Share

BAB 8

POV Arini

Jam 3 pagi Aku terbangun, setelah cuci muka. Aku melangkahkan kaki kedapur, sebelumnya kusempatkan untuk membangunkan Surti dan Inah membantu menyiapkan sarapan untuk semua penghuni rumah ini.

Entah kenapa hari ini Aku sangat senang sekali, mungkin karena kedatangan Anakku satu-satunya. Setelah sekian lama kami terpisah jarak dan waktu, kesempatanku bertemu dengannya hanya beberapa kali, itupun dalam waktu yang tidak lama ketika Aku pulang kekampung halaman. Sedih rasanya tidak bisa melihat bagaimana Ia tumbuh, bahkan untuk menyuapi makan aja ketika ia kecil bisa dihitung hanya beberapa kali saja. Untung ada Ayah dan Ibuku yang bantu merawat buah hatiku.

Ibu meninggal setahun yang lalu, beberapa bulan setelah itu Ayah ikut pergi menyusul Ibu, Aku ijin Pak Agus dan istrinya untuk pulang beberapa minggu lamanya. Perasaan sedih yang sangat mendalam kurasakan kehilangan sosok orang tua yang telah melahirkanku, mereka adalah sosok orang tua yang sangat sederhana. Teringat, ketika masih remaja Aku salah melangkah dalam menjalani sebuah hubungan, Aku bahkan sampai tega meninggalkan kedua orang tuaku hanya demi ikut pria tersebut, Aku menjalani nikah siri dengannya, karena ternyata orang tua lelaki tersebut tidak setuju kalau anaknya akan menikahiku, yang hanya dari keluarga sederhana. Disamping itu, orang tuanya juga telah memilihkan pasangan sendiri untuknya. Namun karena kebulatan tekad cinta kami, kami nekad menjalani hidup berdua, walau hidup di sebuah kontrakan yang sangat-sangat sederhana. Setiap hari kami lalui dengan kebahagiaan, walau hidup dengan apa adanya. Karena bagi kami, bisa menjalani setiap detik waktu bersama pasangan yang dicinta adalah kebahagiaan yang tiada duanya.

Aku masih ingat, saat tahu pertama kali Aku hamil, tidak terbayang betapa bahagianya wajah suamiku. Bahkan semua penghasilan suamiku hari itu yang didapatnya dari kerja serabutan, dihabiskan untuk membelikan kue-kue kering yang sangat banyak, kemudian dibagikan ke tetangga-tetangga sekitar dan setiap orang yang dijumpainya ketika dijalan. Kami sangat bersyukur dengan berkah kehamilanku, Aku masih ingat dengan sangat jelas, tidak pernah lepas senyum dari wajahnya seharian itu.

Katika perutku semakin membesar, Aku dibuat syok dengan sebuah kenyataan yang paling pahit dalam hidupku, yaitu kabar hilangnya suamiku. Dari sore Aku menunggu kepulangan suamiku, bahkan hingga larut malam tidak juga kujumpai sosoknya. Aku sangat cemas, khawatir dengan keadaannya, kenapa sampai larut suamiku masih juga belum pulang.

Untungnya Aku punya tetangga-tetangga yang baik, mereka ikut menghibur dan menguatkan Aku. Bahkan, mereka banyak yang ikut mencari suamiku ketempat kerjanya karena hingga esok harinya Ia masih belum pulang kekontrakan kami. Kecemasanku makin menjadi-jadi, karena beberapa hari setelahnya suamiku masih belum juga pulang ke rumah. Para tetangga ikut membantu melaporkan hilangnya suamiku ka kantor polisi, namun hingga beberapa minggu setelahnya, beritanya masih juga nihil, Suamiku seolah hilang begitu saja ditelan bumi.

Melihat keadaanku yang semakin lemah, uang ditangan juga sudah tidak ada. Untuk kebutuhan makan sehari-hari para tetangga sepakat untuk membantuku. Hingga akhirnya mereka mengusulkan agar Aku untuk pulang sementara, kekampung halaman biar ada keluarga yang menjaga jelang kelahiranku. Sementara mereka terus mencari kabar keberadaan suamiku.

Ketika pulang ke kampung. Awalnya, kukira orangtuaku tidak akan mau menerima kehadiranku, karena bagaimanapun Aku menikah tanpa restu dari mereka. Tapi begitulah orang tua, sesalah-salahnya anak melangkah, namun kasih sayang orangtua pada anaknya tidak pernah tergantikan, sebesar apapun salah anaknya. Itulah yang kulihat dari kedua orangtuaku, bahkan mereka tidak pernah mengungkit-ungkit kesalahanku sedikitpun. Mereka menyambutku dengan penuh kasih sayang.

Bahkan ketika anakku lahir kedunia ini, mereka yang paling sibuk sendiri, mulai dari memanggil dukun beranak (saat itu belum ada bidan desa), serta mengurus semua keperluanku. Tidak terlukis, betapa bahagianya mereka saat itu.

"Lihat Yah, cucu kita laki-laki.. kesampaian juga nih Ayah punya keturunan laki-laki." tatap ibuku penuh haru.

"Iya Bu, ini akan jadi penerus keluarga Abu Fikri, dia akan kuat dan tangkas seperti Kakeknya." kata Ayahku penuh bahagia.

Begitulah kebahagiaan Ayah dan Ibuku saat itu.

"Coba deh Bu, dah pas belum bumbunya nih ?" tanya Inah membuyarkan lamunanku.

"eh.. iya nah." kataku sambil mencicipi nasi goreng yang sedang dibuatnya.

"hmnnn kurang garamnya dikit ini, bumbu olahan tadi sudah dimasukan ?" tanyaku. Karena seperti biasanya, Aku yang mengolah bumbu masakan, jadi mereka berdua ini yang bagian memasaknya.

"Sudah kok Bu." jawab Inah sambil menuangkan sedikit garam kedalam nasi goreng yang sedang dimasaknya.

"hmmmnn si Ibu, jadi senang banget sampe melamun gitu!" celetuk Surti disamping Inah sambil senyum-senyum tengil.

"loh Aku lo belum lihat anak bu Arini." sela Inah sambil masak.

"hmmn anaknya bu Arini ganteng baanget loh Nah!" puji Surti sambil mencuci piring disamping bu Arini.

"Beneraan ?" tanya Inah penasaran.

"ihh benerrr, Aku aja jadi pengen nikah lagi begitu lihat wajah gantengnya." Cerita Surti makin bersemangat.

"ihh mau dong lihat orangnya!" ucap Inah sambil senyum-senyum.

"eeleh eleehh, kalian ini, kerja-kerja masih sempat aja ngerumpiin cowok, gak lihat apa Ibunya masih disini malah ngomongin anaknya." jawabku sambil ketawa lihat tingkah mereka.

"Ibuuuu.." jawab mereka kompak sambil tersenyum

"hadeeehhh ada-ada aja kalian nih, dasar ABG lawas."

"ihh Ibu, ABG lawas kita dibilangnya." jawab Inah manyun.

Komen (53)
goodnovel comment avatar
Katijah
yah habis lagi
goodnovel comment avatar
Retmi Karnila
carito nyo rancak bana tp pas lihat koin nyo manggigia du buek nyo
goodnovel comment avatar
9 dhemet 9
koinnya terlalu membagongkan ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status