"Jadi kamu mau mengungkit-ungkit kebaikan yang sudah kamu lakukan pada ibu, Din? Apa itu pantas? Lagipula kenapa sih tiba-tiba kamu berubah begini? Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba kamu marah-marah begini. Kamu mau apa sebenarnya?" tanyaku sembari menatap wajah Andin lekat. Wajah yang biasanya lugu dan polos itu entah kenapa sekarang berubah dingin dan datar. Ah, apa sih yang sebenarnya membuat Andin seperti ini? Apa salahku sebenarnya? "Aku nggak ngungkit-ngungkit, Mas. Kamu saja yang aneh, masa bersihin kotoran ibu kandung sendiri kok perhitungan. Ibu kan ibu mas sendiri. Saat mas kecil, beliau yang mandiin dan nyuciin kotoran mas, masa sekarang mas gak mau gantian? Ingat, kunci surga mas ada di bawah telapak kaki ibu, kalau aku aja yang merawat beliau, apa mas nggak takut surganya dikasihkan ke aku?" tanya Andin terdengar konyol di telingaku, membuatku merasa dipermainkan karena ucapan kekanak-
"Din! Andin!"Turun dari mobil, aku langsung masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil istriku."Ada apa sih, Mas? Jangan teriak-teriak gitu dong, ibu baru saja tidur, nanti bangun." Andin muncul dari balik pintu kamar ibu lalu menyahut sembari menempelkan telunjuk di bibir, memintaku memelankan suara."Kamu ganti pin ATM mas ya? Ngapain sih diganti-ganti segala? Terus kamu kemana kan uang lima juta yang kamu ambil dari ATM mas itu? Kemarin mas kan udah kasih kamu jatah belanja, kok masih ngambil uang lagi!?" tanyaku dengan amarah yang tidak bisa dibendung.Gara-gara dia, Mila ngambek seharian hingga acara jalan bersama wanita itu jadi tak nyaman karena ia terus-terusan manyun dan membuat suasana jadi tidak enak."Aku ambil uang buat ke salon dan beli pakaian baru, Mas. Nggak masalah kan sekali-kali aku menikmati uangmu? Toh, aku
"Din, kamu mau ke mana?" tanyaku pada Andin yang tampak sedang berdandan di depan kaca rias. Penampilannya terlihat bersinar dengan sapuan make up tipis yang dipoleskan ke wajahnya. Mengenakan tunik panjang berwarna krem, jilbab sepunggung serta sepatu bertumit tinggi yang tampak melekat pas membalut kaki kurusnya, penampilan istriku itu kelihatan muda dan menawan. Aih, mau ke mana istriku ini pagi-pagi begini sudah rapi? "Din, kamu mau ke mana?" tanyaku dengan tatapan ingin tahu kuarahkan padanya. Tanpa berpaling, Andin membuka mulutnya. "Mau ke kantor, Mas. Hari ini aku mulai masuk kerja," sahutnya singkat. Mendengar jawabannya, sontak aku mendongak kaget. Jadi ia benar-benar serius soal hendak bekerja kembali kemarin? Apa dia tak mendengar keberatan dan penolakan dariku? "Kamu mau kerja l
Andin mengusap pipinya yang terlihat merah akibat tamparan tanganku. Matanya menyapu wajahku dengan tajam. Ada kilat marah dan kebencian yang terlihat jelas di sana, tetapi Andin tak bicara apa-apa melainkan secepat kilat membalikkan tubuhnya dan berlalu dari hadapanku, menuju ke luar kamar.Aku mematung, memandang telapak tangan yang barusa melayang ke wajah istriku itu. Seumur-umur baru kali ini aku menyakitinya secara fisik. Dulu tak pernah, sebab Andin selalu menuruti apa pun perintah dariku. Bahkan saat aku memaksanya berhenti bekerja di saat kariernya sedang berada di posisi puncak, Andin menurut saja demi mendapat ridho-ku. Tapi itu dulu, saat belum ada Mila dalam hidupku. Saat aku masih menjadikan Andin satu-satunya wanita di hati ini. Meski kala itu perusahaan yang kudirikan belum besar, tetapi wanita itu bersedia patuh mengikuti mauku demi baktinya sebagai seorang istri. Tetapi saat perlahan Mila mulai hadir dan merenggut
Aku menutup telepon dan menyeringai lebar setelah berhasil bicara dengan Maruto. Setelah kuancam dengan keras akhirnya lelaki itu berjanji akan membatalkan tawaran bekerja kembali pada Andin sebab takut aku benar-benar membatalkan kerjasama dengan perusahaan yang ia pimpin. Ia sendiri mengatakan jika selama ini tak tahu kalau Andin adalah istriku, sebab saat wanita itu resign dari pekerjaannya, saat itu namaku belumlah dikenal orang karena masih benar-benar baru di dunia perusahaan. Tapi, aku tak peduli itu. Bagiku cukup ia bersedia kerja sama dengan tak memberikan lowongan pekerjaan pada Andin, itu sudah cukup. Aku ingin melihat seberapa kuat ia bertahan hidup tanpa pekerjaan dan tanpa bantuanku di luar sana. Aku ingin tahu seberapa lama ia akan sanggup mempertahankan prinsip
"Mila, mas pergi dulu ya. Ada urusan bisnis yang harus mas selesaikan. Kamu di rumah aja urus ibu ya. Kalau BAB nanti jangan lupa dibersihkan," titahku pada Mila yang sedang tiduran sambil bermain ponsel di tangan.Mendengar perintahku, Mila menjauhkan ponselnya lalu mengangguk."Pasti, Mas. Aku pasti akan jadi istri yang baik buat kamu," ujar wanita itu kemudian bangun dan memeluk pinggangku."Tapi jangan lupa, kalau dapat job baru lagi, jatah buatku ditambahin ya, Mas?" ujarnya lagi."Pasti!" Aku mengangguk cepat.Lalu setelah mengecup kening dan kedua belah pipinya, aku pun segera pergi.Pak Arga sudah menungguku di sebuah cafe di bilangan Panam, Pekanbaru.Lelaki itu langsung menyambut saat aku tiba. Setelah berbasa-basi sejenak, kami pun langsung terlibat dalam pembicara
POV ANDIN[Din, maaf lowongan kerja yang kamu tanyakan kemarin dengan sangat terpaksa harus saya batalkan ya, Din karena ada alasan yang tidak bisa saya beritahukan padamu. Maafkan saya. Saya sangat menyesal telah mengecewakan kamu, tapi saya nggak punya pilihan lain. Maaf saya nggak bisa bantu kamu soal pekerjaan itu,] sahut Pak Mar, panggilan Pak Maruto, mantan atasan tempat aku bekerja selama sepuluh tahun lamanya itu sebelum akhirnya aku menikah dan memutuskan berhenti dari pekerjaan tersebut demi bisa merawat ibunda Mas Heru, suamiku.Mendengar pemberitahuan itu, lututku rasanya lemas seketika.Hanya pekerjaan ini harapanku satu-satunya setelah diusir (dan memang menjadi pilihanku) dari rumah suamiku.Aku belum punya tujuan lain saat ini.Setelah resign dari pekerjaan beberapa tahun lalu, aktivitasku sehari-hari memang hanya di rumah
💌💌💌💌💌"Mas, pejamkan mata, dong. Aku mau kasih lihat kamu sesuatu yang pasti bikin kamu seneng banget. Tapi kamu harus pejamkan mata kamu dulu, oke?" ujar Mila sambil memeluk manja, memintaku menutup mata."Ada kejutan apa ini? Kok mas jadi deg-degan?" tanyaku sambil menatap penuh rasa ingin tahu kepadanya."Tutup mata dulu dong, baru aku tunjukkin surprise-nya," sahut Mila lagi sambil menggodaku.Aku pun dengan senang hati menutup mata hingga kurasakan sesuatu menyentuh jari yang kugunakan untuk menutup kedua belah kelopak mataku.Refleks, aku pun membuka mata bertepatan saat yang sama, Mila berseru riang."Surprise. lihat ini! Apa ini, Mas?" tanya wanita cantik itu pura-pura lugu.Namun, melihat semburat merah di wajahnya, aku menjadi bahagia tak terkira.