Setelah malam itu, Ditrian sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki ke kamar selirnya lagi. Seolah pernikahan itu tidak pernah terjadi.
"Ini tidak adil Yang Mulia!" pekik Viscount Elliot. "Kita sudah mengorbankan banyak hal dan perbekalan agar kekaisaran bisa memenangkan perang. Tetapi kita hanya mendapat wilayah Galdea Timur!"
"Itu adalah titah Baginda Kaisar, Viscount Elliot," ucap Marquess Riven lirih.
"Diam kau! Kau juga tidak melawan saat Kaisar menurunkan titah itu! Kau ini ada di pihak siapa Marquess Riven?!"
"Beraninya Anda mempertanyakan kesetiaanku pada kerajaan!" bantah Marquess Riven pada Viscount Elliot. Tuduhan itu sudah kelewatan.
"Sudahlah," ucap Raja Ditrian pasrah.
"Tidak bisa begitu Yang Mulia! Jika kita tak mendapatkan wilayah yang menguntungkan, seluruh kerajaan bisa kelaparan di musim dingin nanti," Viscount Elliot kembali menoleh pada Marquess Riven. "Sekarang kau paham kan apa yang telah kau perbuat, Marquess?!"
"Apa kau benar-benar peduli pada rakyat, atau kau hanya serakah, Viscount?! Semua orang di sini tahu. Kau marah karena tadinya kau yang diminta mengurus pertambangan kan?"
"Setidaknya aku bukan orang yang membawa penghinaan bagi raja! Seperti kau!"
"Diam!" lantang Raja Ditrian. Membungkam kedua orang itu. Kini mereka hanya bisa menatap nanar satu sama lain dari meja yang berseberangan.
"Bukan salah Marquess Riven titah kaisar turun. Bangsawan siapapun yang ada di ibukota kekaisaran bisa saja ditunjuk oleh kaisar untuk menyampaikan titah ini. Dan soal persediaan makanan musim dingin, kita bicarakan hari ini."
xxx
"Aku tak menyangka Viscount Elliot berani berkata seperti itu pada Marquess. Padahal gelarnya di bawah Marquess," ucap Grand Duke Everon sambil meminum tehnya. Ia kembali bersandar di sofa mewah nan nyaman milik istana.
Kini mereka berdua ada di ruang kerja raja. Ruang di mana Raja Ditrian menghabiskan sebagian besar waktunya. Ukurannya sekitar sepuluh kali sepuluh meter dengan lantai marmer coklat tua. Di samping-sampingnya ditutupi oleh rak-rak berisi dokumen-dokumen penting. Ada perapian juga di dinding sebelah kanan.
Di tengah ruang kerja ada satu set sofa merah beludur yang nyaman lengkap dengan meja kopi. Dari kayu mahoni yang diukir bentuk sulur-sulur daun anggur di tepi-tepiannya.
Di bagian paling ujung tentu meja kerja raja. Meja dari kayu pohon ceri yang sangat lebar. Dipernis hingga mengilap. Juga kursi kerja raja dengan sandaran yang tinggi dan diukir sulur anggur juga.
Di belakang kursi raja, sebuah pintu kaca sangat besar. Ada balkon di sana. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu saat siang hari. Pemandangan langsung ke salah satu bagian taman istana. Jika sedang bosan, Raja Ditrian akan meminum segelas wiski dan bersandar di pagar balkon.
Grand Duke Everon seringkali meluangkan waktu dengan Raja Ditrian seusai rapat partai bangsawan dan istana.
"Oh iya. Bagaimana kabar selirmu?" tanyanya sambil menyadar santai pada sofa merah.
"Entahlah," singkat Ditrian. Tangannya sibuk menggores pena bulu pada dokumen di atas meja kerja.
"Aku mendapat rumor-rumor tentangnya," goresan tangan Ditrian sempat terhenti sejenak. Lalu berlanjut. "Kudengar ... dia itu buruk sekali. Bodoh, suka mengamuk. Waktu Reghar naik tahta, dia diasingkan ke Kerajaan Wei."
Masih lengang. Ditrian pura-pura tuli.
"Ditrian, apa kau tidak takut? Kau menghancurkan kerajaannya, membunuh kakaknya. Apa kau ... tidak berpikir dia ingin membunuhmu?"
Ditrian meletakkan pena bulunya. Ia kini menatap Everon yang masih duduk santai.
"Menurutmu aku tidak berpikir begitu? Aku meminta Lady Emma untuk mengawasinya. Sekarang dia adalah anggota keluarga kerajaan. Aku tidak bisa sembarangan menyingkirkannya."
"Kalau kau punya ratu, kau bisa membuangnya kan?"
"Maksudmu?"
"Putri Duke Gidean von Monrad ... mengikuti debutante tahun lalu."
"Dan?"
"Dia menolak lamaran para bangsawan karena menunggumu. Dia sangat memujamu. Pergaulan kelas atas juga ramai membicarakannya. Dia pintar, cantik, anggun, dan mudah bergaul. Persis seperti Duke Gidean. Jika kau menjadikannya ratu, kau bisa mendapatkan kekuatan Duke Gidean juga!"
"Hm ...."
"Dua hari lagi pesta kemenangan. Aku yakin Lady Evelina akan datang!"
xxx
Putri Sheira membungkuk sedikit. "Selamat malam, Yang Mulia," ucapnya sopan.
Lady Emma telah mendandaninya. Gaun mewah biru muda dan perhiasan yang ia pakai tetap tak membantu wajah jelek itu. Ditrian merasa kasihan pada setiap permata di gaunnya. Mungkin akan lebih baik jika Lady Emma memakaikannya cadar.
Mereka berdiri di dekat tirai beludru. Di baliknya sudah ada ratusan bangsawan dan ksatria yang menghadiri pesta kemenangan sore itu.
"Bersikaplah sewajarnya. Kau tidak perlu bicara dengan siapapun," lirih Ditrian. Mereka sudah bergandengan.
"Apa menurutmu aku ingin b**a-basi dengan orang-orang ini?" ketusnya.
Suara hentakan tombak terdengar dua kali sebelum Ditrian sempat membalas.
"Yang Mulia Raja Ditrian von Canideus dan Putri Sheira von Canideus memasuki ruangan!" seru pengawal.
"Semoga ini cepat selesai," lirih Sheira.
Musik bernuansa agung dimainkan. Bersamaan dengan terbukanya tirai beludru di hadapan mereka.
Sinar lampu ruang pesta begitu benderang seperti matahari. Aula itu telah didekorasi dengan kristal dan bendera kerajaan. Indah. Mewah.
Warna merah dan biru tua saling memotong horizontal. Di tengahnya ada bordiran emas bentuk kepala serigala dengan mulut terbuka beserta taring-taringnya. Bendera simbol Kerajaan Canideus.
Mereka berdua melangkah dengan anggun. Dari balkon utama aula pesta, Ditrian bisa melihat semua ksatria dan bangsawan dari Grand Duke hingga sekelas Baron.
Biasanya mereka akan kagum, bertepuk tangan untuknya. Namun kali ini mereka hening. Ditambah semua orang memasang wajah jijik. Beberapa wanita membisik sambil melirik sinis saat ia dan Sheira menuruni tangga balkon.
Ditrian menggandeng istri jeleknya! Terjawab sudah rasa penasaran mereka pada selir baru raja.
Ia menelan ludah. Dengan tatapan muak semua orang di sana, pasti akan membuat wanita ini ciut. Pikirnya.
Ia melirik sesaat.
Kepala Sheira masih tinggi. Dadanya terbusung. Tak berkedip sedikitpun. Bahkan ia terlihat berani menatap para bangsawan Direwolf itu. Menatapi mata mereka satu per satu beserta telinga anjingnya.
Tubuh wanita di sampingnya terlihat sangat tenang. Tanpa mengguratkan rasa pahit secuil pun.
Apa karena dia merasa statusnya lebih tinggi dari mereka semua? Sebagai keluarga kerajaan? Sebagai istri Ditrian?
Entahlah. Yang pasti ini membuat Ditrian sedikit takjub. Ia juga menjadi tenang.
Sesampainya di lantai pesta, beberapa bangsawan mengucap salam pada Raja Ditrian. Namun mereka terlihat canggung dan sungkan untuk menyalam selir raja. Sheira hanya mengangguk dan sedikit tersenyum seperlunya saat ia diberi salam.
"Selamat malam Yang Mulia. Semoga Dewa senantiasa memberkati Anda," Grand Duke Everon membungkuk. Ia telah rapi dan bersahaja, juga wanita yang sangat cantik di sebelahnya.
Tidak setiap hari sepupunya itu menggandeng seorang gadis seperti ini.
Wajahnya muda dan terlihat cerah. Bibir gadis itu merah alami. Rambut coklatnya dibiarkan tergerai. Terlihat telinga coklat di kepalanya juga. Seorang Direwolf belia yang menawan. Elok sekali. Perhiasan dan dandanannya serasi dengan gaun hijau zamrud mewah di tubuh.
"Malam Grand Duke Everon ... dan ...?" sapa Ditrian, ia melirik gadis itu.
"Evelina von Monrad, Yang Mulia," Evelina tersenyum dengan begitu anggun dan sangat memikat.
Ditrian bisa merasakan jantungnya berdebar-debar. Everon benar-benar menepati kata-katanya. Ini jauh di luar perkiraan Ditrian. Dia tak menyangkan gadis bernama Evelina itu seluar biasa ini.
"Selamat malam Yang Mulia. Selamat malam, Tuan Putri Sheira."
Oh iya. Ada orang ini. Ditrian hampir lupa.
Ditrian canggung. Sungguh, demi dewa, dia ingin sekali bisa leluasa berbincang dengan Evelina. Dan Grand Duke Everon memasang wajah itu! Ya. Wajah yang mengatakan pada Ditrian,ayolah kawan!Dan Ditrian tahu apa maksudnya. Pria itu dengan hati-hati menoleh pada Sheira. "Mm ... Tuan Putri-" "Aku merasa haus," potongnya tiba-tiba. "Yang Mulia Raja, Yang Mulia Grand Duke, dan Lady Evelina ... aku mohon pamit. Silahkan berbincang. Jika Yang Mulia Raja membutuhkanku, aku akan berada di sebelah barat aula. Permisi, dan nikmati pestanya," Putri Sheira tersenyum sembari melepaskan gandengan pada Ditrian. Ia membungkuk sedikit lalu pergi. Tanpa Ditrian sempat mengangguk atau mengijinkan, ia pergi begitu saja. Melenggang melewati tamu-tamu seolah merasa tidak akan ada yang memperhatikannya. Tapi para bangsawan Direwolf ini menatap sinis saat ia lewat. Ditrian masih menatapi punggung Sheira hingga ia menghilang dalam kerumunan
"Aku berciuman dengan Lady Evelina," ucap Ditrian parau. Ia meremas rambut hitamnya sambil tertunduk lesu. "Bukankah itu hal yang bagus?" tanya Everon. Ia melihat Ditrian tiba-tiba setengah berlari menuju ruang serba guna. Grand Duke Everon pun menyusulnya. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres hingga Raja Ditrian bersikap seperti itu. Pria ini terlihat sangat gusar tadi. Kini ia duduk dengan memegangi kepalanya. "Tidak! Ada yang melihat kami!" sergahnya. "Siapa?" "Entahlah. Yang jelas tamu dari salah satu bangsawan. Apa yang akan mereka pikirkan tentangku?!" Everon hanya menepuk bahu tegang Ditrian. Ia menyeringai dan mendengkus geli dengan gelagat sepupunya itu. Beberapa saat kemudian ia mulai bicara. "Tenang saja kawan. Tidak akan ada rumor buruk tentangmu. Sepertinya seluruh pergaulan atas telah merestuimu dengan Evelina. Justru ini adalah hal bagus!" "Tapi ... bagaimana dengan Putri Sheira? Aku baru saja menikahi s
"Evelina! Evelina!" Duke Gidean von Monrad yang gemuk tergopoh. Ia langsung jatuh berlutut dan meraih Evelina dari pelukan Ditrian. "Panggil dokter!" perintah Ditrian. "Yang Mulia! Apa yang terjadi dengan putriku?!" tatap Duke Gidean pilu, ia mulai menangis. Wajah pria gemuk itu histeris, panik. Ia terisak dan wajahnya jadi basah air mata. Ia memanggil nama Evelina berkali-kali. Sesekali menggoyahkan putrinya agar bangun. Grand Duke Everon berusaha menenangkannya. Tak lama, beberapa dokter istana datang. Ditrian bangkit dan membiarkan dokter-dokter itu mengambil alih. Mereka menyentuh nadi dan leher Lady Evelina. Wajah Ditrian memucat. Seorang tamu, putri Duke pula! Keracunan di pestanya. Bahkan ia juga hampir meminum anggur yang sama. Dia merasakan sebuah keanehan. Seharusnya, bagi dirinya seorang Direwolf akan sangat mudah untuk mencium racun di anggur itu. Bahkan bisa dibilang, Ditrian sudah pernah membaui segala macam racun di benua ini.
"Sial!" umpatnya. Panik. Ia berdecak lalu memegangi dahinya. Sudah tak terkejut lagi, kini ia terlihat kesal. "Kau ini siapa?" tanya Ditrian lagi. Wanita itu kini menatapnya. "Aku ... Sheira!" Ditrian terpaku di sana. Baru pertama kali ia melihat wanita yang secantik ini seumur hidupnya. Wajahnya sangat unik. Hidungnya tinggi, pipinya merona seperti mawar. Bibirnya tipis mempesona. Seperti berasal dari negara lain. "Pasti Magi penyamaranku terlepas karena aku menggunakan Magi yang lain. Ah sial!" gerutunya. Ditrian tak mengerti apapun yang wanita itu ucapkan. Mata pria itu memicing. Ia lalu mengacungkan pedangnya lagi pada orang asing ini.
Baru saja Ditrian mendapatkan laporan kepala pengawal istana. Tidak ada tamu bangsawan yang terluka. Mereka bisa dievakuasi tepat waktu. Pagi itu ruang kerjanya sibuk. Dipenuhi beberapa dokumen dan laporan soal kejadian kemarin. Termasuk daftar benda yang terbakar dan perkiraan perawatan ruang pesta. Mungkin tidak akan bisa dipakai untuk acara selama beberapa minggu. "Yang Mulia. Lady Emma ingin bertemu dengan Anda," ucap pengawal. "Biarkan dia masuk," Ditrian duduk di kursi kerjanya. Dia hanya tidur sebentar semalam. Bekas kebakaran ruang pesta sedang diurus dan beberapa pegawai istana juga mondar-mandir ke ruangannya. Lady Emma masuk ke ruangan dengan terengah. Ia terlihat begitu tergesa. Wajahnya pucat dan panik. "Yang Mulia, m
"Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?" lirih Ditrian. Mata emas pria itu masih menggerayangi tubuh moleknya. Mencuri-curi pandang? Mungkin bisa dibilang begitu. Sheira mengernyit. Justru kini ia kebingungan. "Kau tahu 'kan? Sebenarnya di dunia ini kita semua sama. Kita adalah manusia yang sama. Tetapi dewa menurunkan mukjizat untuk setiap mahluk. Direwolf, Vampir, Elf ... kau bisa membedakan mereka dari telinga dan gigi-gigi mereka. Manusia setengah penyihir bisa mengendalikan elemen masing-masing seperti api, air, tanah, dan udara. Dan penyihir murni bisa menjadi elemen mereka seutuhnya, seperti yang kita hadapi waktu itu." Ditrian mengangguk kecil. Dia paham kalau hanya soal itu. "Lalu?" "Kita beruntung bisa mengalahkan y
Lady Emma adalah wanita Direwolf paruh baya. Ia berasal dari keluarga bangsawan kecil di wilayah barat kerajaan. Ia telah melayani mendiang ratu, ibunda Raja Ditrian. Dari pertama kali menikah, hingga langit memanggilnya saat ia terbaring di ranjang untuk terakhir kali. Sudah bertahun-tahun lamanya, hingga Raja Ditrian menikahi seorang selir. Putri yang buruk rupa. Dayang istana, putri-putri bangsawan yang masih muda banyak mengeluh. Menggerutu. Mereka merasa kehormatannya diinjak karena harus melayani selir buruk rupa. Dari negeri jajahan pula. Lady Emma juga sedih. Tetapi ia hanya ingin melakukan yang terbaik di hari tuanya. Sebagai kepala dayang istana. Pagi ini seperti biasa
"Sebetulnya dia ingin ikut bersama kami ke istana. Namun dokter belum mengijinkan," sambung Duchess Anna. Ditrian agak merasa canggung. Ia melirik Sheira yang diam mendengarkan. "Ah begitu. Bagus kalau Lady Evelina sudah lebih baik," ucapnya berusaha tenang. "Akan menjadi sebuah kehormatan jika kami bisa membalas kebaikan Yang Mulia. Kami akan memberikan apapun," Duke Gidean tersenyum di balik kumisnya yang tebal dan rapi. "Ah itu tidak perlu, Tuan Duke," jawab Ditrian. Ingin sekali ia mengalihkan topik tentang Evelina. "Tidak. Tidak Yang Mulia. Kami benar-benar ingin membalas kebaikan Yang Mulia. Evelina adalah anak kami satu-satunya. Dia adalah nyawa dan harapan dari keluarga