki waktu luang, dan itu sangat wajib untuk dikabulkan. Beruntung saat ini Lily sudah berada di Negara yang sama, dan membuat Lala jadi lega karena kapanpun bisa melihat kebersamaan mereka.

'Mommy Auntie dirawat di Rumah Sakit Everleight Jakarta, Sean'

Sean mendongak melihat Mama nya. "Rumah Sakit Everleight Jakarta, Ma," ucapnya memberitahu yang langsung diangguki oleh Lala.

"Tunggu Sean dan Mama ya, Mommy Auntie."

'Hati-hati sayang'

Pip.

***

John Jaeko atau biasanya disapa Jaeko; saat ini sedang berlari terbirit seperti tidak kuat menahan kencing, langkah kaki panjangnya tak berhenti menghentak bangunan tinggi dan besar sebuah perusahaan, wajah gelisahnya tak bisa dipungkiri bahwa dia sedang membawa berita yang sangat genting terlebih penting.

Pandangannya terus brfokus ke arah depan, mata bergetar itu seolah mengatakan bahwa dirinya datang membawa sesuatu yang sangat berharga dan langka untuk didapatkan. Ya benar sekali, dengan senyum yang terpampang di lengkungan bibirnya walaupun bertolak belakang dengan gestur tubuhnya itu mampu membuat seseorang yang berada didepannya mengrenyit heran dan bertanya-tanya.

"Vee, aku menemukannya!!"

Jaeko berbicara dengan napas terengah-engah bersama badan yang membungkuk seraya tangan memegang lutut untuk meredakan napas yang memburu, ia tersenyum miring dengan bangganya.

"Menemukan apa, John?"

"Deredolent," jawabnya singkat.

Tumpukan berkas yang sedari tadi dibawa oleh Vee secara spontan terjatuh dari tangan berbalut jas biru dongker itu, tak bisa dibohongi betapa senang dan penasarannya akan sosok yang sangat sulit dicarinya selama dua tahun belakangan ini.

"Dimana? Cepat katakan padaku?" tanya Vee memburu.

Jaeko berdiri tegap berjalan pelan menghampiri Vee dengan wajah datar yang sangat sulit diartikan. "Ada berita baik dan buruk, Vee," ungkapnya.

Vee menautkan alisnya sebelum bertanya, "Apa itu?"

"Berita baiknya, dia ada di Indonesia, di Jakarta tepatnya, sinyalku sempat melacak, tapi dia terlalu pintar, aku tidak mampu mengikuti walau dua detik saja, mungkin memang cara kerjanya seperti itu." papar Jaeko detail.

"Dan kabar buruknya, lokasinya menghilang? Begitu?" tanya Vee sedikit menghakimi bersamaan menghempaskan tubuhnya di sofa-merasa frustasi.

Sebenarnya Vee bisa saja acuh dan tidak mau tahu, toh orang yang dicarinya itu sama sekali tidak merugikan perusahaan, tapi anehnya kenapa secara diam-diam.

Apakah dia tidak mau imbalan atau semacamnya?

Orang seperi apakah dia?

Lalu, kenapa melakukannya untuk Vee?

Jaeko menganggukkan kepalanya lalu ikut limbung di sofa. "Maaf Vee, belum bisa membantumu," ungkapnya penuh sesal.

Jaeko telah mengenal Vee semenjak remaja meski bersekolah di sekolahan yang berbeda, waktu itu mereka terbiasa bersama karena tergabung dalam Club basket. Namun, setelah lulus mereka terpisah sampai bertemu lagi lima tahun terakhir ini berkat perkenalan keluarga besar keduanya, atau lebih tepatnya pertemuan itu terjadi lagi saat perusahaan Vee tengah mengadakan pesta tahunan yang kebetulan mengundang keluarga besar Aditama, dan saat itulah mereka menjadi sangat akrab.

"Pasti akan sangat sulit untuk menemukannya lagi," pasrah Vee.

Vee maupun Jaeko sering sharing mengenai beberapa masalah satu sama lain, baik masalah pribadi maupun perusahaan. Vee sudah menganggap Jaeko sebagai adiknya sendiri, begitu pula sebaliknya dengan Jaeko. Tapi sayangnya, Jaeko yang kelewat membangkang itu enggan memanggil Vee dengan cara yang benar.

­­­­­­­­Saat ini Vee tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Zara istrinya yang nyatanya tidak dicintainnya dan buah hatinya yang biasanya di sebut Princess yang sangat dicintainya. Ibu satu-satunya yang dimilikinya memutuskan hubungan secara sepihak tepat setelah menggelar acara pernikahanmya dulu.

Vee sudah berkali-kali meminta penjelasan, namun nihil, hanya tolakan yang didapatinya. Ibunya sama sekali tidak ingin menunjukkan diri dihadapannya. Vee pun tak memiliki akses untuk mengetahui bagaimana kondisi ibunya yang sudah memasuki paruh baya.

"Hey, John, bagaimana Sean bisa mengenal Lily?" tanya Vee tiba-tiba memecah keheningan.

"Kenapa kau sangat penasaran dengan anak kecil, Vee? Kau sangat aneh!" ejek Jaeko.

Menurut pandangan seorang John Jaeko; Vee memang aneh, pertanyaan macam apa itu. Tidak biasanya Vee membicarakan hal mengenai manusia lain kecuali dalam lingkup keluarga. Sedangkan Lily bukan siapa-siapa yang menurut Jaeko tidak perlu masuk dalam obrolan yang akan dipertanyakan seorang Vee Kanesh Bellamy.

Vee berdecak diiringi lirikan tidak suka ke arah Jaeko yang ada disamping kanannya. "Kau ini, aku hanya penasaran, aku baru pertama melihat Lily waktu itu, dan anehnya Sean begitu akrab dan mencoba melamarnya di depanku asal kau tau."

Jaeko mengangguk dan yerkekeh sebagai respon. "Tapi Lily menolaknya 'kan. Jika ku ingat lagi, sepertinya sudah dua belas kali.," ungkapnya santai.

Memang benar yang dikatakan Jaeko saat ini. Sean, putranya itu terlalu polos dan jujur kepada Jaeko maupun Lala istrinya, tipe anak yang terbuka kepada orang tua.

"What the..." Vee membelalak tak percaya, menegakkan badannya lalu menghadap Jaeko untuk memastikan.

Jaeko praktis mengangguk, ia tidak berbohong. "Kenapa? Tidak percaya?" tanyanya atas keterkejutan Vee yang menurutnya begitu berlebihan.

Jaeko yang sebagai ayahnya saja santai, bahkan terkadang mengatai Sean tidak lebih jago darinya. Jaeko bahkan memamerkan pada Sean bahwa dirinya melamar Lala hanya sekali saja, dan langsung diterima.

"Jadi kau sudah tau? Apa Sean menceritakan padamu?" tanya Vee penasaran akan hubungan anak dan ayah itu.

"Dari hal kecil sampai besar, Sean selalu menceritakan padaku dan Lala."

Vee mengangguk mengerti dan mulai paham. "Pantas saja Sean sangat mirip denganmu."

"Sangat keren 'kan?" ungkap Jaeko bangga.

"Masih keren Sean," timpal mutlak Vee menurunkan tingkat kepercayaan John dalam sekali hantaman.

Belum sempat Jaeko melemparkan protes, dering ponsel yang berada disaku kanannya berbunyi. "Oh, Lala telepon, Vee?"

"Halo, sayang," saut Jaeko manja mengawali percakapan, namun berbeda dengan Lala istrinya.

'Sumpah geli, John'

Jaeko pun menekuk mukanya, sungguh kasian. "Tidak apa-apa Sayang, aku akan tetap seperti ini, ngomong-ngomong ada apa?"

Jaeko adalah tipe suami sabar dan sedikit bucin pada istrinya, apalagi jika itu urusan ranjang, merengek seperti bayi pun dilakukannya.

'Aku mau izin keluar dengan Sean untuk menjenguk Rose yang sedang opname'

Jaeko mengangguk. "Hati-hati. Titip salamku buat Rose. Maaf tidak bisa ikut. I love you sayang."

Bisa terdengar suara kekehan dari balik telepon sebelum Lala menjawab.

'I love you too, John'

Pip.

"Lala kenapa, Ko?" tanya Vee penasaran.

Jaeko yang masih fokus dengan layar ponselnya itu, pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah Vee yang bertanya. "Ohh, izin menjenguk ibu Lily, opname," jawabnya.

Sebenarnya yang sangat membuat penasaran Vee adalah nama seseorang yang sempat disebut oleh Jaeko.

Rose. Iya. Nama itu. Vee menepisnya jauh-jauh. Orang dengan nama Rose sangatlah banyak dan belum tentu juga wanita yang berada dalam bayangannya yang menjadi pemilik panggilan itu.

"Kau juga kenal ibu Lily?" tanya Vee basa-basi.

"Iya, dari tiga tahun yang lalu."

"Oh, pantas kau dan Sean terlihat begitu akrab dengan Lily."

Vee sering menyaksikan interaksi yang akrab antara sepasang ayah anak itu dengan Lily yang terbilang baru satu bulan lalu dikenal olehnya. Ternyata sudah kenal dari lama. Ya pantas saja.

Namun yang menjadi pertanyaaan, darimana dan bagaimana keluarga Jaeko mengenal keluarga Lily tanpa sepengetahuan dirinya?

Seingat Vee, ia selalu tahu apapun tentang Jaeko.

Ya sudahlah, Vee tidak akan ikut campur, mengubur rasa penasarannya sekali ini saja.

Tapi tidak untuk lain kali.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Maria
Sean mood banget bikin ibunya kawatir
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status