Aku menggendong Ririn yang masih terkulai lemas. Berjalan kembali ke dalam rumah hendak melihat keadaan Arif. Terlihat Ibu berbaju putih tadi memeluk Arif sambil duduk di teras rumah. Mas Rido tak kelihatan, bersembunyi di dalam rumah atau malah pergi ke rumah Ibu mertua yang hanya berjarak berberapa rumah. Aku tak peduli, yang kupedulikan hanyalah keselamatan anakku terlebih dahulu. Aku masuk kedalam taksi yang sedari tadi masih menunggu. Hendak berangkat ke rumah sakit. Kemudian menelepon Ibuku. Selama ini Ibuku juga tak tahu kalau Mas Rido menikah lagi karena memang rumah Ibuku lumayan jauh, butuh satu setengah jam perjalanan.
[Halo, Bu? Ini aku Risma. Bisa minta tolong datang ke Rumah Sakit Pelita Hati?]
[Bisa, tapi ada apa memangnya?]
[Nanti aku ceritakan di sana, Bu. Kalau bisa sekarang, ya. Aku tunggu.]
[Iya, Ibu berangkat sekarang.]
Kuakhiri panggilan telepon dan bergegas berangkat.
Sampai di rumah sakit perawat jaga segera memberi pertolongan dan memanggil dokter untuk tindakan medis selanjutnya. Sembari menunggu dokter, aku mengurus bagian pendaftaran. Beberapa saat kemudian Ibuku datang.
“Ada apa, Ris? Kapan kamu tiba? Dan kenapa berada di rumah sakit? Siapa yang sakit?” Ibu memberondongku dengan pertanyaan.
Aku menghela napas. Aku menceritakan apa yang kulihat tadi sambil menangis. Ibu pun menutup mulutnya, seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan.
“Sabar, Risma ... ini ujian dari Yang Maha Kuasa. Perbaiki salat, perbanyak ibadah.” Nasehat Ibu terasa menyejukkanku. Aku hanya mengangguk.
“Titip Arif dan Ririn, Bu. Aku mau memberi pelajaran buat Mas Rido!” Aku pun menengok ke arah anakku yang kini tertidur. Bismillah, doakan Ibu ya, Nak. Ibu berjanji akan membuat orang-orang yang menyakitimu menderita. Ucapku dalam hati.
“Iya, pergilah ... biar Ibu dan Rian yang menunggu di sini, tadi Rian masih nyari tempat untuk parkir mobilnya.”
“Ada Rian juga ya, Bu? Aku tenang kalau gitu.” Rian adalah adikku. Kami dua bersaudara. Rian masih kuliah dan juga menjadi salah satu pelatih beladiri di kampusnya. Rian juga lah yang mengajariku sedikit ilmu bela diri sebelum berangkat dulu.
“Aku pergi, Bu ... Assalamualaikum.” Aku mencium tangan Ibu dan beranjak pergi.
“Waalaikumsalam.” Lamat lamat aku mendengar suara Ibu.
Dengan menggunakan taksi online aku pergi ke rumah Mas Rido lagi. Sepertinya aku butuh mobil baru agar memudahkanku kalau mau pergi.
Suasana rumah sudah sepi. Tetangga tak terlihat lagi berkerumun di depan rumah. Mobil berhenti agak jauh dari rumah agar aku bisa melihat diam-diam. Mas Rido terlihat duduk di ruang tamu, gundik itu duduk disampingnya sambil bergelayut manja. Posisi mereka membelakagi jendela. Aku lebih mendekat untuk mendengar apa yang mereka bicarakan.
“Gimana ini, Mas? Istri kamu yang jadi pembantu itu kenapa tiba-tiba pulang? Katamu kontraknya masih setahun lagi?!”
“Aku juga tak tahu, Mala. Aku meneleponnya kemarin untuk meminta uang, tapi kenapa sekarang sudah sampai di sini sih!” sungut Mas Rido.
“Tapi aku gak mau kalau kamu kembali sama pembantu itu, Mas.” Mala mulai merajuk.
Oh, jadi nama gundik itu, Mala. Apa dia bilang? Dia menyebutku pembantu? Bukannya sama ya? Aku mendengar dari tetangga sekeliling, wanita yang dinikahi suamiku dulunya adalah janda dari kampung sebelah. Awalnya dia sebagai penyanyi dangdut, namun karena tidak laku akhirnya bekerja sebagai pembantu di keluarga kaya tapi kemudian dipecat karena menggoda majikannya. Untungnya majikannya orang yang kuat iman tidak seperti Mas Rido. Hanya disuguhi selangkangan dan sedikit rayuan tega meninggalkanku yang banting tulang untuk hidupnya.
“Tidak akan, Sayang. Mas Cuma cinta sama kamu, Risma Cuma jadi atm buat Mas,” kata Mas Rido sambil mengelus pipi Mala.
Mala pun tersenyum dan mulai menutup mata. Mereka berci*man. Kurang aj*r, mereka malah bermesraan sementara anakku terbaring lemah.
Aku menoleh, melihat ada beberapa orang yang datang. Kemudian tersenyum. It’s show time!
“Aku sudah menunggu kalian” kataku kepada para preman itu. Ya, aku telah menyewa beberapa preman untuk mengambil barang-barang yang dibeli pakai uangku.
“Segera masuk dan ambil semua barang- barang dalam rumah itu.” Perintahku sambil menunjuk rumah Mas Rido.
“Siap 86” jawab para preman itu. Aku sedikit terkikik mendengarnya.
“ Eh ... eh ... apa apan ini? Siapa kalian? Kenapa barang-barangku diambil. Maling ... maling ...” Mas Rido berteriak kacau saat mereka masuk kedalam rumah dan mulai mengangkut barang-barang.
Sebelumnya aku sudah izin kepada RT setempat, dan memberikan bukti berupa buku nikah yang asli, jadi Gundik itu hanya nikah siri. Namun yang membuatku kaget adalah keterangan dari Pak RT bahwa Mas Rido menikah sah di KUA. Wah, aku juga perlu menyelidiki ini. Jangan-jangan tanda tanganku dipalsukan? Aku tersenyum licik memikirkan sebuah rencana.
“Mereka semua atas suruhanku, Mas!”
Aku pun menunjukkan diriku di depan Mas Rido. Sesaat Mas Rido terpesona melihatku. Rambut hitam, lebat, panjang dan lurus, lembut tertiup angin. Wajah putih dan glowing, badan langsing berisi. Baju dan tas mahal yang aku kenakan membuat Mas Rido terlihat meneguk ludah. Mungkin kemarin Mas Rido belum melihatku dengan jelas karena aku keburu emosi dan membawa anakku pergi.
“Sayang, kamu cantik sekali sekarang.”
Aku hanya tersenyum sinis. Dasar lelaki buaya buntung! Nggak bisa lihat yang bening dikit.“Ambil semuanya jangan ada yang tersisa.”Mas Rido tersadar dan berusaha mengambil televisi yang diangkut salah satu preman, tarik menarik pun terjadi. Mas Rido memukul wajah preman tersebut. Preman tersebut tak terima akhirnya membalas memukuli Mas Rido. Wajahnya yang masih lebam berdarah kembali.Dengan wajah penuh amarah Mas Rido menatapku. “S*alan kau Risma! Kenapa kau perintahkan preman itu untuk mengambil barang-barangku, hah?!” Dasar tak tahu malu. “Apa aku nggak salah dengar?! Itu semua punyaku, aku yang kerja dan barang itu dibeli pakai uangku!” hardikku“Angkut dan masukkan semua ke dalam truk itu, Bang!” Aku menyuruh salah satu preman yang sedang membawa kursi di ruang tamu. Aku memang meminta mereka datang dengan truk agar memudahkan membawa semuanya.
“Risma ... tunggu dulu Risma ....” Mas Rido mengejarku.“Aku masih mencintai kamu ... Percayalah padaku! Aku ....”“Cukup, Mas! Aku sudah Muak!” Aku menghentikan ucapan Mas Rido.“Kau tidak hanya melukaiku tapi juga melukai hati anakmu. Kau bahkan tidak merasa bersalah telah menyakiti mereka! Aku bukan hanya kecewa padamu, tapi aku membencimu!!”“Maaf, aku sedang emosi saja saat itu, tapi aku menyayanginya, bagaimanapun mereka anakku!”“Sayang kau bilang? Menyiksa anak seperti hewan apa itu bentuk rasa sayangmu?” Aku tidak bisa menerima alasan Mas Rido.Mas Rido terdiam tak membalas ucapanku.“Kalau aku tak datang, kau pasti masih akan terus menyiksa anakku.“Kau urusi saja istri barumu itu, Mas.” Aku melirik ke arah Mala yang hanya diam saja me
[Halo, Tuan][Kenapa belum memberi kabar, Risma?][Maaf, Tuan, banyak yang terjadi, aku jadi lupa belum mengabari Tuan.][Kamu dimana sekarang?][Di Rumah Sakit Pelita Hati][Aku kesana sekarang.]Tut.Telepon dimatikan tanpa menungguku menjawab. Aku memasukkan ponsel kedalam tas dan menuju ICU untuk melihat Ririn.Setelah mendapat izin dari perawat, aku segera masuk ke ruang ICU.Aku menangis lagi. Meskipun berusaha kuat tapi tetap saja air mata ini jatuh sendiri melihat Ririn. Di badannya terpasang banyak selang, ada juga selang di mulut dan tangannya. Belum lagi kepalanya diperban, mungkin itu cedera yang dimaksud dokter tadi.Kemarin karena panik aku jadi tak menyadari kalau darah di tangannya berasal dari kepala, bukan di tangan karena dia berusaha membuka pintu.Aku
“Arif, maksudnya apa? Ibu tidak mengerti!” Pelan-pelan kutanya anakku agar mau bercerita kembali.“Sepeninggal Ibu, Ayah bilang tidak usah sekolah karena hanya membuang-buang uang. Awalnya aku keberatan karena aku sedih harus berpisah dengan Bu Guru dan teman sekelas tapi ayah malah memukulku dengan sapu, ayah juga menamparku, ayah bilang aku harus menurut apapun perkataan ayah dan tante Mala,” jawab Arif sambil memainkan robot yang dibawa Tuan Rey.“Jadi selama ini kamu tidak sekolah?” tanyaku memastikan?Arif menggeleng.“Bagaimana dengan Adikmu?” tanyaku lagi.Dia juga tidak sekolah, Bu. Kadang aku kasihan liat Ririn soalnya Tante Mala menyuruh Ririn mengerjakan semuanya, dari bersih-bersih sampai memasak. Kalau ada yang tidak sesuai pasti ditampar. Kalau aku membantu pasti aku juga ikut dipukul.”Pandangan mataku tiba-tiba kabur, sekuat tenaga aku menahan agar tak me
Bab 8“Hah?!Ibu mertuaku akhirnya tahu, aku kemarin sempat heran kenapa Bu Nining, Ibu mertuaku tak ada saat aku mendatangi rumah Mas Rido.“Nanti aku ke sana,” jawabku lalu menutup panggilan.“Siapa yang menelepon Ris?” Ibu bertanya padaku saat aku sudah mematikan panggilanku.“Bu Nining, Bu. Kata orang suruhanku dia ngamuk-ngamuk di rumah Mas Rido. Katanya mencariku, Bu.”“Lalu kamu mau ke sana?” tanya Ibu kemudian.“Entahlah, Bu. Menurut Ibu gimana baiknya?”“Biarin aja dia ngamuk-ngamuk, nanti juga berhenti sendiri. Ini sudah hampir malam, besok saja kamu ke sana. Kamu juga butuh istirahat, balas dendam jug
Ting.Bunyi pesan masuk di gawaiku. Aku lalu membukanya[Anak Ibu sudah sadar, dimohon ke ruang ICU sekarang. Terima kasih.]Subhanallah ... Terima kasih Ya Allah. Aku segera bergegas ke ruang ICU setelah berpamitan dengan Arif, dia sudah ceria kembali.“Gimana keadaan anak saya, Suster?” Aku langsung bertanya pada Suster yang sudah menungguku.“ Badannya masih lemas karena baru sadar dari koma, sebaiknya jangan diajak bicara dulu. Menunggu sampai anak Ibu benar-benar kuat.”Aku segera masuk ke ruangan anakku dirawat, dia menoleh, tersenyum melihatku. Aku senang melihatnya, lalu ikut tersenyum.Setelah dilakukan serangkaian tes kesehatan, akhirnya Ririn dipindahkan ke ruang rawat, jadi satu dengan Arif. Alhamdulillah ... ini perkembangan yang baik.Sampai di ruangan Arif, ternyata Ibu sudah datang. Ada juga Rey disana. Mau apa dia pagi-pagi sudah di sini?“Sarapan dulu Ris, setel
“Risma ...!!!Tiba-tiba ada yang memanggilku dan ....Plak!Ibu mertua langsung menamparku.Tak terima ditampar aku hendak membalas menamparnya, tapi teringat dia sudah tua jadi kudorong saja sampai terjatuh.“Aduh, bok*ngku! Kurang aj*r kau, Risma! Tidak sopan pada orang tua. Mau apa kau datang ke sini, hah?!“Dia mau minta ganti rugi satu milyar, Bu. Atas uang yang selama ini dikirim, kalau gak bisa dia minta sertifikat rumah dan surat mobil.” Mas Rido mengadu kepada Ibunya.“Apa?! Seenak udelmu aja minta uang satu milyar, apalagi sertifikat itu punyaku, atas namaku. Mobil juga punya Rido. Jangan kasih ke wanita gila ini, Rido.”“Aku juga nggak mau ngasih, Bu. Tapi kalau nggak dikasih Risma akan melaporkan kita semua ke penjara,” ungkap Mas Rido.“Mana paham dia soal laporan ke penjara, dia kan Cuma lulusan SMP, paling dia hanya menggertak saja,” u
Bab 11Aku baru saja pindah ke Amerika, membantu ayahku mengurusi bisnis keluarga kami. Aku memutuskan membeli rumah dan tinggal sendiri daripada bersama ayahku. Aku pun mencari Asisten Rumah Tangga yang akan membantu mengurusi rumah, hingga dari yayasan penyalur ART memberikan CV seorang wanita bernama Risma. Dia berasal dari Indonesia, tanah kelahiran Ibuku.Wajah Risma cantik, bersih, tanpa make up menor, mengingatkanku akan almarhumah istriku. Kerjanya rajin dan masakannya enak. Tinggal berdua di rumah menimbulkan benih cinta di hatiku, walaupun aku tahu dia sudah bersuami. Aku hanya diam, tak mau aku mengganggu rumah tangga orang lain. Sampai akhirnya Risma berpamitan, mengundurkan diri dan akan kembali ke Indonesia saat kutanya alasannya ternyata suaminya selingkuh. Akhirnya aku ikut ke Indonesia dengan dalih menengok Ibuku, padahal aku tak bisa jauh dari Risma.Saat mendengar dia di rumah sakit, secepat kilat aku datang. Ternyata anaknya terluka dan koma akibat perbuatan ayahny