"Ugh," Tukijo terbangun dan melihat sebuah mobil mewah berhenti di sampingnya. Keluar seorang wanita cantik elegan berambut panjang terurai, ditemani oleh bodyguard dan sopirnya.
Dia adalah Ningsih, wanita jenius yang berhasil mengembangkan perusahaan ayahnya sampai ke puncak. Rumor menyatakan bahwa dia telah membunuh ayahnya demi mendapatkan harta warisan, sehingga dia dicap sebagai wanita yang kejam.
Wanita itu membuka kacamata hitamnya seraya bertanya kepada sopirnya, "Benar, di sini?"
"Benar, Nona. Namanya adalah Tukijo," jawab Teguh (sopir Ningsih) sambil menunjukan foto pemuda itu di ponselnya.
Ningsih baru menyadari bahwa di depannya ada seorang pria yang terkapar di jalan, dia sedang berusaha untuk bangkit. Pria itu memakai seragam pramuka. Di sampingnya ada sepeda ontel yang disandarkan ke pohon dan tas sekolah di kranjang.
Kemudian Ningsih mendatangi pria itu, lalu berjongkok sambil mengulurkan tangannya. "Mau ku bantu?" tawar Ningsih.
Tukijo mendongakan kepalanya menatap wanita itu. Dia merasa wanita di depannya sangat familiar. Pada akhirnya dia meraih uluran tangan Ningsih, lalu berdiri dibantu olehnya.
Teguh yang masih memegang ponsel, melihat lelaki yang berada di depan majikannya sangat mirip dengan foto di ponselnya.
"Nona!" teriak Teguh menghampiri Ningsih. Dia memperlihatkan ponselnya. "Lihat Nona, dia sangat mirip dengannya."
Ningsih melihat ponsel Teguh sembari melirik Tukijo beberapa kali. "Apakah namamu Tukijo dan ibumu bernama Siti Hayati?" tanya Ningsih.
"Iya ...," jawab Tukijo. "Darimana wanita ini tahu namaku?" batinnya.
Tanpa pikir panjang Ningsih langsung memeluknya dan berkata, "Akhirnya aku menemukanmu."
"Aargh," rintih Tukijo merasakan sakit di sekujur tubuh.
"Ah, maaf ... maaf. Aku terlalu senang bisa bertemu denganmu," ucap Ningsih melepas pelukannya.
Tukijo berkata, "Bukankah Anda adalah wanita itu ..."
"Wanita itu siapa?" sela Ningsih cepat.
"Wanita yang wajahnya sering terpajang di surat kabar dan media masa. Menurut rumor, wanita itu telah membunuh ayahnya sendiri demi mendapat warisan," jelas Tukijo.
"Apakah kamu percaya dengan rumor itu?" tanya Ningsih.
"Entahlah, aku terlalu sibuk dengan masalahku," jawab Tukijo.
"Masalahmu ..." ucapan Ningsih terhenti. Dia memegang pipi Tukijo yang terlihat seperti hanya tulang yang dibalut kulit.
"Ya ampun, ternyata kamu sangat kurus. Siapa yang menyiksamu sampai seperti ini?" tanya Ningsih melihat memar di wajah Tukijo.
"Maaf, kenapa Anda melakukan ini kepadaku? Aku bahkan tidak mengenalmu." Tukijo menepis tangan Ningsih.
"Kamu adalah adikku, apakah salah jika aku memelukmu dan memperhatikanmu?" Ningsih menarik nafas dan kembali berkata, "Aku melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Cilacap hanya untuk mencarimu, dan itu tidak mudah. Aku mencarimu dari setiap kecamatan ke kecamatan, desa ke desa, Rw ke Rw, Rt ke Rt, dari setiap jalan ke jalan, gang ke gang selama satu bulan dan akhirnya aku menemukanmu."
"What? Apakah Anda bercanda?" tanya Tukijo ragu.
Ningsih menyingkap rambut Tukijo ke belakang. Dia melihat wajahnya yang dekil, kusam dan penuh memar.
"Aku akan menjelaskannya nanti. Ayo pergi ke rumah sakit dan obati lukamu!" Ningsih menggenggam pergelangan tangan Tukijo dan menariknya ke mobil.
"Tunggu!" Tukijo menahannya. Dia merogoh saku celananya. "Tidaaaaak! Gajiku satu minggu, ludes sudah! Sialan!" Tukijo menggertakkan gigi dan mengepal kedua tangannya. "Lihat saja! aku akan menagihnya suatu saat nanti," gumam Tukijo.
"Apa yang terjadi?" tanya Ningsih.
"Ah, tak apa. Hanya saja, aku harus segera pulang. Simbah sedang menungguku, ia pasti mengkhawatirkanku."
"Kalau begitu, ayo kita pulang dan temui Nenek!" pinta Ningsih. "Teguh, kamu belikan obat untuknya!" Kemudian Ningsih memapah Tukijo berjalan ke rumah, sedangkan bodyguardnya yaitu Marno membawa sepeda Tukijo.
Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu dengan tiang dari kayu. "Tukijo!" seru seorang nenek tua yang berdiri di depan rumah. Dia adalah nenek Tukijo, namanya Muhiroh.
Melihat tubuh Tukijo yang penuh dengan luka, Muhiroh berkata, "Duh Gusti, Tukijo! Nangapa awake kowe pada babak belur kaya kie? (Ya Tuhan, Tukijo! Kenapa badanmu penuh luka seperti ini?)" Tangannya yang sudah mengeriput menyentuh wajah Tukijo dengan lembut. "Ngapurane Mbah, miki ... pitte nyong kesrempet trek, ngasi nyong mental tiba semaput (Maaf Nenek, tadi ... sepedaku terserempet truk hingga aku terpental jatuh pingsan,)" jawab Tukijo sedikit gugup. Ningsih melompong. Setelah mengobati luka Tukijo, Ningsih mendengar suara perut adiknya protes. Dia segera keluar menemui Teguh yang sedang berdiri menyandarkan punggungnya ke mobil. "Teguh! Belikan lima porsi makanan, ah tidak ... beli enam porsi!" perintah Ningsih. "Baik Nona," Teguh memasuki mobil dan pergi melaksanakan perintah majikannya. Beberapa saat kemudian. "Maaf Nona, aku hanya menemukan makanan ini di jalan," ungkap Teguh memberikan d
Keesokan harinya, tepat pukul 07.00 WIB Ningsih datang ke rumah Tukijo dengan mobil mewahnya bersama Teguh dan Marno. "Jo! Ayo naik!" Ningsih mengajak Tukijo yang berdiri di depan rumahnya siap untuk berangkat. Kemudian dia naik ke mobil duduk di belakang bersama kakaknya. "Di mana kamu bekerja?" tanya Ningsih. "Di Restoran Mas Agus lokasinya di Perempatan Mojing." "Meluncur ke sana!" perintah Ningsih kepada Teguh. "Baik Nona." "Marno, nanti kamu yang gantiin Tukijo ya." "Siap! Laksanakan!" jawab Marno. "Emm, Kak. Bolehkah aku meminta sesuatu?" ucap Tukijo sedikit ragu. "Apa?" timpal Ningsih. "Tolong rahasiakan bahwa aku memiliki hubungan dengan orang dari Perusahaan Gaje. Kakak sangat terkenal, Mas Agus pasti mengenalimu." Tukijo memasang wajah memelas memohon kepada kakaknya. "Kita sudah sampai di Restoran Mas Agus, Nona," sela Teguh. Melihat Ningsih tidak menjawab permintaannya, Tu
Setelah membeli handphone, Ningsih dan Tukijo pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka membeli baju seragam, tas dan keperluan sekolah. "Sini Jo! Cobain ini deh!" Tangan kanan Ningsih memegang kaos putih bergaris, sedangkan tangan kirinya memegang jaket abu-abu. Tukijo yang sedang asik mencoba handphone barunya, segera menyimpannya dan menghampiri kakaknya. Setelah beberapa saat, Tukijo keluar dari ruang ganti. "Wow!" ujar Ningsih kagum. "Ini baru keren! Coba deh, kamu ngaca!" Ningsih membalikkan badan Tukijo dan mendorongnya agar mendekat ke cermin. Tukijo tercengang melihat dirinya di cermin. "Ini aku?" ujarnya. "Yeah ...," jawab Ningsih bangga. Lalu mata Tukijo tertuju pada rangkaiaan kacamata yang terletak dimeja. Melihat hal tersebut, Ningsih bertanya, "Apa kamu butuh kacamata?" "Em, mataku terasa pusing saat melihat tulisan di papan tulis dari bangku belakang," jawab Tukijo. "Oke, kita ambil beberapa," ti
"Pesen lima porsi, dibungkus dua. Nanti kamu ambil satu," ucap Ningsih kepada Marno. "O iya, sama es teh dua ya ...." Marno segera pergi menyiapkan sajiannya. Beberapa menit kemudian. "Wow ...!" ucap Tukijo takjub. Kemudian, mereka menyantapnya dengan lahap. "Jo, soal yang kamu bilang ke Mbah Muhiroh itu bohong, kan?" celetuk Ningsih. "Walaupun nggak tau artinya, tapi Kakak paham apa yang kamu maksud." Tukijo kaget hampir tersendak makanannya. "Uhuk ...." Dia meraih minumnya lalu menanggapi perkataan kakaknya, "Ehem ... iya Kak, aku cuma nggak mau simbah khawatir." Anak itu tertunduk menekuk wajah. "Jadi, apa yang membuatmu babak belur sampai terkapar di jalan seperti itu?" tanya Ningsih dengan wajah serius. "Emm, itu Kak ... anu ... aku ..." "Kamu dibullying?" potong Ningsih cepat dengan sorot mata yang tajam. Tukijo diam. "Jadi, benar?" desak Ningsih. "Iya Kak," jawab Tukijo akhirnya membuka mulut. "Sejak kapan?" tanya Ningsih lagi. "Sejak SD," balas Tukijo. "Apa! Seja
Tukijo terperanjat. Seketika pandangannya menjadi buyar. "Ah, iya Kak ... maaf," ujarnya. "Kamu kenapa, Jo? Tiba-tiba melamun. Lihat ibu-ibu ngrumpi?" canda Ningsih. Sebenarnya Ningsih mengetahui bahwa Tukijo telah terpaku melihat seorang wanita pengantar bingkisan. "Idih ... ngapain juga, aku lihat ibu-ibu ngrumpi," sanggahnya. "Terus, kamu ngelamunin apa?" tanya Ningsih pura-pura tidak tahu. "Eh ... itu ... tadi aku lihat ada teman sekelasku lewat naik motor," jawab Tukijo. "Oh, jadi cewek yang tadi itu teman sekelasmu. Cantik juga," puji Ningsih. "Iya, cantik ... tapi cuek." Tukijo mendengus. "Pfft. Kamu naksir ya?" tanya Ningsih spontan. "Si ... siapa yang naksir." Tukijo menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan berpura-pura mengelap keringat di dahinya. "Hmm ...." Ningsih mengernyitkan dahi, matanya menyelidiki tingkah Tukijo. "Ya sudah, ayo lanjut latihan." Mereka berlatih hingga matahari tepat
Hari Senin, Tukijo mulai bersekolah dengan penampilan barunya. Sebelum dia berangkat ke sekolah, Ningsih datang membawa semua barang-barangnya. "Aku bantuin ya, Kak," tawar Tukijo. "Nggak usah, Jo. Kamu berangkat sekolah aja sana! Nanti telat. Hmm, atau kamu mau diantar Teguh pake mobil?" ucap Ningsih sambil menurunkan barang-barangnya di depan rumah Tukijo. "Aku ... berangkat sekarang aja deh, makasih atas tawarannya." Tukijo segera pergi meninggalkan Ningsih. "Bisa gawat kalau satu sekolah tau aku berangkat diantar mobil," gumamnya. Setelah sampai di sekolah, Tukijo meletakan sepedanya di parkiran dekat tiang kayu. "Wah! Siapa tuh?" "Anak baru kayaknya, aku belum pernah lihat." "Ganteng bangeeeet. Dia bakalan jadi kandidat pertama ulzzangnya SMANJI nih ... (singkatan SMA N 1/SMAN Siji)." "Eh, samperin yuk ... barangkali bisa dapet nomor WA-nya. Mayan gebetan baru." "Eaaaa ... cus." Dua siswi saling berbisik melihat penampilan baru Tukijo. Ketika mereka hendak mendekati Tuki
Udin yang masih dalam posisi berlutut, melihat orang itu dari ujung kaki, hingga ujung rambut yang telah memutih sebagian. Dia adalah Hartono (ayah Markonah).Sementara Udin teralihkan oleh Hartono, Markonah mengambil gelas, lalu melangkahkan kakinya ke sebuah galon air yang bertengger di samping meja kasir. Sejak makan siang, dia belum meminum air seteguk pun sehingga merasa sangat haus."Anda ...""Aku ayahnya, kamu mau apa?" sela Hartono memotong ucapan Udin. Dia mengatupkan bibirnya dan matanya melotot."Ayah mertua!" seru Udin merangkak mendekatinya."Siapa Ayah yang mertuamu?" tampik Hartono.Udin memeluk lutut Hartono. "Ayah mertua, restuilah hubunganku dan Markonah, tolong jangan pisahkan kami! Kami tulus saling mencintai," rengeknya.Markonah tersentak menyemburkan air minum di mulutnya."Apa kau GILA!?" sergah Markonah."Iya, aku sangat tergila-gila padamu." Udin mengepalkan
Markonah tersentak, dia dikagetkan oleh pertanyaan Cecep yang dilontarkan tiba-tiba. "Ecie ... cie ... pagi-pagi udah berduaan aja. Cus Cep! Ngapain lo malah berhenti, gangguin mereka aja!" imbuh Tiyem menepuk bahu Cecep. Kemudian mereka pergi memarkirkan motor dan langsung ke kelas tanpa menghiraukan Markonah lagi. "Pffft ...." Markonah tertawa dengan menutup mulutnya. "Cowokmu? Mereka ngomong apa sih?" Tukijo menggaruk-garuk kepala tidak paham apa yang Cecep dan Tiyem katakan. "Dah lah, nggak usah dipikir. Ayo ke kelas! Mereka bakal kaget saat kamu masuk kelas," Markonah tersenyum. "Oh iya, aku mau mampir ke TU (Tata Usaha). Kamu duluan aja, Mar," ungkap Tukijo. "Ya udah, ayo bareng!" ajak Markonah. "Hah? Beneran? Kamu mau nungguin aku?" sahut Tukijo melebarkan mata. "Ya enggak lah ... kita jalan bareng, ngapain nungguin kamu yang nggak pasti. Aku temenin kamu sampe ke pertigaan karidor depan Lab. IPS." Kemudian