Andin mengusap pipinya yang terlihat merah akibat tamparan tanganku. Matanya menyapu wajahku dengan tajam. Ada kilat marah dan kebencian yang terlihat jelas di sana, tetapi Andin tak bicara apa-apa melainkan secepat kilat membalikkan tubuhnya dan berlalu dari hadapanku, menuju ke luar kamar.Aku mematung, memandang telapak tangan yang barusa melayang ke wajah istriku itu. Seumur-umur baru kali ini aku menyakitinya secara fisik. Dulu tak pernah, sebab Andin selalu menuruti apa pun perintah dariku. Bahkan saat aku memaksanya berhenti bekerja di saat kariernya sedang berada di posisi puncak, Andin menurut saja demi mendapat ridho-ku. Tapi itu dulu, saat belum ada Mila dalam hidupku. Saat aku masih menjadikan Andin satu-satunya wanita di hati ini. Meski kala itu perusahaan yang kudirikan belum besar, tetapi wanita itu bersedia patuh mengikuti mauku demi baktinya sebagai seorang istri. Tetapi saat perlahan Mila mulai hadir dan merenggut
Aku menutup telepon dan menyeringai lebar setelah berhasil bicara dengan Maruto. Setelah kuancam dengan keras akhirnya lelaki itu berjanji akan membatalkan tawaran bekerja kembali pada Andin sebab takut aku benar-benar membatalkan kerjasama dengan perusahaan yang ia pimpin. Ia sendiri mengatakan jika selama ini tak tahu kalau Andin adalah istriku, sebab saat wanita itu resign dari pekerjaannya, saat itu namaku belumlah dikenal orang karena masih benar-benar baru di dunia perusahaan. Tapi, aku tak peduli itu. Bagiku cukup ia bersedia kerja sama dengan tak memberikan lowongan pekerjaan pada Andin, itu sudah cukup. Aku ingin melihat seberapa kuat ia bertahan hidup tanpa pekerjaan dan tanpa bantuanku di luar sana. Aku ingin tahu seberapa lama ia akan sanggup mempertahankan prinsip
"Mila, mas pergi dulu ya. Ada urusan bisnis yang harus mas selesaikan. Kamu di rumah aja urus ibu ya. Kalau BAB nanti jangan lupa dibersihkan," titahku pada Mila yang sedang tiduran sambil bermain ponsel di tangan.Mendengar perintahku, Mila menjauhkan ponselnya lalu mengangguk."Pasti, Mas. Aku pasti akan jadi istri yang baik buat kamu," ujar wanita itu kemudian bangun dan memeluk pinggangku."Tapi jangan lupa, kalau dapat job baru lagi, jatah buatku ditambahin ya, Mas?" ujarnya lagi."Pasti!" Aku mengangguk cepat.Lalu setelah mengecup kening dan kedua belah pipinya, aku pun segera pergi.Pak Arga sudah menungguku di sebuah cafe di bilangan Panam, Pekanbaru.Lelaki itu langsung menyambut saat aku tiba. Setelah berbasa-basi sejenak, kami pun langsung terlibat dalam pembicara
POV ANDIN[Din, maaf lowongan kerja yang kamu tanyakan kemarin dengan sangat terpaksa harus saya batalkan ya, Din karena ada alasan yang tidak bisa saya beritahukan padamu. Maafkan saya. Saya sangat menyesal telah mengecewakan kamu, tapi saya nggak punya pilihan lain. Maaf saya nggak bisa bantu kamu soal pekerjaan itu,] sahut Pak Mar, panggilan Pak Maruto, mantan atasan tempat aku bekerja selama sepuluh tahun lamanya itu sebelum akhirnya aku menikah dan memutuskan berhenti dari pekerjaan tersebut demi bisa merawat ibunda Mas Heru, suamiku.Mendengar pemberitahuan itu, lututku rasanya lemas seketika.Hanya pekerjaan ini harapanku satu-satunya setelah diusir (dan memang menjadi pilihanku) dari rumah suamiku.Aku belum punya tujuan lain saat ini.Setelah resign dari pekerjaan beberapa tahun lalu, aktivitasku sehari-hari memang hanya di rumah
💌💌💌💌💌"Mas, pejamkan mata, dong. Aku mau kasih lihat kamu sesuatu yang pasti bikin kamu seneng banget. Tapi kamu harus pejamkan mata kamu dulu, oke?" ujar Mila sambil memeluk manja, memintaku menutup mata."Ada kejutan apa ini? Kok mas jadi deg-degan?" tanyaku sambil menatap penuh rasa ingin tahu kepadanya."Tutup mata dulu dong, baru aku tunjukkin surprise-nya," sahut Mila lagi sambil menggodaku.Aku pun dengan senang hati menutup mata hingga kurasakan sesuatu menyentuh jari yang kugunakan untuk menutup kedua belah kelopak mataku.Refleks, aku pun membuka mata bertepatan saat yang sama, Mila berseru riang."Surprise. lihat ini! Apa ini, Mas?" tanya wanita cantik itu pura-pura lugu.Namun, melihat semburat merah di wajahnya, aku menjadi bahagia tak terkira.
Aku menatap wanita berpenampilan sederhana berusia sekitar dua puluh tahun di depanku yang berdiri sambil memegang tas pakaian lumayan besar di tangannya itu dengan mata memicing.Tubuhnya pendek dan kurus dengan rambut panjang diikat seadanya ke belakang.Siapa dia ya? Calon Asisten Rumah Tangga yang diceritakan Mila kemarin? Tanyaku dalam hati."Mas, ini Siti. Asisten Rumah Tangga yang kuceritain sama kamu semalam. Dia biasa kerja rumah tangga sama merawat orang sakit. Dulu pernah ikut aku satu tahun. Gimana? Bisa nggak dia mulai kerja di sini?" tanya Mila, memperjelas perihal tamunya itu.Mendengar ucapan Mila, aku kembali meneliti penampilan gadis itu.Kalau dilihat dari penampilannya sih memang kelihatan sekali jika gadis ini biasa bekerja sebagai asisten rumah tangga.Tapi apa bis
"Mas, hari ini kamu ke kantor?" tanya Mila saat kami sedang sarapan pagi.Hari ini untuk pertama kalinya, aku dan Mila tak lagi memesan makanan siap saji dan siap antar dari restoran, melainkan makan masakan rumahan karena ternyata Siti sudah memasak dan menghidangkan lauk aneka macam yang sangat mengundang selera dan begitu lezat terasa di lidah.Tak salah memang Mila merekomendasikan gadis itu untuk menjadi asisten rumah tangga di rumah ini sebab ternyata wanita berpenampilan sederhana itu sangat jago memasak.Tadi pagi berdua Mila, mereka sepertinya pergi ke pasar dan membeli aneka bahan makanan untuk dimasak hari ini dan untuk persediaan besok.Dan hasilnya pagi ini di meja makan tampak aneka jenis hidangan seperti kari kambing, opor ayam, rendang daging sapi bahkan gulai jeroan terhidang menggugah selera.Aku pun makan dengan lahap.
POV ANDIN"Mbak Minten, tolong antar Andin dan anak-anaknya ke kamar belakang ya. Mulai hari ini Andin akan bekerja di sini merawat ibu. Jadi, Mbak nggak perlu repot lagi ngerjain rumah sekaligus merawat ibu sendirian karena sudah ada Andin yang khusus ngurus keperluan ibu ya," ujar lelaki berwajah teduh di depanku pada sosok wanita cukup berumur yang dipanggil Minten itu."Baik, Pak," ujar perempuan yang dipanggil Minten sambil mengangguk hormat lalu menoleh padaku. "Mari, Mbak Andin saya antar mbak sama anak-anak ke kamar, biar bisa istirahat dulu. Nanti habis ini baru kalau mau ngurus ibu, saya biar ke dapur," ujarnya ramah.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Kubimbing lengan Sekar dan Seruni yang mengapitku kanan dan kiri lalu membuntuti langkah Mbak Minten setelah sebelumnya minta diri lebih dulu dari Pak Arga.Mbak Minten membawaku menuju kamar yang cukup l