Share

3. Para Bangsawan

Setelah malam itu, Ditrian sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki ke kamar selirnya lagi. Seolah pernikahan itu tidak pernah terjadi.

"Ini tidak adil Yang Mulia!" pekik Viscount Elliot. "Kita sudah mengorbankan banyak hal dan perbekalan agar kekaisaran bisa memenangkan perang. Tetapi kita hanya mendapat wilayah Galdea Timur!"

"Itu adalah titah Baginda Kaisar, Viscount Elliot," ucap Marquess Riven lirih.

"Diam kau! Kau juga tidak melawan saat Kaisar menurunkan titah itu! Kau ini ada di pihak siapa Marquess Riven?!"

"Beraninya Anda mempertanyakan kesetiaanku pada kerajaan!" bantah Marquess Riven pada Viscount Elliot. Tuduhan itu sudah kelewatan.

"Sudahlah," ucap Raja Ditrian pasrah.

"Tidak bisa begitu Yang Mulia! Jika kita tak mendapatkan wilayah yang menguntungkan, seluruh kerajaan bisa kelaparan di musim dingin nanti," Viscount Elliot kembali menoleh pada Marquess Riven. "Sekarang kau paham kan apa yang telah kau perbuat, Marquess?!"

"Apa kau benar-benar peduli pada rakyat, atau kau hanya serakah, Viscount?! Semua orang di sini tahu. Kau marah karena tadinya kau yang diminta mengurus pertambangan kan?"

"Setidaknya aku bukan orang yang membawa penghinaan bagi raja! Seperti kau!"

"Diam!" lantang Raja Ditrian. Membungkam kedua orang itu. Kini mereka hanya bisa menatap nanar satu sama lain dari meja yang berseberangan.

"Bukan salah Marquess Riven titah kaisar turun. Bangsawan siapapun yang ada di ibukota kekaisaran bisa saja ditunjuk oleh kaisar untuk menyampaikan titah ini. Dan soal persediaan makanan musim dingin, kita bicarakan hari ini."

xxx

"Aku tak menyangka Viscount Elliot berani berkata seperti itu pada Marquess. Padahal gelarnya di bawah Marquess," ucap Grand Duke Everon sambil meminum tehnya. Ia kembali bersandar di sofa mewah nan nyaman milik istana.

Kini mereka berdua ada di ruang kerja raja. Ruang di mana Raja Ditrian menghabiskan sebagian besar waktunya. Ukurannya sekitar sepuluh kali sepuluh meter dengan lantai marmer coklat tua. Di samping-sampingnya ditutupi oleh rak-rak berisi dokumen-dokumen penting. Ada perapian juga di dinding sebelah kanan.

Di tengah ruang kerja ada satu set sofa merah beludur yang nyaman lengkap dengan meja kopi. Dari kayu mahoni yang diukir bentuk sulur-sulur daun anggur di tepi-tepiannya.

Di bagian paling ujung tentu meja kerja raja. Meja dari kayu pohon ceri yang sangat lebar. Dipernis hingga mengilap. Juga kursi kerja raja dengan sandaran yang tinggi dan diukir sulur anggur juga.

Di belakang kursi raja, sebuah pintu kaca sangat besar. Ada balkon di sana. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu saat siang hari. Pemandangan langsung ke salah satu bagian taman istana. Jika sedang bosan, Raja Ditrian akan meminum segelas wiski dan bersandar di pagar balkon.

Grand Duke Everon seringkali meluangkan waktu dengan Raja Ditrian seusai rapat partai bangsawan dan istana.

"Oh iya. Bagaimana kabar selirmu?" tanyanya sambil menyadar santai pada sofa merah.

"Entahlah," singkat Ditrian. Tangannya sibuk menggores pena bulu pada dokumen di atas meja kerja.

"Aku mendapat rumor-rumor tentangnya," goresan tangan Ditrian sempat terhenti sejenak. Lalu berlanjut. "Kudengar ... dia itu buruk sekali. Bodoh, suka mengamuk. Waktu Reghar naik tahta, dia diasingkan ke Kerajaan Wei."

Masih lengang. Ditrian pura-pura tuli.

"Ditrian, apa kau tidak takut? Kau menghancurkan kerajaannya, membunuh kakaknya. Apa kau ... tidak berpikir dia ingin membunuhmu?"

Ditrian meletakkan pena bulunya. Ia kini menatap Everon yang masih duduk santai.

"Menurutmu aku tidak berpikir begitu? Aku meminta Lady Emma untuk mengawasinya. Sekarang dia adalah anggota keluarga kerajaan. Aku tidak bisa sembarangan menyingkirkannya."

"Kalau kau punya ratu, kau bisa membuangnya kan?"

"Maksudmu?"

"Putri Duke Gidean von Monrad ... mengikuti debutante tahun lalu."

"Dan?"

"Dia menolak lamaran para bangsawan karena menunggumu. Dia sangat memujamu. Pergaulan kelas atas juga ramai membicarakannya. Dia pintar, cantik, anggun, dan mudah bergaul. Persis seperti Duke Gidean. Jika kau menjadikannya ratu, kau bisa mendapatkan kekuatan Duke Gidean juga!"

"Hm ...."

"Dua hari lagi pesta kemenangan. Aku yakin Lady Evelina akan datang!"

xxx

Putri Sheira membungkuk sedikit. "Selamat malam, Yang Mulia," ucapnya sopan.

Lady Emma telah mendandaninya. Gaun mewah biru muda dan perhiasan yang ia pakai tetap tak membantu wajah jelek itu. Ditrian merasa kasihan pada setiap permata di gaunnya. Mungkin akan lebih baik jika Lady Emma memakaikannya cadar. 

Mereka berdiri di dekat tirai beludru. Di baliknya sudah ada ratusan bangsawan dan ksatria yang menghadiri pesta kemenangan sore itu.

"Bersikaplah sewajarnya. Kau tidak perlu bicara dengan siapapun," lirih Ditrian. Mereka sudah bergandengan.

"Apa menurutmu aku ingin b**a-basi dengan orang-orang ini?" ketusnya.

Suara hentakan tombak terdengar dua kali sebelum Ditrian sempat membalas.

"Yang Mulia Raja Ditrian von Canideus dan Putri Sheira von Canideus memasuki ruangan!" seru pengawal.

"Semoga ini cepat selesai," lirih Sheira.

Musik bernuansa agung dimainkan. Bersamaan dengan terbukanya tirai beludru di hadapan mereka.

Sinar lampu ruang pesta begitu benderang seperti matahari. Aula itu telah didekorasi dengan kristal dan bendera kerajaan. Indah. Mewah.

Warna merah dan biru tua saling memotong horizontal. Di tengahnya ada bordiran emas bentuk kepala serigala dengan mulut terbuka beserta taring-taringnya. Bendera simbol Kerajaan Canideus.

Mereka berdua melangkah dengan anggun. Dari balkon utama aula pesta, Ditrian bisa melihat semua ksatria dan bangsawan dari Grand Duke hingga sekelas Baron.

Biasanya mereka akan kagum, bertepuk tangan untuknya. Namun kali ini mereka hening. Ditambah semua orang memasang wajah jijik. Beberapa wanita membisik sambil melirik sinis saat ia dan Sheira menuruni tangga balkon.

Ditrian menggandeng istri jeleknya! Terjawab sudah rasa penasaran mereka pada selir baru raja.

Ia menelan ludah. Dengan tatapan muak semua orang di sana, pasti akan membuat wanita ini ciut. Pikirnya.

Ia melirik sesaat.

Kepala Sheira masih tinggi. Dadanya terbusung. Tak berkedip sedikitpun. Bahkan ia terlihat berani menatap para bangsawan Direwolf itu. Menatapi mata mereka satu per satu beserta telinga anjingnya.

Tubuh wanita di sampingnya terlihat sangat tenang. Tanpa mengguratkan rasa pahit secuil pun.

Apa karena dia merasa statusnya lebih tinggi dari mereka semua? Sebagai keluarga kerajaan? Sebagai istri Ditrian?

Entahlah. Yang pasti ini membuat Ditrian sedikit takjub. Ia juga menjadi tenang.

Sesampainya di lantai pesta, beberapa bangsawan mengucap salam pada Raja Ditrian. Namun mereka terlihat canggung dan sungkan untuk menyalam selir raja. Sheira hanya mengangguk dan sedikit tersenyum seperlunya saat ia diberi salam.

"Selamat malam Yang Mulia. Semoga Dewa senantiasa memberkati Anda," Grand Duke Everon membungkuk. Ia telah rapi dan bersahaja, juga wanita yang sangat cantik di sebelahnya.

Tidak setiap hari sepupunya itu menggandeng seorang gadis seperti ini.

Wajahnya muda dan terlihat cerah. Bibir gadis itu merah alami. Rambut coklatnya dibiarkan tergerai. Terlihat telinga coklat di kepalanya juga. Seorang Direwolf belia yang menawan. Elok sekali. Perhiasan dan dandanannya serasi dengan gaun hijau zamrud mewah di tubuh.

"Malam Grand Duke Everon ... dan ...?" sapa Ditrian, ia melirik gadis itu.

"Evelina von Monrad, Yang Mulia," Evelina tersenyum dengan begitu anggun dan sangat memikat.

Ditrian bisa merasakan jantungnya berdebar-debar. Everon benar-benar menepati kata-katanya. Ini jauh di luar perkiraan Ditrian. Dia tak menyangkan gadis bernama Evelina itu seluar biasa ini.

"Selamat malam Yang Mulia. Selamat malam, Tuan Putri Sheira."

Oh iya. Ada orang ini. Ditrian hampir lupa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sera Mayumi
Awas aja ya Ditrian. Ntar kalo selirnya cakep gak usah sok2an bucin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status