Share

#4 Putus

Briana kembali menggigit es krimnya. Yah, ini tak terlalu buruk. Keberadaan pria itu membuatnya aman dan nyaman. Ia tak akan merasa kesepian.

Namun, jujur saja Briana tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Sudah 3 tahun mereka duduk di bangku taman itu bersama-sama. Namun, tak pernah mereka berbincang satu sama lain bahkan satu kata pun.

Pria itu tetap tak bergeming apapun yang Briana lakukan. Bahkan ketika Briana menangis dan tertawa sendiri sekalipun.

Briana kembali menoleh, “apa yang dipikirkan oleh pria itu?” tanyanya dalam hati.

Bagaimana mungkin seseorang bisa duduk berjam-jam diam tanpa melakukan apa pun. Apakah ia memiliki masalah yang sangat berat. Namun, tak ada bahu untuk bersandar atau tempat untuk bercerita sama seperti dirinya?

Cukup, ini sudah 3 tahun. Ia mungkin harus mengambil langkah awal untuk memecahkan keheningan ini.

“Briana,” ucapnya tiba-tiba.

Hening, tak ada sahutan. Pria itu tetap terdiam, menatap lurus kedepan. Dari siluetnya, pria itu sepertinya cukup tinggi dan besar. Tapi, wajahnya tak nampak dengan jelas.

“Briana. Namaku Briana,” ucapnya sekali lagi.

Pria itu tetap diam, tak menyahut.

Ah sudahlah, apa yang ia pikirkan. Pria itu tak mungkin menjawab ucapannya apalagi memperkenalkan diri.

Briana beranjak pergi. Ia memutuskan untuk pulang dan beristirahat lebih awal karena besok ia harus kembali bekerja.

Begitu Briana pergi, pria itu menoleh dan menatap punggung Briana dari kejauhan.

***

Argh, hari kerja yang sibuk seperti biasa. Setumpuk dokumen menggunung di atas mejanya.

Yah, cukup. Ini sudah cukup. Ini sudah jam 7 malam. Ia harus kembali ke rumah dan menyudahi pekerjaannya malam ini.

“Kerja berlebihan itu tidak bagus, bukan?” ucap Briana pada dirinya sendiri.

Ia membereskan meja kerjanya dan bergegas untuk pulang. Kantor sudah cukup sepi. Beberapa orang masih lembur untuk menyelesaikan laporan bulanan mereka. Beberapa diantaranya memiliki meeting malam ini. Semua orang tampaknya masih sibuk.

“Briana!”

Seseorang memanggilnya dari kejauhan. Briana kenal betul suara itu, Theo.

Briana menoleh, mencoba tersenyum. Theo tampak terengah-engah. Ia mungkin berlari saat mencoba menyusul Briana.

“Kurasa kita harus bicara.”

“Oke, apa yang ingin kau katakan, Theo?”

Theo melihat sekeliling. “Ehm, ikut aku.” Theo menarik tangan Briana. Mereka menuju ke taman kecil dekat gedung.

“Kenapa? Apa yang ingin kau bicarakan?”

Theo menggaruk kepalanya dengan kikuk, “kau baik-baik saja?” tanya Theo.

Briana mengangguk.

Theo melanjutkan ucapannya dengan ragu, “kau sudah dengar apa yang terjadi, bukan?

Briana terdiam, ia mengangguk.

“Ah, benar. Ibu sudah memberitahumu.”

Briana menyilangkan tangannya, matanya menatap penuh selidik pada Theo. “Kau dengar percakapanku dengan ibumu?”

Theo mengangguk pelan. Briana mengalihkan pandangannya, ia tak bisa menutupi kekecewaannya.

Apakah selamanya Theo akan tetap diam melihat ibunya menghinanya seperti itu?

“Ah, benar. Bukan itu hal yang penting sekarang. Theo memang selalu seperti itu. Di hadapan orang tuanya, ia selalu diam. Bahkan, ketika aku diseret keluar,” ucap Briana dalam hati.

“Apa keputusanmu?” tanya Briana.

“Keputusan apa?” tanya Theo balik dengan bingung.

“Tentang pertunangan.”

Theo menggeleng. “Entahlah, aku juga tak tahu.”

Briana duduk di kursi taman di belakangnya, ia terdiam cukup lama sembari menatap langit.

“Theo, jujur aku ragu kalau hubungan kita akan berhasil. Keluargamu jelas-jelas tak menyukaiku dan aku juga aku menemukan cara agar aku bisa diterima oleh keluarga besarmu. Ini semakin rumit dan aku tak bisa menanggungnya lagi. Kurasa kita harus menempuh jalan yang berbeda.”

Theo duduk berjongkok di depan Briana, “sayang, apa yang kau ucapkan? Kamu nggak boleh berkata seperti itu. Kita sama-sama saling mencintai. Aku akan menerimamu apa adanya,” ucapnya berusaha meyakinkan Briana.

Briana memegang wajah Theo, “aku sudah memikirkan hal ini semalaman. Lebih baik kita sudahi hubungan kita di sini. Terimakasih telah menerimaku apa adanya. Aku tahu kamu pria yang baik, kamu pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih baik dariku.”

“Tapi, Briana…”

“Ssst, ini yang terbaik untuk kita saat ini. Lebih baik kamu fokus ke pertunanganmu.”

“Kita bisa menyembunyikan hubungan kita, biarkan pertunangan itu berlalu. Toh, itu hanyalah simbol formalitas belaka. Bagiku, kamu tetap menjadi wanita satu-satunya!”

“Lalu, bagaimana dengan tunanganmu? Kau akan membohonginya?”

Theo mengangguk. “Iya, kalau itu bisa mempertahankan hubungan kita.”

Briana menggeleng. “Theo, pernikahan pertamaku hancur karena ulah orang ketiga. Aku tahu betul rasanya dibohongi dan diselingkuhi. Rasanya hatiku hancur, Theo. Aku tak ingin menjadi penyebab sakit hatinya wanita lain. Kamu tak bisa mendekap 2 wanita sekaligus dalam pelukanmu pada waktu yang sama. Kamu harus memilih.”

“Itu sulit, Briana. Aku tak bisa menentang keputusan orang tuaku.”

Briana tersenyum. “Aku tahu, itu pasti sulit bagimu. Karena itulah, aku yang akan memilih. Aku tak bisa memisahkanmu dengan orang tuamu. Aku juga tak bisa memaksamu untuk mengikuti keinginanku. Rasanya aku terlalu egois untuk hal itu. Jadi, mari kita sudahi sampai sini. Pasti sulit juga untukmu  melihatku setiap hari di tempat kerja. Jadi, aku akan mengundurkan diri dari perusahaan. Kita tak perlu bertemu selama beberapa saat. Mari lupakan apa yang telah kita lalui selama ini.”

Briana beranjak meninggalkan Theo.

“Briana!” panggil Theo.

Setitik air mata jatuh dari pelupuk mata Briana. “Sial, kau pikir perasaanku telah mati. Ternyata, aku masih bisa menangis,” guman Briana.

Briana berhenti sejenak, ia membelakangi Theo yang masih diam di tempatnya. “Semoga kamu bahagia dengan pertunanganmu,” ucapnya pada Theo. Itu mungkin adalah ucapan selamat tinggal untuknya.

***

Briana menangis sesenggukan di bangku taman yang biasa ia datangi ketika sedang sedih atau frustasi.

Entah apa yang ia tangisi, 2 tahunnya yang sia-sia, kenyataan bahwa ia tak cukup pantas untuk bersanding di samping Theo atau kenyataan bahwa hidupnya selalu seperti ini.

Ini adalah tangisan pertamanya setelah perceraiannya. Briana mencoba menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Devano.”

Briana berhenti menangis sejenak. Ia menoleh ke belakang. Pria itu, sejak kapan ia berada di sini. Apa ia sudah berada di sini sejak tadi, apakah ia mendengar tangisan Briana.

Ah, iya. Mungkin ia tak menyadarinya. Pria itu mungkin sudah duduk lebih lama darinya.

Tunggu? Apakah ia berada di sini setiap hari dan melamun sendirian?

Lalu, apa yang membuatnya tiba-tiba mau berbicara? Apakah ia merasa kasihan pada Briana?

Briana mengusap air matanya dengan tangan. “Sudah cukup, ayo berhenti menangis. Ini memalukan,” ucapnya pada dirinya sendiri.

Pria itu berdiri, membuat Briana tercengang sejenak dengan tinggi badannya.

185 cm? 190 cm? atau lebih?

Pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sapu tangannya. Ia meletakkannya di samping Briana dan beranjak pergi.

Briana mengambil sapu tangan itu dan menggunakannya untuk mengusap wajahnya. Ia tersenyum kecil sambil memandang sapu tangan itu. “DS” inisial yang ada di sapu tangan tersebut.

“Oh, mungkin aku harus mengembalikannya nanti. Ini terlihat mahal.”

“Terimakasih,” ucapnya meskipun ia tahu kalau pria itu tak aakan mendengar ucapannya.

Tak Briana sangka, pria yang selalu menemani malam sulitnya di taman dan menghiburnya adalah pria yang sama sekali tak dikenalnya.

Briana duduk di taman selama beberapa menit sebelum memutuskan untuk pulang.

Tanpa disadarinya, Devano masih menatapnya dari kejauhan sambil bersandar pada mobilnya. Baru begitu Briana pergi dan terlihat lagi, Devano masuk ke mobil dan melaju pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status