Setelah membeli handphone, Ningsih dan Tukijo pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka membeli baju seragam, tas dan keperluan sekolah.
"Sini Jo! Cobain ini deh!" Tangan kanan Ningsih memegang kaos putih bergaris, sedangkan tangan kirinya memegang jaket abu-abu.Tukijo yang sedang asik mencoba handphone barunya, segera menyimpannya dan menghampiri kakaknya.Setelah beberapa saat, Tukijo keluar dari ruang ganti."Wow!" ujar Ningsih kagum. "Ini baru keren! Coba deh, kamu ngaca!" Ningsih membalikkan badan Tukijo dan mendorongnya agar mendekat ke cermin.Tukijo tercengang melihat dirinya di cermin. "Ini aku?" ujarnya."Yeah ...," jawab Ningsih bangga.Lalu mata Tukijo tertuju pada rangkaiaan kacamata yang terletak dimeja. Melihat hal tersebut, Ningsih bertanya, "Apa kamu butuh kacamata?""Em, mataku terasa pusing saat melihat tulisan di papan tulis dari bangku belakang," jawab Tukijo."Oke, kita ambil beberapa," timpal Ningsih."Bukankah kita harus tau ukuran minusnya?" tanya Tukijo."Halah, cobain aja semua dari minus terendah. Nanti kamu pilih mana yang nyaman dipakai," balas Ningsih.Setelah mereka keluar dari pusat perbelanjaan, kemudian mereka pergi ke toko bangunan. Ningsih membeli semen, batako, keramik dan lain-lain. Lalu pergi ke toko mebel untuk membeli kasur busa, lemari, meja dan lain-lain.Sampai matahari tepat di atas kepala, mereka berkeliling kota hingga rasa lapar dan dahaga menggerogoti perut mereka."Ayo cari makanan!" ajak Ningsih. "Kamu ada saran tempat yang enak, Jo?"
"Ah, aku cuma tau Restoran Mas Agus yang paling de best. Haha," balas Tukijo sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal."Gaaaas!" perintah Ningsih kepada Teguh."Siap Nona!" Teguh langsung tancap gas menuju Restoran Mas Agus."O iya Jo, hari Minggu Restoran Mas Agus libur nggak?" tanya Ningsih."Libur Kak," jawab Tukijo."Bagus kalau begitu. Teguh, besok kamu sama Marno jadi tukang ya ... bangun rumah Tukijo. Rekrut banyak orang handal biar cepet selesai. Aku pengin satu hari selesai. Jangan lupa, setelah selesai bagian luarnya ditempelin anyaman lusuh lagi, supaya nggak jadi bahan lirikan mata-mata jahiliyyah, wkwk" perintah Ningsih."Baik Nona," timpal Teguh."Apa! Kakak mau bangun rumahku? Kita harus minta izin dulu ke Simbah," sahut Tukijo."Gampang ...," jawab Ningsih enteng."Sudah sampai, Nona," ucap Teguh menghentikan mobilnya di depan Restoran Mas Agus."Guh, kamu di sini aja ya ... nanti aku bungkusin buatmu," ujar Ningsih."Siap Nona," balas Teguh.Kemudian Ningsih dan Tukijo keluar dari mobil berjalan menuju salah satu meja makan. Mereka menjadi sorotan semua orang yang berada di Restoran Mas Agus."Wah! Ada cogan.""Ganteng bangeeet.""Ceweknya juga luar biasa.""Ada bidadari turun dari syurga di hadapanku .... Eaaa."Bisikan-bisikan dan tatapan para pengunjung Restoran Mas Agus membuat Tukijo tidak nyaman."Mereka kenapa sih, liatinnya gitu banget," gerutu Tukijo."Tentu saja itu karena adikku keren." Ningsih meletakan kedua sikunya ke meja dan menyandarkan pipinya di atas kedua telapak tangan sambil menatap Tukijo dengan senyuman."Apaan sih, Kak." Tukijo memalingkan wajahnya yang memerah."Kamu nggak pernah dapat pujian dari seseorang ya?" tanya Ningsih."Pernah kok," jawabnya.Ningsih berkata, "Paling cuma ibumu yang pernah muji, kan ... ketahuan banget sama responmu. Hihi." Dia tertawa kecil dengan menutup mulutnya.Beberapa saat kemudian, Marno datang menghampiri mereka. "Nona sama Tuan Muda mau makan siang di sini?" tanya Marno berbisik dengan meletakan tangan kanan di samping pipi kiri."Iya," jawab Ningsih. "Kamu mau makan apa, Jo?""Di sini, paling enak makan mie ayam bakar," ucap Tukijo sambil membayangkan betapa enaknya makanan itu."Pesen lima porsi, dibungkus dua. Nanti kamu ambil satu," ucap Ningsih kepada Marno. "O iya, sama es teh dua ya ...." Marno segera pergi menyiapkan sajiannya. Beberapa menit kemudian. "Wow ...!" ucap Tukijo takjub. Kemudian, mereka menyantapnya dengan lahap. "Jo, soal yang kamu bilang ke Mbah Muhiroh itu bohong, kan?" celetuk Ningsih. "Walaupun nggak tau artinya, tapi Kakak paham apa yang kamu maksud." Tukijo kaget hampir tersendak makanannya. "Uhuk ...." Dia meraih minumnya lalu menanggapi perkataan kakaknya, "Ehem ... iya Kak, aku cuma nggak mau simbah khawatir." Anak itu tertunduk menekuk wajah. "Jadi, apa yang membuatmu babak belur sampai terkapar di jalan seperti itu?" tanya Ningsih dengan wajah serius. "Emm, itu Kak ... anu ... aku ..." "Kamu dibullying?" potong Ningsih cepat dengan sorot mata yang tajam. Tukijo diam. "Jadi, benar?" desak Ningsih. "Iya Kak," jawab Tukijo akhirnya membuka mulut. "Sejak kapan?" tanya Ningsih lagi. "Sejak SD," balas Tukijo. "Apa! Seja
Tukijo terperanjat. Seketika pandangannya menjadi buyar. "Ah, iya Kak ... maaf," ujarnya. "Kamu kenapa, Jo? Tiba-tiba melamun. Lihat ibu-ibu ngrumpi?" canda Ningsih. Sebenarnya Ningsih mengetahui bahwa Tukijo telah terpaku melihat seorang wanita pengantar bingkisan. "Idih ... ngapain juga, aku lihat ibu-ibu ngrumpi," sanggahnya. "Terus, kamu ngelamunin apa?" tanya Ningsih pura-pura tidak tahu. "Eh ... itu ... tadi aku lihat ada teman sekelasku lewat naik motor," jawab Tukijo. "Oh, jadi cewek yang tadi itu teman sekelasmu. Cantik juga," puji Ningsih. "Iya, cantik ... tapi cuek." Tukijo mendengus. "Pfft. Kamu naksir ya?" tanya Ningsih spontan. "Si ... siapa yang naksir." Tukijo menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan berpura-pura mengelap keringat di dahinya. "Hmm ...." Ningsih mengernyitkan dahi, matanya menyelidiki tingkah Tukijo. "Ya sudah, ayo lanjut latihan." Mereka berlatih hingga matahari tepat
Hari Senin, Tukijo mulai bersekolah dengan penampilan barunya. Sebelum dia berangkat ke sekolah, Ningsih datang membawa semua barang-barangnya. "Aku bantuin ya, Kak," tawar Tukijo. "Nggak usah, Jo. Kamu berangkat sekolah aja sana! Nanti telat. Hmm, atau kamu mau diantar Teguh pake mobil?" ucap Ningsih sambil menurunkan barang-barangnya di depan rumah Tukijo. "Aku ... berangkat sekarang aja deh, makasih atas tawarannya." Tukijo segera pergi meninggalkan Ningsih. "Bisa gawat kalau satu sekolah tau aku berangkat diantar mobil," gumamnya. Setelah sampai di sekolah, Tukijo meletakan sepedanya di parkiran dekat tiang kayu. "Wah! Siapa tuh?" "Anak baru kayaknya, aku belum pernah lihat." "Ganteng bangeeeet. Dia bakalan jadi kandidat pertama ulzzangnya SMANJI nih ... (singkatan SMA N 1/SMAN Siji)." "Eh, samperin yuk ... barangkali bisa dapet nomor WA-nya. Mayan gebetan baru." "Eaaaa ... cus." Dua siswi saling berbisik melihat penampilan baru Tukijo. Ketika mereka hendak mendekati Tuki
Udin yang masih dalam posisi berlutut, melihat orang itu dari ujung kaki, hingga ujung rambut yang telah memutih sebagian. Dia adalah Hartono (ayah Markonah).Sementara Udin teralihkan oleh Hartono, Markonah mengambil gelas, lalu melangkahkan kakinya ke sebuah galon air yang bertengger di samping meja kasir. Sejak makan siang, dia belum meminum air seteguk pun sehingga merasa sangat haus."Anda ...""Aku ayahnya, kamu mau apa?" sela Hartono memotong ucapan Udin. Dia mengatupkan bibirnya dan matanya melotot."Ayah mertua!" seru Udin merangkak mendekatinya."Siapa Ayah yang mertuamu?" tampik Hartono.Udin memeluk lutut Hartono. "Ayah mertua, restuilah hubunganku dan Markonah, tolong jangan pisahkan kami! Kami tulus saling mencintai," rengeknya.Markonah tersentak menyemburkan air minum di mulutnya."Apa kau GILA!?" sergah Markonah."Iya, aku sangat tergila-gila padamu." Udin mengepalkan
Markonah tersentak, dia dikagetkan oleh pertanyaan Cecep yang dilontarkan tiba-tiba. "Ecie ... cie ... pagi-pagi udah berduaan aja. Cus Cep! Ngapain lo malah berhenti, gangguin mereka aja!" imbuh Tiyem menepuk bahu Cecep. Kemudian mereka pergi memarkirkan motor dan langsung ke kelas tanpa menghiraukan Markonah lagi. "Pffft ...." Markonah tertawa dengan menutup mulutnya. "Cowokmu? Mereka ngomong apa sih?" Tukijo menggaruk-garuk kepala tidak paham apa yang Cecep dan Tiyem katakan. "Dah lah, nggak usah dipikir. Ayo ke kelas! Mereka bakal kaget saat kamu masuk kelas," Markonah tersenyum. "Oh iya, aku mau mampir ke TU (Tata Usaha). Kamu duluan aja, Mar," ungkap Tukijo. "Ya udah, ayo bareng!" ajak Markonah. "Hah? Beneran? Kamu mau nungguin aku?" sahut Tukijo melebarkan mata. "Ya enggak lah ... kita jalan bareng, ngapain nungguin kamu yang nggak pasti. Aku temenin kamu sampe ke pertigaan karidor depan Lab. IPS." Kemudian
"Astagaaaa." Tukijo menjauhkan wajahnya dari Tuti. "Aku harus cari cara untuk kabur," gumamnya berpikir. Suara bel masuk berbunyi, tapi karena tidak dilaksanakan upacara bendera, maka satu jam pelajaran kosong. Tukijo merasa kesulitan menghadapi Tuti. Kebetulan bunyi bel bisa dijadikan alasan olehnya. Dia melihat di sebelah kanan Tuti ada celah. "Maaf, udah bel masuk. Aku mau ke kelas." Dengan cekatan Tukijo mundur selangkah lalu bergerak ke sisi kanan Tuti, menghindari Ipul yang berada di belakang Tuti. Tukijo berhasil melewati Udin dan gengnya lalu dia berlari di karidor depan ruang guru menuju jalan beraspal. Kemudian dia berbelok ke timur bermaksud ke kelas dengan jalur memutar melewati jalan beraspal yang terletak di sepanjang kelas XII IPS. "Asep! Hadang dia dari belakang ruang musik!" perintah Udin. Asep adalah yang tercepat diantara mereka. Dengan gesit dia berlari diikuti oleh Udin, Ipul dan Tuti. Tukijo samar-samar mend
5 menit sebelum Tukijo masuk kelas."TUKIJO!!! Bangsat! Kemana aja sih, tu anak. Masa jam segini belum dateng!" teriak Cecep ngomel-ngomel sendiri di depan papan tulis."Tenang Bro ... tenang ... gue yakin bentar lagi dia bakalan dateng kok. Kita bisa kasih pelajaran pas jam istirahat nanti," ujar Sugeng.Sugeng adalah teman satu gengnya Cecep dan juga Tiyem. Anak ini berperawakan kurus, tapi kekar seperti Chris John sang petinju, wajahnya pun sangat mirip dengannya.Di samping itu Markonah sedang duduk melamun. Dia meletakan sikunya di meja dan menompang dagunya dengan telapak tangan."Mana sih, Tukijo. Lama banget ... nggak mungkin dia nyasar, kan." gumamnya.Kemudian Markonah melirik ke tempat duduk Udin hanya terdapat tas hitam yang menyantol di sandaran kursinya. Dia juga tidak melihatnya sejak kembali ke kelas."Ni anak juga, tumben banget udah bel masuk masih keluyuran," bisik Markonah.Tidak lama kemudian, Udin datang d
Kebetulan tali sepatu Tukijo lepas, sehingga tanpa sengaja dia menghindari pukulan tersebut dengan berjongkok. Padahal dia berniat untuk memperbaiki tali sepatunya. Siapa sangka keberuntungan berpihak padanya.Orang yang hendak menghantam Tukijo, hilang keseimbangan. Awalnya dia mengumpulkan semua energinya di kepalan tangan agar pukulannya bisa langsung menjatuhkan Tukijo. Sayangnya pukulannya tidak mengenai sasaran, mengakibatkan dia tergelincir menabrak tiang depan kelas XII IPA 1. Dia merasa pusing, badannya sempoyongan seperti orang mabuk. Sialnya saat dia mau terjatuh, tanpa disadari kakinya menendang tempat sampah plastik yang berada di bawah tiang.Wuuuush!Tempat sampah itu melayang jauh sampai ke depan kelas XII IPA 2. Tepat pada waktu yang sama, saat itu Udin baru saja keluar dari kelasnya. Dia tidak melihat ada tempat sampah yang terbang di atasnya. Tiba-tiba ...Bruuuk!Tempat sampah itu hinggap di kepala Udin dalam keadaan terbalik. S