"Sial!" umpatnya. Panik. Ia berdecak lalu memegangi dahinya. Sudah tak terkejut lagi, kini ia terlihat kesal.
"Kau ini siapa?" tanya Ditrian lagi.
Wanita itu kini menatapnya. "Aku ... Sheira!"
Ditrian terpaku di sana. Baru pertama kali ia melihat wanita yang secantik ini seumur hidupnya. Wajahnya sangat unik. Hidungnya tinggi, pipinya merona seperti mawar. Bibirnya tipis mempesona. Seperti berasal dari negara lain.
"Pasti Magi penyamaranku terlepas karena aku menggunakan Magi yang lain. Ah sial!" gerutunya. Ditrian tak mengerti apapun yang wanita itu ucapkan.
Mata pria itu memicing. Ia lalu mengacungkan pedangnya lagi pada orang asing ini.
"Jangan main-main denganku! Apa kau juga ingin membunuhku?!" Ditrian memasang kuda-kudanya dengan waspada.
"Aku tidak-"
Ucapan wanita asing ini terpotong oleh teriakan dari ruang pesta. Mata wanita itu menuju ke ujung lorong. Seolah ia ingin segera berlari ke sana juga. Seperti Ditrian.
"Kita harus ke ruang pesta!" ucap wanita itu. Ditrian terlihat ragu.
"Apa yang membuatku harus menuruti ucapanmu?"
"Apa-apaan kau ini?! Kalau mereka diserang penyihir lain bagaimana?!" tukasnya.
Itu benar. Ditrian juga mengkhawatirkan itu. Ia menurunkan pedangnya. Dan nampaknya wanita ini lebih terlihat kesal daripada dirinya.
"Kau ikut denganku. Jangan coba kabur! Aku bisa membunuhmu di tempatmu berdiri!" ancamnya.
Lalu Ditrian menarik kasar lengan wanita itu dan mulai berjalan dengan cepat. Menyeretnya dengan semena-mena sepanjang koridor. Dan memaksanya agar bisa mengikuti langkah kakinya yang panjang.
"Akhh! Sakit!" rintihnya. "Hentikan! Aku tidak bisa seperti ini!"
"Tidak usah banyak protes!" masih tetap menyeret. Ditrian mulai agak kesal dengan keluhan-keluhan wanita ini.
"Lepaskan!" berontaknya hingga ia berhasil melepaskan lengan dari jeratan Ditrian. Ia mengelus-elus lengan kurus itu. "Menyebalkan! Sini! Cepat! Berikan jubahmu."
"Untuk apa?"
"Aku tidak bisa menunjukkan wajah ini pada orang-orang. Cepat berikan saja!"
Ditrian kesal. Ia segera melepas jubahnya dan melempar pada wanita itu. Dengan serta merta dipakainya jubah biru tua yang mahal dan mewah. Hanya butuh waktu yang singkat. Ia menutupi sebagian besar wajahnya dengan tudung. Hanya dagu dan bibirnya saja yang terlihat.
"Ayo!" serunya. Mereka lalu berlari menyusuri lorong-lorong istana, hingga sampai ke ruang pesta.
Asap putih mengepul di sana. Hingga pandangan tertutup olehnya. Huru-hara para prajurit keluar masuk melalui pintu ruang pesta. Ada seorang prajurit yang terbatuk-batuk keluar dari kepulan asap.
"Ada apa ini?!" cegat Ditrian.
"Uhuk! Yang Mulia ... tiba-tiba tirai di ruang pesta terbakar dan apinya kemana-mana. Kami mencoba memadamkannya."
"Lalu para tamu?"
"Mereka ada di tempat yang aman. Tetapi lampu gantung tiba-tiba jatuh dan menimpa dua orang prajurit. Kaki mereka luka."
"Hanya kebakaran? Itu saja?"
"Iya Yang Mulia. Sebaiknya Anda jangan berada di sini. Masih banyak asap."
"Padamkan api itu. Pastikan semua orang selamat."
"Baik Yang Mulia!" lalu prajurit itu kembali sibuk seperti yang lain. Ditrian masih berdiri di tempat yang sama.
"Apakah ada penyihir api yang lain di dalam sana?" gumamnya. Jika ada, gawat sekali.
"Tidak ada," ucap wanita itu. Membuat Ditrian menoleh.
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku tahu."
xxx
Kacau. Sungguh kacau suasana malam itu. Grand Duke Everon berhasil mengambil alih dan membantu mengevakuasi semua orang. Sebagian besar tamu sudah pulang. Hanya tinggal beberapa saja.
Salah satunya Evelina yang kritis, dan Duke Gidean yang menangis.
Kini Ditrian tengah menghadapi situasi yang tidak masuk akal baginya. Dia tidak bisa melepaskan begitu saja wanita misterius ini. Dia juga harus memberikan kejelasan pada kondisi Evelina.
Gadis itu meminum anggur di pestanya!
Kini Ditrian dan wanita itu berdiri di lorong bangsal istana. Ia terbalut jubah biru tua miliknya, berdiri di dekat pilar besar. Grand Duke Everon masih sibuk mengurus kepulangan para tamu. Entah ada di mana.
Ditrian terlihat bingung. Hanya bisa memandangi para dokter bekerja dari luar pintu bangsal. Ia juga tak bisa melepaskan pengawasannya dari wanita ini.
"Tidak ada waktu lagi. Kita harus menyelamatkannya," lirihnya dari balik tudung jubah.
"Dokter sedang berusaha. Kau tidak lihat?" mata emas pria itu menunjuk.
"Percuma. Dokter-dokter itu tidak akan tahu," sanggahnya. Ditrian terlihat tidak suka. Tapi mereka sudah menunggu sejam lebih. Wajah para dokter juga masih tegang. "Kita tidak punya banyak waktu. Jika kau ingin kekasihmu selamat, kau harus ikuti ucapanku."
Ditrian mengernyit. "Ke-kekasih?! Dia bukan-"
"Perintahkan semua orang untuk pergi dari sini. Aku akan mengurus sisanya."
Tangan Ditrian mengepal. Tak pernah sekali pun dalam hidupnya, sejak ia menjadi seorang raja. Ada orang asing yang lancang memerintahnya begini. Namun, pria itu tak punya pilihan. Ia harus menyelamatkan Evelina putri Duke Gidean.
Ditrian masuk ke dalam bangsal, lalu meminta para dokter, perawat, bahkan Duke Gidean untuk meninggalkan ruangan.
"Tapi Yang Mulia ... kami masih belum tahu racun macam apa ini."
"Ikuti saja perintahku," singkatnya. Bingung, namun pada akhirnya para dokter mengangguk dan meninggalkan bangsal. Bahkan Duke Gidean terlihat sangat terluka saat harus meninggalkan putrinya yang sekarat itu. Ia tersedu.
Setelah semua orang pergi dan jauh dari bangsal, ia membiarkan wanita asing itu masuk, lalu menutup pintu bangsal.
"Kau boleh pergi. Aku harus-"
"Apa menurutmu aku percaya padamu? Aku akan tetap di sini. Kalau kau macam-macam pada Evelina, aku akan-"
"Membunuhku di tempatku berdiri?" potongnya. "Kau sudah mengatakan itu. Ya sudah. Terserah kau saja." Ia pun berbalik. Kini menghadapi Evelina yang terbaring dan terpejam.
Kondisinya terlihat lebih parah dari sejam yang lalu. Kulit leher hingga dadanya berubah warna menjadi biru tua nyaris gelap.
Wanita itu membuka tudungnya. Kedua tangannya ia arahkan ke atas tubuh Evelina. Di atas lehernya yang menghitam lebih tepat.
Ditrian mengeluarkan lagi pedangnya dan mengacungkan pada punggung wanita itu. Dia hanya melirik dan sudah tidak peduli pada ancaman Ditrian.
Wanita itu mulai merapal mantra dengan lirih dan desisan. Seketika kedua telapak tangannya bercahaya. Garis emas bercahaya muncul di kulitnya, di punggung tangannya. Dari kuku, buku-buku jari, lalu bersatu di punggung tangan. Mungkin garis itu masih berlanjut di balik lengan bajunya.
Sebuah asap tipis berwarna hitam menguap dari kulit leher dan dada Evelina. Asap itu menjalar di udara yang kosong dan mengapung di atas tubuh Evelina yang diam.
Mungkin selama sepuluh menit. Ditrian juga hanya bisa memandangi dengan takjub. Perlahan kulit Evelina kembali putih. Kepulan asap itu mengambang di sana. Tangannya bergerak ke arah lain, dan asap itu mengikuti. Ia memindahkan asap ke sebuah cawan perak paling dekat.
Tangannya berhenti bercahaya, garis-garis emas itu redup dan lenyap. Asap itu jatuh, namun langsung menguap dan hilang. Seolah tidak pernah ada apa-apa di cawan perak itu.
"Dia akan selamat. Hanya harus beristirahat beberapa waktu untuk pemulihan."
xxx
"Sebenarnya, kau ini siapa?"
Mereka berdua telah berada di kamar selir Putri Sheira. Setelah berhasil menyembuhkan Lady Evelina, wanita itu pergi dan bilang akan berada di kamar ini. Sementara Ditrian meminta agar para dokter merawat Evelina. Pria itu pikir, wanita ini akan kabur hilang entah kemana. Namun ia masih mendapatinya di sini, telah lepas dari jubah Ditrian yang mewah itu.
"Aku Sheira. Berapa kali harus kukatakan padamu?"
"Kau bukan dia. Wajahmu berbeda."
Wanita yang mengaku Sheira itu menghela nafas. "Tentu saja. Aku memakai Magi penyamaran sejak tiba di kekaisaran ini."
Ditrian menatapnya tajam. "Aku benar-benar tidak mengerti sepatah kata pun darimu. Kau ini sebenarnya apa? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Sebentar lagi pagi," ia menatap jendela kamarnya. Langit yang gelap itu berwarna biru khas waktu subuh. "Datanglah ke kamarku malam ini, Ditrian. Aku akan memperlihatkanmu sesuatu."
Baru saja Ditrian mendapatkan laporan kepala pengawal istana. Tidak ada tamu bangsawan yang terluka. Mereka bisa dievakuasi tepat waktu. Pagi itu ruang kerjanya sibuk. Dipenuhi beberapa dokumen dan laporan soal kejadian kemarin. Termasuk daftar benda yang terbakar dan perkiraan perawatan ruang pesta. Mungkin tidak akan bisa dipakai untuk acara selama beberapa minggu. "Yang Mulia. Lady Emma ingin bertemu dengan Anda," ucap pengawal. "Biarkan dia masuk," Ditrian duduk di kursi kerjanya. Dia hanya tidur sebentar semalam. Bekas kebakaran ruang pesta sedang diurus dan beberapa pegawai istana juga mondar-mandir ke ruangannya. Lady Emma masuk ke ruangan dengan terengah. Ia terlihat begitu tergesa. Wajahnya pucat dan panik. "Yang Mulia, m
"Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?" lirih Ditrian. Mata emas pria itu masih menggerayangi tubuh moleknya. Mencuri-curi pandang? Mungkin bisa dibilang begitu. Sheira mengernyit. Justru kini ia kebingungan. "Kau tahu 'kan? Sebenarnya di dunia ini kita semua sama. Kita adalah manusia yang sama. Tetapi dewa menurunkan mukjizat untuk setiap mahluk. Direwolf, Vampir, Elf ... kau bisa membedakan mereka dari telinga dan gigi-gigi mereka. Manusia setengah penyihir bisa mengendalikan elemen masing-masing seperti api, air, tanah, dan udara. Dan penyihir murni bisa menjadi elemen mereka seutuhnya, seperti yang kita hadapi waktu itu." Ditrian mengangguk kecil. Dia paham kalau hanya soal itu. "Lalu?" "Kita beruntung bisa mengalahkan y
Lady Emma adalah wanita Direwolf paruh baya. Ia berasal dari keluarga bangsawan kecil di wilayah barat kerajaan. Ia telah melayani mendiang ratu, ibunda Raja Ditrian. Dari pertama kali menikah, hingga langit memanggilnya saat ia terbaring di ranjang untuk terakhir kali. Sudah bertahun-tahun lamanya, hingga Raja Ditrian menikahi seorang selir. Putri yang buruk rupa. Dayang istana, putri-putri bangsawan yang masih muda banyak mengeluh. Menggerutu. Mereka merasa kehormatannya diinjak karena harus melayani selir buruk rupa. Dari negeri jajahan pula. Lady Emma juga sedih. Tetapi ia hanya ingin melakukan yang terbaik di hari tuanya. Sebagai kepala dayang istana. Pagi ini seperti biasa
"Sebetulnya dia ingin ikut bersama kami ke istana. Namun dokter belum mengijinkan," sambung Duchess Anna. Ditrian agak merasa canggung. Ia melirik Sheira yang diam mendengarkan. "Ah begitu. Bagus kalau Lady Evelina sudah lebih baik," ucapnya berusaha tenang. "Akan menjadi sebuah kehormatan jika kami bisa membalas kebaikan Yang Mulia. Kami akan memberikan apapun," Duke Gidean tersenyum di balik kumisnya yang tebal dan rapi. "Ah itu tidak perlu, Tuan Duke," jawab Ditrian. Ingin sekali ia mengalihkan topik tentang Evelina. "Tidak. Tidak Yang Mulia. Kami benar-benar ingin membalas kebaikan Yang Mulia. Evelina adalah anak kami satu-satunya. Dia adalah nyawa dan harapan dari keluarga
"Aku berada di sini, memang ingin menemui Tuan Duke dan Duchess. Sayangnya Lady Evelina tidak hadir," ucap Putri Sheira dengan tenang dan anggun. Di meja itu, sudah tidak ada lagi yang bisa bicara. "Aku ingin meminta maaf kepada Lady Evelina karena telah memukulnya saat di pesta. Dan pastinya membuat salah paham. Semata-mata kulakukan agar racunnya bisa dimuntahkan secepatnya. Oleh karena itu, aku atas nama pribadi dan keluarga kerajaan, dari lubuk hati yang paling dalam, meminta maaf pada keluarga Duke dan Duchess Monrad, terutama Lady Evelina." Putri Sheira dengan anggun membungkuk sedikit di kursinya. Wajahnya terlihat mengiba dan prihatin, menunjukkan sebuah penyesalan. Duke Gidean telah pasi, namun ia tetap balas membungkuk.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Peter?" Pangeran Alfons kini tengah berada di ruang baca. Ruangan itu disinari beberapa lampu minyak dan lilin. Peter, ajudan kaisar yang tadi membisik ada di sana. Ia berdiri kecut tertunduk. "Bagaimana penyihirku mati? Bagaimana bisa Aken dibunuh?" tanya Pangeran Alfons lagi. Ia masih mengenakan baju yang sama saat makan besar. Baju dari beludru berwarna hitam. Lebih mirip jas panjang yang menutupi hingga belakang lututnya. Ada sulaman-sulaman emas berbentuk sulur-sulur dedaunan di kerah pria itu. Pangeran Alfons menuang segelas air dari teko emas di meja. Peter melirik kesana kemari dengan gugup. Ia menelan ludah.
Detak jam meja yang lembut bisa terdengar jelas di ruang kerja raja. Entah sudah berapa menit. Teh yang dihidangkan pelayan juga pasti dingin. Cahaya yang menyusup dari jendela telah berwarna jingga. Hari sudah mulai sore. Namun Raja Ditrian dan Sir Kedrick belum bicara apapun. Meskipun Raja Ditrian telah meminta Sir Kedrick untuk beristirahat, tetapi di saat seperti ini pun, pria itu bertanggung jawab pada majikannya untuk melapor. Wajah Sir Kedrick tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Pria itu terlihat tak berdaya. Hanya duduk beku. Tatapannya kosong seperti melihat sumur yang tak terhingga dalamnya. Padahal saat perang melawan orang-orang Galdea dulu, dia yang paling gagah berani untuk menerima semua anak panah musuh. Hari
Ditrian berdecak kesal. Ia mengalami hari yang buruk belakangan ini. Tidak butuh dikuliahi atau diteriaki seperti itu. "Jika tidak ada keperluan, pergilah. Kembali ke kamarmu," ucap Ditrian setengah mabuk. Sheira semakin dongkol. Ia berbalik dan menyibak dengan kasar setiap tirai di ruangan itu. Cahaya siang masuk membuat Ditrian menyipit dan menggunakan tangan kanan untuk menghalau sinar ke matanya. Kini ruang kerja raja menjadi terang benderang. Dia menuju ke kursi kerja Ditrian dan menamparnya dengan secepat kilat. Ditrian tak sempat menghindar. Ia terhenyak. Mulutnya menganga dan seluruh kesadarannya pulih. "Hey! Untuk apa kau lakukan itu?!" "Apa kau sudah gila?! Untuk apa k