“Ris, kamu kok belum transfer uangnya? Arif butuh uang untuk bayar sekolah, sebentar lagi dia ujian,” tanya Mas Rido, suamiku lewat telepon. Sudah tiga tahun ini aku bekerja di luar negeri menjadi Asisten Rumah Tangga seorang pengusaha di negara orang.
“Besok ya, Mas. Aku belum gajian.”
Sengaja aku memang belum mentransfer uangnya, karena aku dengar kabar kalau ternyata suamiku telah menikah lagi setahun setelah aku pergi. Entah kenapa selama ini tak ada yang memberi tahu kepadaku tentang kelakuan Mas Rido. Makanya aku berniat berhenti kerja dan kembali ke Indonesia untuk memberi perhitungan kepada suamiku.
“Kok tumben sih? Biasanya tanggal segini sudah kirim uangnya. Kalau bisa cepat ya, kasihan nanti Arif nggak boleh ikut ujian kalau belum bayar sekolahnya,” katanya kemudian.
Selalu Arif anak kami yang jadi alasan. Arif adalah anak pertama kami. Aku meninggalkannya saat kelas tiga SD, jadi sekarang dia pasti sudah mau lulus SD. Anak kedua bernama Ririn dia selisih satu tahun lebih muda dari Arif.
“Iya, Mas. Majikanku baru keluar untuk urusan bisnis. Ditunggu aja. Sudah dulu, ya. Aku masih ada kerjaan.”
Klik.
Tanpa menunggu jawaban Mas Rido aku segera mematikan sambungan telepon.
Susah memang berpura-pura tidak ada apa-apa. Padahal dalam hati ingin rasanya aku mencaci maki Mas Rido habis-habisan. Tapi menurutku percuma kalau hanya bicara lewat telepon.
“Risma ... I need a coffe, please ( Risma ... aku butuh segelas kopi). Terdengar suara Tuan Rey, majikanku.
“Baik, Tuan,” jawabku.
Tuan Rey duda tanpa anak, mantan istrinya meninggal karena kanker rahim. Ia tetap setia berada disamping istrinya hingga akhir hayatnya. Ah, seandainya Mas Rido seperti Tuan Rey yang bisa setia hingga maut memisahkan, pasti aku sangat bahagia. Namun itu semua hanya lamunanku, karena kenyataannya, Mas Rido telah mengkhianatiku.
“Ini, Tuan kopinya.” Aku meletakkan segelas kopi hitam di meja kerjanya.
“Terima kasih ... Risma,” ucapnya tulus.
“Sama-sama Tuan, saya permisi dulu.” Aku berjalan kebelakang dengan sedikit membungkuk untuk menghormatinya.
Tuan Rey merupakan blasteran Indonesia-Amerika. Ibunya berasal dari kota yang sama denganku dan masih tinggal di Indonesia karena mengurus ibu kandungnya yang mulai sakit-sakitan. Sedangkan ayah Tuan Rey berada di sini mengurusi bisnis keluarga mereka. Maka tak heran kalau Tuan Rey juga lancar berbahasa Indonesia.
Kring ... Kring ... Kring ...
Gawaiku berbunyi. Aku melirik siapa yang telepon. Ternyata Bu Nining, Ibu mertuaku.
“Halo, Assalamualaikum, Bu,” ucapku sesaat setelah mengangkat telepon.
“Waalaikumsalam, Risma ... kata Rido kamu belum transfer ya? Apa benar?” Bu Nining langsung bertanya tanpa basa basi.
Aku menghela napas.
“Benar, Bu. Majikanku baru pergi ke luar kota , jadi belum sempat transfer gajiku.”
Lagi-lagi aku berbohong. Kalaupun benar di luar kota pasti juga langsung bisa gajian karena pakai Mobile Banking.
“Uang Ibu sudah habis. Ririn di sini sering minta uang untuk jajan sama teman-temannya. Rido juga nggak ngasih uang ke Ibu, jadi gimana ini Risma?”
“Lho? Kok malah tanya aku, Bu? Aku sudah transfer semua gajiku kepada Mas Rido. Jadi kalau uang Ibu habis ya minta ke Mas Rido bukan ke aku lagi , Bu!” ucapku jengkel lalu mematikan teleponnya. Telepon berdering lagi tapi aku mengabaikannya.
Ibu dan anak sama saja. Sama-sama jadi benalu. Cuma bisa meminta uang kepadaku tanpa memikirkan keadaanku disini seperti apa.
Aku memang bodoh. Terlalu percaya dengan suamiku sehingga menyerahkan gajiku kepadanya. Untung saja aku meminta Tuan Ronald untuk membayar separuh saja setiap bulan, jadi aku masih memiliki sedikit tabungan walaupun separuhnya dikirimkan ke Mas Rido.
Tapi kini tak akan mau lagi aku dibodohi suamiku sendiri. Aku yang bekerja susah payah disini, dia yang menikmatinya bersama selingkuhannya. Enak saja!!
Aku menuju dapur untuk memasak makan malam. Hari ini hari terakhir aku bekerja karena besok pagi aku akan pulang ke Indonesia.
Tok! Tok! Tok!
Aku mengetuk ruang kerja Tuan Rey setelah makan malam tersedia di meja. Ia memang selalu memilih lembur di rumah untuk menyeleseikan pekerjaan kantornya.
“Makan malam sudah siap, Tuan,” ucapku di depan pintu kamar.
“Ikut aku, Risma. Kita makan sama sama,” ujar Tuan Rey setelah membuka pintu.
“Baik, Tuan.”
Aku mengikuti Tuan Rey ke meja makan. Setelah duduk, dia diam saja melihat aku melayaninya. Aku menjadi salah tingkah ditatap pria seganteng Tuan Rey.
Aduh, kenapa menatapku seperti itu sih, aku jadi grogi ini ngambil nasinya. Batinku.
“Kenapa kamu berhenti kerja, Risma? Dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia?” Tuan Rey akhirnya buka suara.
Aku terdiam, bingung harus jujur kepadanya atau menutupi masalahku.
“Suamiku mengkhianatiku, Tuan. Dia telah menikah lagi tanpa sepengetahuanku.” Aku memutuskan untuk berkata jujur. Aku tak kuasa menahan air mata ini. Hatiku sungguh sakit rasanya. Pengorbananku selama ini seakan sia-sia. Aku rela meninggalkan anak-anak ku demi masa depan yang lebih baik tapi justru suamiku yang merusak rencana masa depan kami.
“Jangan menangis, tak usah kau menangisi pria seperti itu.” Tuan Rey tiba-tiba sudah berada didepanku dan mengusap air mataku.
Baru kali ini aku melihat wajahnya dari dekat. Kulitnya putih bersih, rambutnya tertata rapi. Apalagi mata birunya saat menatapku, membuatku meleleh.
Astagfirullah. Aku segera tersadar.
“Maaf, Tuan. Bukan muhrim, jadi tidak boleh bersentuhan,” ujarku.
“Ah, Maaf, aku tidak tahu. Jadi apa rencanamu kepada suamimu?” tanya Tuan Rey kembali ketempat duduknya.
“Aku akan menceraikannya, Tuan setelah sampai di Indonesia.”
“Jangan tambah bodoh!” ucapnya lantang.
Aku terlonjak kaget.” Maksud Tuan?”
“Besok aku akan ikut ke Indonesia.”
“Apa?!” aku kaget hingga tersedak.
Pagi hari aku memasukkan pakaianku ke dalam koper. Tak lupa juga dengan barang-barang lainnya. Akhirnya selesei juga tiga koper penuh.“Risma ... sudah belum? Pesawat kita dua jam lagi take off kita harus berangkat sekarang.” Terdengar suara Tuan Rey dari depan kamarku.Aku segera membuka pintu. Tampak Tuan Rey memakai polo shirt putih dan celana kargo pendek. Sungguh kelihatan tambah gagah.“Tuan yakin mau ikut ke Indonesia? Maaf bukannya lancang, tapi sebaiknya Tuan tidak terlalu dekat denganku karena aku istri orang,” ucapku sungkan.“Pede sekali kau menganggap aku pulang ke Indonesia untukmu. Aku memang bilang akan ke sana, tapi untuk bertemu Ibuku, Ya ... sekalian sedikit membantumu,” jawabnya panjang.Astaga ... sungguh malu aku m
Aku menggendong Ririn yang masih terkulai lemas. Berjalan kembali ke dalam rumah hendak melihat keadaan Arif. Terlihat Ibu berbaju putih tadi memeluk Arif sambil duduk di teras rumah. Mas Rido tak kelihatan, bersembunyi di dalam rumah atau malah pergi ke rumah Ibu mertua yang hanya berjarak berberapa rumah. Aku tak peduli, yang kupedulikan hanyalah keselamatan anakku terlebih dahulu. Aku masuk kedalam taksi yang sedari tadi masih menunggu. Hendak berangkat ke rumah sakit. Kemudian menelepon Ibuku. Selama ini Ibuku juga tak tahu kalau Mas Rido menikah lagi karena memang rumah Ibuku lumayan jauh, butuh satu setengah jam perjalanan.[Halo, Bu? Ini aku Risma. Bisa minta tolong datang ke Rumah Sakit Pelita Hati?][Bisa, tapi ada apa memangnya?][Nanti aku ceritakan di sana, Bu. Kalau bisa sekarang, ya. Aku tunggu.][Iya, Ibu berangkat sekarang.]Kuakhiri panggilan telepo
Aku hanya tersenyum sinis. Dasar lelaki buaya buntung! Nggak bisa lihat yang bening dikit.“Ambil semuanya jangan ada yang tersisa.”Mas Rido tersadar dan berusaha mengambil televisi yang diangkut salah satu preman, tarik menarik pun terjadi. Mas Rido memukul wajah preman tersebut. Preman tersebut tak terima akhirnya membalas memukuli Mas Rido. Wajahnya yang masih lebam berdarah kembali.Dengan wajah penuh amarah Mas Rido menatapku. “S*alan kau Risma! Kenapa kau perintahkan preman itu untuk mengambil barang-barangku, hah?!” Dasar tak tahu malu. “Apa aku nggak salah dengar?! Itu semua punyaku, aku yang kerja dan barang itu dibeli pakai uangku!” hardikku“Angkut dan masukkan semua ke dalam truk itu, Bang!” Aku menyuruh salah satu preman yang sedang membawa kursi di ruang tamu. Aku memang meminta mereka datang dengan truk agar memudahkan membawa semuanya.
“Risma ... tunggu dulu Risma ....” Mas Rido mengejarku.“Aku masih mencintai kamu ... Percayalah padaku! Aku ....”“Cukup, Mas! Aku sudah Muak!” Aku menghentikan ucapan Mas Rido.“Kau tidak hanya melukaiku tapi juga melukai hati anakmu. Kau bahkan tidak merasa bersalah telah menyakiti mereka! Aku bukan hanya kecewa padamu, tapi aku membencimu!!”“Maaf, aku sedang emosi saja saat itu, tapi aku menyayanginya, bagaimanapun mereka anakku!”“Sayang kau bilang? Menyiksa anak seperti hewan apa itu bentuk rasa sayangmu?” Aku tidak bisa menerima alasan Mas Rido.Mas Rido terdiam tak membalas ucapanku.“Kalau aku tak datang, kau pasti masih akan terus menyiksa anakku.“Kau urusi saja istri barumu itu, Mas.” Aku melirik ke arah Mala yang hanya diam saja me
[Halo, Tuan][Kenapa belum memberi kabar, Risma?][Maaf, Tuan, banyak yang terjadi, aku jadi lupa belum mengabari Tuan.][Kamu dimana sekarang?][Di Rumah Sakit Pelita Hati][Aku kesana sekarang.]Tut.Telepon dimatikan tanpa menungguku menjawab. Aku memasukkan ponsel kedalam tas dan menuju ICU untuk melihat Ririn.Setelah mendapat izin dari perawat, aku segera masuk ke ruang ICU.Aku menangis lagi. Meskipun berusaha kuat tapi tetap saja air mata ini jatuh sendiri melihat Ririn. Di badannya terpasang banyak selang, ada juga selang di mulut dan tangannya. Belum lagi kepalanya diperban, mungkin itu cedera yang dimaksud dokter tadi.Kemarin karena panik aku jadi tak menyadari kalau darah di tangannya berasal dari kepala, bukan di tangan karena dia berusaha membuka pintu.Aku
“Arif, maksudnya apa? Ibu tidak mengerti!” Pelan-pelan kutanya anakku agar mau bercerita kembali.“Sepeninggal Ibu, Ayah bilang tidak usah sekolah karena hanya membuang-buang uang. Awalnya aku keberatan karena aku sedih harus berpisah dengan Bu Guru dan teman sekelas tapi ayah malah memukulku dengan sapu, ayah juga menamparku, ayah bilang aku harus menurut apapun perkataan ayah dan tante Mala,” jawab Arif sambil memainkan robot yang dibawa Tuan Rey.“Jadi selama ini kamu tidak sekolah?” tanyaku memastikan?Arif menggeleng.“Bagaimana dengan Adikmu?” tanyaku lagi.Dia juga tidak sekolah, Bu. Kadang aku kasihan liat Ririn soalnya Tante Mala menyuruh Ririn mengerjakan semuanya, dari bersih-bersih sampai memasak. Kalau ada yang tidak sesuai pasti ditampar. Kalau aku membantu pasti aku juga ikut dipukul.”Pandangan mataku tiba-tiba kabur, sekuat tenaga aku menahan agar tak me
Bab 8“Hah?!Ibu mertuaku akhirnya tahu, aku kemarin sempat heran kenapa Bu Nining, Ibu mertuaku tak ada saat aku mendatangi rumah Mas Rido.“Nanti aku ke sana,” jawabku lalu menutup panggilan.“Siapa yang menelepon Ris?” Ibu bertanya padaku saat aku sudah mematikan panggilanku.“Bu Nining, Bu. Kata orang suruhanku dia ngamuk-ngamuk di rumah Mas Rido. Katanya mencariku, Bu.”“Lalu kamu mau ke sana?” tanya Ibu kemudian.“Entahlah, Bu. Menurut Ibu gimana baiknya?”“Biarin aja dia ngamuk-ngamuk, nanti juga berhenti sendiri. Ini sudah hampir malam, besok saja kamu ke sana. Kamu juga butuh istirahat, balas dendam jug
Ting.Bunyi pesan masuk di gawaiku. Aku lalu membukanya[Anak Ibu sudah sadar, dimohon ke ruang ICU sekarang. Terima kasih.]Subhanallah ... Terima kasih Ya Allah. Aku segera bergegas ke ruang ICU setelah berpamitan dengan Arif, dia sudah ceria kembali.“Gimana keadaan anak saya, Suster?” Aku langsung bertanya pada Suster yang sudah menungguku.“ Badannya masih lemas karena baru sadar dari koma, sebaiknya jangan diajak bicara dulu. Menunggu sampai anak Ibu benar-benar kuat.”Aku segera masuk ke ruangan anakku dirawat, dia menoleh, tersenyum melihatku. Aku senang melihatnya, lalu ikut tersenyum.Setelah dilakukan serangkaian tes kesehatan, akhirnya Ririn dipindahkan ke ruang rawat, jadi satu dengan Arif. Alhamdulillah ... ini perkembangan yang baik.Sampai di ruangan Arif, ternyata Ibu sudah datang. Ada juga Rey disana. Mau apa dia pagi-pagi sudah di sini?“Sarapan dulu Ris, setel