Share

Membalas Perbuatan Suami Kejam
Membalas Perbuatan Suami Kejam
Penulis: ayoeka1212

Bab 1 Memutuskan Pulang

“Ris, kamu kok belum transfer uangnya? Arif butuh uang untuk bayar sekolah, sebentar lagi dia ujian,” tanya Mas Rido, suamiku lewat telepon. Sudah tiga tahun ini aku bekerja di luar negeri menjadi Asisten Rumah Tangga seorang pengusaha di negara orang.

“Besok ya, Mas. Aku belum gajian.”

Sengaja aku memang belum mentransfer uangnya, karena aku dengar kabar kalau ternyata suamiku telah menikah lagi setahun setelah aku pergi. Entah kenapa selama ini tak ada yang memberi tahu kepadaku tentang kelakuan Mas Rido. Makanya aku berniat berhenti kerja dan kembali ke Indonesia untuk memberi perhitungan kepada suamiku.

“Kok tumben sih? Biasanya tanggal segini sudah kirim uangnya. Kalau bisa cepat ya, kasihan nanti Arif nggak boleh ikut ujian kalau belum bayar sekolahnya,” katanya kemudian.

Selalu Arif anak kami yang jadi alasan. Arif adalah anak pertama kami. Aku meninggalkannya saat kelas tiga SD, jadi sekarang dia pasti sudah mau lulus SD. Anak kedua bernama Ririn dia selisih  satu tahun lebih muda dari Arif.

“Iya, Mas. Majikanku baru keluar untuk urusan bisnis. Ditunggu aja. Sudah dulu, ya. Aku masih ada kerjaan.”

Klik.

Tanpa menunggu jawaban Mas Rido aku segera mematikan sambungan telepon.

Susah memang berpura-pura tidak ada apa-apa. Padahal dalam hati ingin rasanya aku mencaci maki Mas Rido habis-habisan. Tapi menurutku percuma kalau hanya bicara lewat telepon.

“Risma ... I need a coffe, please ( Risma ... aku butuh segelas kopi). Terdengar suara Tuan Rey, majikanku.

“Baik, Tuan,” jawabku.

Tuan Rey duda tanpa anak, mantan istrinya meninggal karena kanker rahim. Ia tetap setia berada disamping istrinya hingga akhir hayatnya. Ah, seandainya Mas Rido seperti Tuan Rey yang bisa setia hingga maut memisahkan, pasti aku sangat bahagia. Namun itu semua hanya lamunanku, karena kenyataannya, Mas Rido telah mengkhianatiku.

“Ini, Tuan kopinya.” Aku meletakkan segelas kopi hitam di meja kerjanya.

“Terima kasih ... Risma,” ucapnya tulus.

“Sama-sama Tuan, saya permisi dulu.” Aku berjalan kebelakang dengan sedikit membungkuk untuk menghormatinya.

Tuan Rey merupakan blasteran Indonesia-Amerika. Ibunya berasal dari kota yang sama denganku dan masih tinggal di Indonesia karena mengurus ibu kandungnya yang mulai sakit-sakitan. Sedangkan ayah Tuan Rey berada di sini mengurusi bisnis keluarga mereka. Maka tak heran kalau Tuan Rey juga lancar berbahasa Indonesia.

Kring ... Kring ... Kring ...

Gawaiku berbunyi. Aku melirik siapa yang telepon. Ternyata Bu Nining, Ibu mertuaku.

“Halo, Assalamualaikum, Bu,” ucapku sesaat setelah mengangkat telepon.

“Waalaikumsalam, Risma ... kata Rido kamu belum transfer ya? Apa benar?” Bu Nining langsung bertanya tanpa basa basi.

Aku menghela napas.

“Benar, Bu. Majikanku baru pergi ke luar kota , jadi belum sempat transfer gajiku.”

Lagi-lagi aku berbohong. Kalaupun benar di luar kota pasti juga langsung bisa gajian karena pakai Mobile Banking.

“Uang Ibu sudah habis. Ririn di sini sering minta uang untuk jajan sama teman-temannya. Rido juga nggak ngasih uang ke Ibu, jadi gimana ini Risma?”

“Lho? Kok malah tanya aku, Bu? Aku sudah transfer semua gajiku kepada Mas Rido. Jadi kalau uang Ibu habis ya minta ke Mas Rido bukan ke aku lagi , Bu!” ucapku jengkel lalu mematikan teleponnya. Telepon berdering lagi tapi aku mengabaikannya.

Ibu dan anak sama saja. Sama-sama jadi benalu. Cuma bisa meminta uang kepadaku tanpa memikirkan keadaanku disini seperti apa.

Aku memang bodoh. Terlalu percaya dengan suamiku sehingga menyerahkan gajiku kepadanya. Untung saja aku meminta Tuan Ronald untuk membayar separuh saja setiap bulan, jadi aku masih memiliki sedikit tabungan walaupun separuhnya dikirimkan ke Mas Rido.

Tapi kini tak akan mau lagi aku dibodohi suamiku sendiri. Aku yang bekerja susah payah disini, dia yang menikmatinya bersama selingkuhannya. Enak saja!!

Aku menuju dapur untuk memasak makan malam. Hari ini hari terakhir aku bekerja karena besok pagi aku akan pulang ke Indonesia.

Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk ruang kerja Tuan Rey setelah makan malam tersedia di meja. Ia memang selalu memilih lembur di rumah untuk menyeleseikan pekerjaan kantornya.

“Makan malam sudah siap, Tuan,” ucapku di depan pintu kamar.

“Ikut aku, Risma. Kita makan sama sama,” ujar Tuan Rey setelah membuka pintu.

“Baik, Tuan.”

Aku mengikuti Tuan Rey ke meja makan. Setelah duduk, dia diam saja melihat aku melayaninya. Aku menjadi salah tingkah ditatap pria seganteng Tuan Rey.

Aduh, kenapa menatapku seperti itu sih, aku jadi grogi ini ngambil nasinya. Batinku.

“Kenapa kamu berhenti kerja, Risma? Dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia?” Tuan Rey akhirnya buka suara.

Aku terdiam, bingung harus jujur kepadanya atau menutupi masalahku.

“Suamiku mengkhianatiku, Tuan. Dia telah menikah lagi tanpa sepengetahuanku.” Aku memutuskan untuk berkata jujur. Aku tak kuasa menahan air mata ini. Hatiku sungguh sakit rasanya. Pengorbananku selama ini seakan sia-sia. Aku rela meninggalkan anak-anak ku demi masa depan yang lebih baik tapi justru suamiku yang merusak rencana masa depan kami.

“Jangan menangis, tak usah kau menangisi pria  seperti itu.” Tuan Rey tiba-tiba sudah berada didepanku dan mengusap air mataku.

Baru kali ini aku melihat wajahnya dari dekat. Kulitnya putih bersih, rambutnya tertata rapi. Apalagi mata birunya saat menatapku, membuatku meleleh.

Astagfirullah. Aku segera tersadar.

“Maaf, Tuan. Bukan muhrim, jadi tidak boleh bersentuhan,” ujarku.

“Ah, Maaf, aku tidak tahu. Jadi apa rencanamu kepada suamimu?” tanya Tuan Rey kembali ketempat duduknya.

“Aku akan menceraikannya, Tuan setelah sampai di Indonesia.”

“Jangan tambah bodoh!” ucapnya lantang.

Aku terlonjak kaget.” Maksud Tuan?”

“Besok aku akan ikut ke Indonesia.”

“Apa?!” aku kaget hingga tersedak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status