Share

Bab 2 Melihat Kenyataan

Pagi hari aku memasukkan pakaianku ke dalam koper. Tak lupa juga dengan barang-barang lainnya. Akhirnya selesei juga tiga koper penuh.

“Risma ... sudah belum? Pesawat kita dua jam lagi take off  kita harus berangkat sekarang.” Terdengar suara Tuan Rey dari depan kamarku.

Aku segera membuka pintu. Tampak Tuan Rey memakai polo shirt putih dan celana kargo pendek. Sungguh kelihatan tambah gagah.

“Tuan yakin mau ikut ke Indonesia? Maaf bukannya lancang, tapi sebaiknya Tuan tidak terlalu dekat denganku karena aku istri orang,” ucapku sungkan.

“Pede sekali kau menganggap aku pulang ke Indonesia untukmu. Aku memang bilang akan ke sana, tapi untuk bertemu Ibuku, Ya ... sekalian sedikit membantumu,” jawabnya panjang.

Astaga ... sungguh malu aku mendengarnya. Aku sudah salah sangka.

 Setelah penerbangan yang lama akhirnya sampai di kotaku. Tuan Rey sudah memberi tahuku rencananya, dan aku setuju.

“Berikan aku alamat rumahmu. Kita nanti berpisah setelah membeli nomor baru,” ujarnya setelah sampai di pintu keluar bandara.

“Baik, Tuan,” jawabku.

Kami segera mencari konter terdekat untuk membeli nomor baru. Telepon sengaja kumatikan dari kemarin setelah ibu mertua menghubungiku. Beberapa hari sebelumnya aku telah meminta temanku di sini untuk mencari rumah untuk kutinggali. Aku tak mau tinggal di tempat sebelumnya karena rumah itu menjadi saksi suamiku menikah. Rumah itu memang aku yang membangun tapi tanah masih atas nama suamiku karena itu tanah dari mertua.

“Ini alamat rumah saya, Tuan dan ini nomor barunya.” Aku menyerahkan kertas berisi alamat rumah dan nomorku.

“Berikan kepada supirku, aku akan mengantarmu ke alamat itu.” Dia segera masuk kemobil didepannya.

“Ayo, cepat masuk,” ujarnya lagi.

Aku segera masuk dan mobil pun berjalan ke alamat tujuan.

“Terima kasih, Tuan,” kataku setelah sampai di depan rumah.

“Sama-sama. Ingat dengan apa yang kukatakan. Hubungi aku kalau ada apa-apa.”

“Iya, Tuan.”

Mobil pun segera berlalu. Aku segera masuk ke rumah dan bersiap-siap untuk pembalasan suami penghianat itu

Selesei bersiap aku segera memanggil taksi online untuk mengantarku ke tempat suamiku.

Dalam perjalanan aku menangis. Mengingat pernikahanku harus berakhir dengan pengkhianatan. Aku kuatir dengan kedua anakku terutama mentalnya. Sepertinya setelah ini aku harus menghubungi psikolog untuk konsultasi anakku. Aku mengahapus air mataku dan menambahkan sedikit bedak agar tidak kelihatan habis menangis. Aku harus kuat!

Terlihat rumah suamiku dari kaca mobil. Rumah megah dua lantai menjadi rumah yang termewah di kampung ini. Aku meminta taksi menunggu dan berjalan ke arah rumah itu.

“Bersihkan ini dengan mulutmu! Dasar anak tak tahu diri! Sudah dikasih makan malah diberantakin nasinya!” Terdengar suara suamiku dari dalam rumah.

Aku mendekat dengan hati-hati ingin melihat apa yang terjadi. Aku melongok ke jendela yang terbuka.

Astagfirullah ... tak dapat kupercaya. Suamiku terlihat memegang rambut anakku, Arif dan mendekatkannya ke lantai menyuruh Arif untuk memakan nasi yang berhamburan seperti anj*ng. Seketika amarahku memuncak. Anak yang kusayangi dan kurindukan setiap harinya diperlakukan layaknya binatang oleh ayah kandungnya.

Sambil menahan emosi aku mengambil gawaiku dan merekamnya. Terlihat di samping suamiku ada perempuan yang hanya melihat saja. Pasti itu istri baru suamiku.

Arif hanya diam, tak menangis ataupun melawan, tapi aku yakin hatinya terluka. Kupandangi wajah anakku, terlihat begitu menderita dan tertekan. Aku tak bisa lagi menahan emosiku. Pintu langsung kudorong dengan kasar ternyata tak terkunci.

“Jadi ini yang kau lakukan pada anakku, hah!!”  Aku berkata dengan amarah yang memuncak. Mas Rido kaget melihatku tiba-tiba ada di depan pintu rumahnya. Seketika ia melepaskan tangannya dari rambut anakku, tapi terlambat, aku sudah melihatnya.

“Ris—Risma .... Bagaimana kau bi—bisa ada di sini?” Mas Rido sampai tergagap saking kagetnya melihatku berkacak pinggang.

“I—ini tak seperti yang kau lihat.”

Aku diam saja masih mengatur napas yang masih emosi. Segera aku mendekat ke arah Arif dan memeluknya. Aku menangis memanggil namanya. “Arif ... ini Ibu, Nak.”

Arif menoleh dan memelukku dengan kencang “Ayah jahat ,Bu ...” Arif menangis tergugu. Tak kusangka anak laki-lakiku bisa menangis seperti ini pasti luka hatinya sangat dalam.

“Tenang, Nak ... Ibu sudah ada di sini. Ibu tak akan membiarkan siapaun menyakitimu lagi , Nak,”ucapku sambil mengelus kepalanya, menenangkan anakku yang masih menangis. Arif berhenti menangis tapi masih sedikit terisak. Aku menoleh menatap marah dua manusia berhati ibl*s itu.

“Dasar laki-laki baj*ngan beraninya kau menyakiti anakmu sendiri ... dimana hatimu, hah! Di mana Ririn? Katakan padaku di mana Ririn?!” murkaku.

Mas Rido dan selingkuhannya hanya terdiam.

“Ririn dikunci di gudang karena memecahkan gelas ayah saat mencuci piring.” Terdengar suara Arif yang menjawab.

“Apa?! Biad*p kamu, Mas.”

Plak!

Aku menampar Mas Rido sekuat tenaga. Terlihat Mas Rido terhuyung kebelakang saking kuatnya. Kutampar lagi pipi satunya hingga berulang kali. Kutendang juga perutnya hingga membuat Mas Rido terjatuh. Gundiknya hanya berteriak melihat Mas Rido tersungkur

“Tolong ... tolong ... ada orang gila memukuli suamiku!” Si Gundik berteriak minta tolong hingga tetangga berdatangan.

Karena teriakannya, warga mulai berdatangan ingin melihat apa yang terjadi. Mereka yang datang tak ada yang menolong, hanya melihat saja. Banyak orang pun tak membuat emosiku turun. Aku tetap memukuli Mas Rido yang tak melawan. Kemudian aku menengok ke arah ibu-ibu berbaju putih. “Tolong jaga anakku sebentar, aku mau mencari anakku yang satu lagi.” Ibu itu menganggguk dan mendekat ke arah Arif.

Aku berjalan ke belakang rumah. Ruang kecil di samping taman memang dijadikan gudang untuk menyimpan peralatan. Pintu gudang terkunci.

“Ririn ... Ririn ....” Aku berusaha membuka pintu sambil memanggil nama anakku.

Tak ada jawaban. Aku mulai panik. Terus memanggil nama anakku sambil berusaha mendobrak pintu gudang. Tak berhasil. Aku melihat kesekeliling, tak sengaja aku melihat kapak yang digantung di dinding gudang. Aku mengambilnya dan mengayunkannya ke pintu. Akhirnya, pintu bisa dibuka. Anakku terbaring di lantai, pakaiannya sangat kotor, terlihat ada darah mengering di tangannya yang mungil. Mungkin anakku berusaha membuka pintunya. Aku kembali menangis. Anakku tersayang dua-duanya menjadi korban kekejaman ayahnya.

Aku tak akan memaafkannmu, Mas!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status