Ditrian canggung. Sungguh, demi dewa, dia ingin sekali bisa leluasa berbincang dengan Evelina. Dan Grand Duke Everon memasang wajah itu!
Ya. Wajah yang mengatakan pada Ditrian, ayolah kawan! Dan Ditrian tahu apa maksudnya.
Pria itu dengan hati-hati menoleh pada Sheira.
"Mm ... Tuan Putri-"
"Aku merasa haus," potongnya tiba-tiba. "Yang Mulia Raja, Yang Mulia Grand Duke, dan Lady Evelina ... aku mohon pamit. Silahkan berbincang. Jika Yang Mulia Raja membutuhkanku, aku akan berada di sebelah barat aula. Permisi, dan nikmati pestanya," Putri Sheira tersenyum sembari melepaskan gandengan pada Ditrian. Ia membungkuk sedikit lalu pergi.
Tanpa Ditrian sempat mengangguk atau mengijinkan, ia pergi begitu saja. Melenggang melewati tamu-tamu seolah merasa tidak akan ada yang memperhatikannya. Tapi para bangsawan Direwolf ini menatap sinis saat ia lewat.
Ditrian masih menatapi punggung Sheira hingga ia menghilang dalam kerumunan tamu bangsawan.
"Syukurlah dia pergi," gumam Everon lirih. "Yang Mulia ...."
"Y-Ya?" Ditrian disadarkan oleh Everon. Wajahnya kembali tertengok pada mereka berdua.
"Anda bilang padaku kemarin ingin berbincang dengan Lady Evelina."
'Apa iya?'
Everon mengedipkan sebelah matanya.
'Oh ....' Ditrian paham ini akal-akalan Everon.
"Saya merasa tersanjung karena ternyata Yang Mulia juga memperhatikan saya," ucap Evelina.
"A-ah begitu ...."
Evelina mengangguk sambil tersipu malu.
"Yang Mulia Grand Duke Everon bilang, Yang Mulia Raja menanyakan tentang saya sesekali. Saya merasa sangat terhormat."
"Sepertinya Grand Duke Everon memang pandai menyampaikan sesuatu." Mata Ditrian menatap puas sepupunya itu. Everon hanya cengar-cengir saja.
"Baiklah. Aku akan meninggalkan Lady Evelina dan Yang Mulia Raja. Aku masih harus menemui beberapa bangsawan. Selamat menikmati pestanya."
Dengan sengaja Everon meninggalkan mereka berdua.
Ditrian gugup, sedangkan Evelina berbinar. Gadis itu terlihat bersemangat. Namun sang raja tidak tahu harus mengobrol apa. Ia begitu berusaha menenangkan jantungnya yang seperti genderang perang. Ia bisa merasakan bulir keringat menetes di tengkuk dan pelipis.
Biasanya Ditrian akan seperlunya saja pada gadis-gadis bangsawan. Namun yang ia hadapi sekarang adalah anak perempuan dari Duke Gidean von Monrad. Mau dikata bagaimanapun, Everon benar. Evelina berhasil memikatnya. Dan ... dia harus mendapatkan simpati Duke Gidean.
Musik dansa mulai terdengar. Beberapa tamu mulai berdansa. Sebuah ide muncul entah dari mana.
"Lady, apakah Anda mau berdansa denganku?" ajak Ditrian sembari tersenyum.
Evelina terkejut. Senang sekali kelihatannya. Senyuman Ditrian itu memang bisa memikat wanita manapun. Ia sering tidak sengaja tersenyum pada putri bangsawan di suatu pesta. Berujung mendapatkan surat-surat dari mereka di keesokan harinya.
"Tentu! Tentu saja Yang Mulia!" Ia berusaha menahan tubuhnya untuk berjingkrak. Berusaha tetap anggun. Padahal wajah memerahnya menyiratkan segalanya.
Raja Ditrian dan Evelina putri Duke Gidean von Monrad pun menuju lantai dansa. Beberapa tamu yang tengah berdansa memberikan mereka ruang.
Musik dimainkan. Bisik-bisik mulai muncul. Mereka membungkuk memberi hormat, saling memeluk dan berpegangan tangan, lalu mulai berdansa.
"Ini luar biasa! Yang Mulia Raja berdansa dengan Lady Evelina!" gumam orang-orang di sekitar.
"Lihatlah mereka! Cocok sekali! Sangat serasi seperti sepasang merpati!" seru tamu yang lain.
Ya. Mereka begitu mempesona. Raja Ditrian yang rupawan dan gagah. Dengan Evelina yang sangat cantik dan elok.
Tidak ada tamu lain yang berdansa kala itu. Lantai ruang dansa sepenuhnya diberikan dengan suka cita pada mereka berdua. Sungguh romantis.
Pelukis kerajaan yang mengabadikan pesta sampai mengangkat kanvas baru. Ia buru-buru melukis mereka berdua. Gaun hijau zamrud Lady Evelina begitu luwes terbang landai mengikuti kemana ia berputar. Tatapan mereka berdua begitu lekat. Begitu dalam. Seolah hanya ada mereka berdua di ruangan itu.
Seperti sepasang kekasih di negeri dongeng yang punya akhir bahagia. Semua orang bersorak. Evelina dan Raja Ditrian berdansa dengan harmonis. Terlebih lagi dengan wajah cantik Evelina yang memancarkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Hingga dansa selaras mereka berakhir, Evelina masih tersenyum.
Sorakan dan teriakan serta gemuruh tepuk tangan memenuhi aula pesta. Grand Duke Everon-lah yang terlihat paling bersemangat.
"Itu baru sepupuku!" serunya.
Semua bangsawan di sana terlihat senang melihat mereka berdua.
Keduanya pun melangkah keluar dari lantai dansa utama. Bagian ruang pesta itu kembali dipenuhi oleh tamu-tamu lain dan pasangan mereka.
"Terimakasih telah mengajakku berdansa, Yang Mulia," ucap Evelina. Ia sedikit berkeringat, tetapi wajahnya begitu cerah.
"Semoga kita bisa melakukannya lagi lain waktu, Lady Evelina. Dan ... jika ada kesempatan ... aku berharap bisa menemui Duke Gidean."
Pipi Evelina kembali merah padam.
Ribuan asumsi muncul di kepalanya. Mengapa Raja Ditrian ingin menemui ayahnya?! Apa jangan-jangan ... dia ingin melamar?!
Wajah Evelina menyiratkan semua itu.
"Aku berharap Duke Gidean bisa membantu kerajaan," ucap Ditrian meluruskan.
"Yang Mulia ... apakah ... apakah kita bisa ke tempat yang lebih tenang?" Evelina menjadi terbata. Tangannya terlihat agak gemetar.
"Ada apa Lady? Apa Anda sakit?"
Evelina menggeleng dengan gugup. "Ada yang ingin saya sampaikan pada Yang Mulia."
"Katakan saja," ucap Ditrian tenang.
"Saya ... tidak bisa mengatakannya di sini. Terlalu ramai," mata hijau gadis itu melirik kesana kemari, ke kerumunan tamu-tamu.
Ditrian melihat sekitar. Ya. Memang sangat ramai dan bising. Dia bisa melihat Everon di suatu sudut tertawa terbahak-bahak dengan para bangsawan.
"Baiklah."
Akhirnya mereka menuju ke sebuah sudut aula istana. Ada tirai beludru mewah dan berat di sana. Di balik tirai itu terdapat sebuah balkon yang menunjukkan pemandangan taman istana di malam hari.
Agak gelap. Namun cahaya rembulan membantu mereka menatap satu sama lain.
"Ada apa Lady?" tanya Ditrian sekali lagi. Suara bising pesta terredam oleh tirai beludru tebal.
Evelina tertunduk. Ia tak lagi bisa mengendalikan wajahnya. Gugup segugup gugupnya. Tangannya saling bertautan dengan canggung, memainkan ujung jarinya.
"Yang Mulia ... sejujurnya ...," ia mendongak perlahan. "Saya mencintai Anda." Ia memandang Ditrian sungguh-sungguh.
Jantung Evelina berdebar begitu dahsyat. Matanya berkaca saat menatap Ditrian. "Saya sangat mencintai Yang Mulia!" serunya lagi.
Ditrian memaku. Ia hanya bisa menatap wanita cantik itu berkaca-kaca di hadapannya. Entah berapa lama bagi otak Direwolf-nya untuk memahami semua itu. Evelina yang menunggu-nunggu pun mulai tidak sabar.
"Apa ... Yang Mulia tidak menyukaiku?" tanyanya mengiba.
"Ah ... bukan begitu Lady. Hanya saja ...," Ditrian tidak bisa meneruskan kalimatnya. Ia kehabisan kata-kata.
"Jadi ... Yang Mulia juga menyukaiku?" mata hijau gadis itu menatapnya penuh harap.
Di dalam relung hatinya, dia tidak tahu. Apakah dirinya terpikat pada Evelina sejak pandangan pertama? Apakah dia juga menyukai gadis itu? Ayolah! Gadis ini sangat sempurna!
Tiba-tiba, wajah Duke Gidean von Monrad tergambar di kepalanya.
Ah. Itu Benar.
Ini demi simpati Duke Gidean! Dan ia tidak mungkin menghancurkan malam terindah putrinya kali ini.
Ditrian masih bungkam. Gadis itu terlihat sempurna dari ujung kaki hingga rambut. Sikap dan latar belakang keluarganya juga sempurna.
Betul kata Everon. Dia sangat cocok jika dijadikan ratu.
Apakah ... sebaiknya Ditrian mengambil kesempatan ini? Mungkinkah dia akan mencintai wanita ini?
Cukup lama Ditrian bergeming. Kaki gadis itu perlahan mendekat. Hanya ada mereka berdua. Angin lembut menyapu wajah keduanya. Menerbangkan beberapa helai rambut Lady Evelina. Sinar perak rembulan memantulkan cahaya yang menawan dari mata hijau gadis itu.
Tangan putih Evelina yang ramping meraba lembut ke dadanya. Merambat ke baju mahal milik raja. Menyentuh setiap sulaman emas di kain sutera biru tuanya. Ia bisa merasakan sentuhan hangat Evelina.
Wajah gadis itu mendekat. Ia menaikkan tumitnya, ingin menggapai Ditrian yang jangkung itu.
Tangannya tadi ternyata sudah sampai ke tengkuknya. Menekan perlahan dan ....
"Mmmh."
Sebuah ciuman terjadi. Bibir Ditrian merasakan sentuhan yang lembut dan hangat. Mata Evelina terpejam seluruhnya.
Munafik jika mengatakan ia tak menikmati berciuman dengan Evelina. Bibirnya yang basah, lidah gadis itu yang meliuk, serta barisan gigi yang ia raba dengan lidahnya.
Begitu memikat, begitu memuaskan, begitu bergairah.
Entah sejak kapan Ditrian memeluk punggung Evelina dan membuat tubuh mereka mendekat. Ditrian begitu menikmatinya. Mungkin ... selama beberapa menit ciuman terjadi. Membuat mereka hilang akal sejenak. Dimabukkan oleh ciuman panas itu.
Hingga ....
"Eve-! Ah! Maaf! Maaf Yang Mulia!"
Mereka berdua terkejut dan Ditrian spontan mendorong tubuh Evelina. Panik.
Seorang gadis bangsawan tak sengaja memergoki mereka berdua. Mungkin itu teman Evelina atau siapa. Ia sudah pergi.
Namun waktu sepersekian detik yang ia lihat dengan Evelina, bisa membuat kehebohan di pergaulan kelas atas.
"Aku berciuman dengan Lady Evelina," ucap Ditrian parau. Ia meremas rambut hitamnya sambil tertunduk lesu. "Bukankah itu hal yang bagus?" tanya Everon. Ia melihat Ditrian tiba-tiba setengah berlari menuju ruang serba guna. Grand Duke Everon pun menyusulnya. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres hingga Raja Ditrian bersikap seperti itu. Pria ini terlihat sangat gusar tadi. Kini ia duduk dengan memegangi kepalanya. "Tidak! Ada yang melihat kami!" sergahnya. "Siapa?" "Entahlah. Yang jelas tamu dari salah satu bangsawan. Apa yang akan mereka pikirkan tentangku?!" Everon hanya menepuk bahu tegang Ditrian. Ia menyeringai dan mendengkus geli dengan gelagat sepupunya itu. Beberapa saat kemudian ia mulai bicara. "Tenang saja kawan. Tidak akan ada rumor buruk tentangmu. Sepertinya seluruh pergaulan atas telah merestuimu dengan Evelina. Justru ini adalah hal bagus!" "Tapi ... bagaimana dengan Putri Sheira? Aku baru saja menikahi s
"Evelina! Evelina!" Duke Gidean von Monrad yang gemuk tergopoh. Ia langsung jatuh berlutut dan meraih Evelina dari pelukan Ditrian. "Panggil dokter!" perintah Ditrian. "Yang Mulia! Apa yang terjadi dengan putriku?!" tatap Duke Gidean pilu, ia mulai menangis. Wajah pria gemuk itu histeris, panik. Ia terisak dan wajahnya jadi basah air mata. Ia memanggil nama Evelina berkali-kali. Sesekali menggoyahkan putrinya agar bangun. Grand Duke Everon berusaha menenangkannya. Tak lama, beberapa dokter istana datang. Ditrian bangkit dan membiarkan dokter-dokter itu mengambil alih. Mereka menyentuh nadi dan leher Lady Evelina. Wajah Ditrian memucat. Seorang tamu, putri Duke pula! Keracunan di pestanya. Bahkan ia juga hampir meminum anggur yang sama. Dia merasakan sebuah keanehan. Seharusnya, bagi dirinya seorang Direwolf akan sangat mudah untuk mencium racun di anggur itu. Bahkan bisa dibilang, Ditrian sudah pernah membaui segala macam racun di benua ini.
"Sial!" umpatnya. Panik. Ia berdecak lalu memegangi dahinya. Sudah tak terkejut lagi, kini ia terlihat kesal. "Kau ini siapa?" tanya Ditrian lagi. Wanita itu kini menatapnya. "Aku ... Sheira!" Ditrian terpaku di sana. Baru pertama kali ia melihat wanita yang secantik ini seumur hidupnya. Wajahnya sangat unik. Hidungnya tinggi, pipinya merona seperti mawar. Bibirnya tipis mempesona. Seperti berasal dari negara lain. "Pasti Magi penyamaranku terlepas karena aku menggunakan Magi yang lain. Ah sial!" gerutunya. Ditrian tak mengerti apapun yang wanita itu ucapkan. Mata pria itu memicing. Ia lalu mengacungkan pedangnya lagi pada orang asing ini.
Baru saja Ditrian mendapatkan laporan kepala pengawal istana. Tidak ada tamu bangsawan yang terluka. Mereka bisa dievakuasi tepat waktu. Pagi itu ruang kerjanya sibuk. Dipenuhi beberapa dokumen dan laporan soal kejadian kemarin. Termasuk daftar benda yang terbakar dan perkiraan perawatan ruang pesta. Mungkin tidak akan bisa dipakai untuk acara selama beberapa minggu. "Yang Mulia. Lady Emma ingin bertemu dengan Anda," ucap pengawal. "Biarkan dia masuk," Ditrian duduk di kursi kerjanya. Dia hanya tidur sebentar semalam. Bekas kebakaran ruang pesta sedang diurus dan beberapa pegawai istana juga mondar-mandir ke ruangannya. Lady Emma masuk ke ruangan dengan terengah. Ia terlihat begitu tergesa. Wajahnya pucat dan panik. "Yang Mulia, m
"Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?" lirih Ditrian. Mata emas pria itu masih menggerayangi tubuh moleknya. Mencuri-curi pandang? Mungkin bisa dibilang begitu. Sheira mengernyit. Justru kini ia kebingungan. "Kau tahu 'kan? Sebenarnya di dunia ini kita semua sama. Kita adalah manusia yang sama. Tetapi dewa menurunkan mukjizat untuk setiap mahluk. Direwolf, Vampir, Elf ... kau bisa membedakan mereka dari telinga dan gigi-gigi mereka. Manusia setengah penyihir bisa mengendalikan elemen masing-masing seperti api, air, tanah, dan udara. Dan penyihir murni bisa menjadi elemen mereka seutuhnya, seperti yang kita hadapi waktu itu." Ditrian mengangguk kecil. Dia paham kalau hanya soal itu. "Lalu?" "Kita beruntung bisa mengalahkan y
Lady Emma adalah wanita Direwolf paruh baya. Ia berasal dari keluarga bangsawan kecil di wilayah barat kerajaan. Ia telah melayani mendiang ratu, ibunda Raja Ditrian. Dari pertama kali menikah, hingga langit memanggilnya saat ia terbaring di ranjang untuk terakhir kali. Sudah bertahun-tahun lamanya, hingga Raja Ditrian menikahi seorang selir. Putri yang buruk rupa. Dayang istana, putri-putri bangsawan yang masih muda banyak mengeluh. Menggerutu. Mereka merasa kehormatannya diinjak karena harus melayani selir buruk rupa. Dari negeri jajahan pula. Lady Emma juga sedih. Tetapi ia hanya ingin melakukan yang terbaik di hari tuanya. Sebagai kepala dayang istana. Pagi ini seperti biasa
"Sebetulnya dia ingin ikut bersama kami ke istana. Namun dokter belum mengijinkan," sambung Duchess Anna. Ditrian agak merasa canggung. Ia melirik Sheira yang diam mendengarkan. "Ah begitu. Bagus kalau Lady Evelina sudah lebih baik," ucapnya berusaha tenang. "Akan menjadi sebuah kehormatan jika kami bisa membalas kebaikan Yang Mulia. Kami akan memberikan apapun," Duke Gidean tersenyum di balik kumisnya yang tebal dan rapi. "Ah itu tidak perlu, Tuan Duke," jawab Ditrian. Ingin sekali ia mengalihkan topik tentang Evelina. "Tidak. Tidak Yang Mulia. Kami benar-benar ingin membalas kebaikan Yang Mulia. Evelina adalah anak kami satu-satunya. Dia adalah nyawa dan harapan dari keluarga
"Aku berada di sini, memang ingin menemui Tuan Duke dan Duchess. Sayangnya Lady Evelina tidak hadir," ucap Putri Sheira dengan tenang dan anggun. Di meja itu, sudah tidak ada lagi yang bisa bicara. "Aku ingin meminta maaf kepada Lady Evelina karena telah memukulnya saat di pesta. Dan pastinya membuat salah paham. Semata-mata kulakukan agar racunnya bisa dimuntahkan secepatnya. Oleh karena itu, aku atas nama pribadi dan keluarga kerajaan, dari lubuk hati yang paling dalam, meminta maaf pada keluarga Duke dan Duchess Monrad, terutama Lady Evelina." Putri Sheira dengan anggun membungkuk sedikit di kursinya. Wajahnya terlihat mengiba dan prihatin, menunjukkan sebuah penyesalan. Duke Gidean telah pasi, namun ia tetap balas membungkuk.