Share

Bab 3 Rencana Pertama

Aku menggendong Ririn yang masih terkulai lemas. Berjalan kembali ke dalam rumah hendak melihat keadaan Arif. Terlihat Ibu berbaju putih tadi memeluk Arif sambil duduk di teras rumah. Mas Rido tak kelihatan, bersembunyi di dalam rumah atau malah pergi ke rumah Ibu mertua yang hanya berjarak berberapa rumah. Aku tak peduli, yang kupedulikan hanyalah keselamatan anakku terlebih dahulu. Aku masuk kedalam taksi yang sedari tadi masih menunggu. Hendak berangkat ke rumah sakit. Kemudian menelepon Ibuku. Selama ini Ibuku juga tak tahu kalau Mas Rido menikah lagi karena memang rumah Ibuku lumayan jauh, butuh satu setengah jam perjalanan.

[Halo, Bu? Ini aku Risma. Bisa minta tolong datang ke Rumah Sakit Pelita Hati?]

[Bisa, tapi ada apa memangnya?]

[Nanti aku ceritakan di sana, Bu. Kalau bisa sekarang, ya. Aku tunggu.]

[Iya, Ibu berangkat sekarang.]

Kuakhiri panggilan telepon dan bergegas berangkat.

Sampai di rumah sakit perawat jaga segera memberi pertolongan dan memanggil dokter untuk tindakan medis selanjutnya. Sembari menunggu dokter, aku mengurus bagian pendaftaran. Beberapa saat kemudian Ibuku datang.

“Ada apa, Ris? Kapan kamu tiba? Dan kenapa berada di rumah sakit? Siapa yang sakit?” Ibu memberondongku dengan pertanyaan.

Aku menghela napas. Aku menceritakan apa yang kulihat tadi sambil menangis. Ibu pun menutup mulutnya, seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan.

“Sabar, Risma ... ini ujian dari Yang Maha Kuasa. Perbaiki salat, perbanyak ibadah.” Nasehat Ibu terasa menyejukkanku. Aku hanya mengangguk.

“Titip Arif dan Ririn, Bu. Aku mau memberi pelajaran buat Mas Rido!” Aku pun menengok ke arah anakku yang kini tertidur. Bismillah, doakan Ibu ya, Nak. Ibu berjanji akan membuat orang-orang yang menyakitimu menderita. Ucapku dalam hati.

“Iya, pergilah ... biar Ibu dan Rian yang menunggu di sini, tadi Rian masih nyari tempat untuk parkir mobilnya.”

“Ada Rian juga ya, Bu? Aku tenang kalau gitu.” Rian adalah adikku. Kami dua bersaudara. Rian masih kuliah dan juga menjadi salah satu pelatih beladiri di kampusnya. Rian juga lah yang mengajariku sedikit ilmu bela diri sebelum berangkat dulu.

“Aku pergi, Bu ... Assalamualaikum.” Aku mencium tangan Ibu dan beranjak pergi.

“Waalaikumsalam.” Lamat lamat aku mendengar suara Ibu.

Dengan menggunakan taksi online aku pergi ke rumah Mas Rido lagi. Sepertinya aku butuh mobil baru agar memudahkanku kalau mau pergi.

Suasana rumah sudah sepi. Tetangga tak terlihat lagi berkerumun di depan rumah. Mobil berhenti agak jauh dari rumah agar aku bisa melihat diam-diam. Mas Rido terlihat duduk di ruang tamu, gundik itu duduk disampingnya sambil bergelayut manja. Posisi mereka membelakagi jendela. Aku lebih mendekat untuk mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Gimana ini, Mas? Istri kamu yang jadi pembantu itu kenapa tiba-tiba pulang? Katamu kontraknya masih setahun lagi?!”

“Aku juga tak tahu, Mala. Aku meneleponnya kemarin untuk meminta uang, tapi kenapa sekarang sudah sampai di sini sih!” sungut Mas Rido.

“Tapi aku gak mau kalau kamu kembali sama pembantu itu, Mas.” Mala mulai merajuk.

Oh, jadi nama gundik itu, Mala. Apa dia bilang? Dia menyebutku pembantu? Bukannya sama ya? Aku mendengar dari tetangga sekeliling, wanita yang dinikahi suamiku dulunya adalah janda dari kampung sebelah. Awalnya dia sebagai penyanyi dangdut, namun karena tidak laku akhirnya bekerja sebagai pembantu di keluarga kaya tapi kemudian dipecat karena menggoda majikannya. Untungnya majikannya orang yang kuat iman tidak seperti Mas Rido. Hanya disuguhi selangkangan dan sedikit rayuan tega meninggalkanku yang banting tulang untuk hidupnya.

“Tidak akan, Sayang. Mas Cuma cinta sama kamu, Risma Cuma jadi atm buat Mas,” kata Mas Rido sambil mengelus pipi Mala.

Mala pun tersenyum dan mulai menutup mata. Mereka berci*man. Kurang aj*r, mereka malah bermesraan sementara anakku terbaring lemah.

Aku menoleh, melihat ada beberapa orang yang datang. Kemudian tersenyum. It’s show time!

“Aku sudah menunggu kalian” kataku kepada para preman itu. Ya, aku telah menyewa beberapa preman untuk mengambil barang-barang yang dibeli pakai uangku.

“Segera masuk dan ambil semua barang- barang dalam rumah itu.” Perintahku sambil menunjuk rumah Mas Rido.

“Siap 86” jawab para preman itu. Aku sedikit terkikik mendengarnya.

“ Eh ... eh ... apa apan ini? Siapa kalian? Kenapa barang-barangku diambil. Maling ... maling ...” Mas Rido berteriak kacau saat mereka masuk kedalam rumah dan mulai mengangkut barang-barang.

Sebelumnya aku sudah izin kepada RT setempat, dan memberikan bukti berupa buku nikah yang asli, jadi Gundik itu hanya nikah siri. Namun yang membuatku kaget adalah keterangan dari Pak RT bahwa Mas Rido menikah sah di KUA. Wah, aku juga perlu menyelidiki ini. Jangan-jangan tanda tanganku dipalsukan? Aku tersenyum licik memikirkan sebuah rencana.

“Mereka semua atas suruhanku, Mas!”

Aku pun menunjukkan diriku di depan Mas Rido. Sesaat Mas Rido terpesona melihatku. Rambut hitam, lebat, panjang dan lurus, lembut tertiup angin. Wajah putih dan glowing, badan langsing berisi. Baju dan tas mahal yang aku kenakan membuat Mas Rido terlihat meneguk ludah. Mungkin kemarin Mas Rido belum melihatku dengan jelas karena aku keburu emosi dan membawa anakku pergi.

“Sayang, kamu cantik sekali sekarang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status