Share

Bab 4 Hancur

Aku hanya tersenyum sinis. Dasar lelaki buaya buntung! Nggak bisa lihat yang bening dikit.

“Ambil semuanya jangan ada yang tersisa.”

Mas Rido tersadar dan berusaha mengambil televisi yang diangkut salah satu preman, tarik menarik pun terjadi. Mas Rido memukul wajah preman tersebut.  Preman tersebut tak terima akhirnya membalas memukuli Mas Rido. Wajahnya yang masih lebam berdarah kembali. 

Dengan wajah penuh amarah Mas Rido menatapku. “S*alan kau Risma! Kenapa kau perintahkan preman itu untuk mengambil barang-barangku, hah?!”  

Dasar tak tahu malu. “Apa aku nggak salah dengar?! Itu semua punyaku, aku yang kerja dan barang itu dibeli pakai uangku!” hardikku

“Angkut dan masukkan semua ke dalam truk itu, Bang!” Aku menyuruh salah satu preman yang sedang membawa kursi di ruang tamu. Aku memang meminta mereka datang dengan truk agar memudahkan membawa semuanya.

“Tapi aku suamimu, uangmu adalah uangku terserah mau aku apakan uang itu!” 

“Termasuk untuk menikah lagi! Iya!? Kau lebih memilih p*lacur itu daripada aku istri sah mu? Kau tega mengkhianatiku hanya demi kepuasan bawah perutmu itu! Kau tega berbuat kejam kepada anak kandungmu hanya demi menyenangkan pelacu* itu! Ini semua tak ada artinya dibanding sakit hatiku dan anak-anakku, Mas!” Aku terengah engah. Kukeluarkan semua yang selama ini kupendam dalam hati.

“Aku bukan p*lacur! Aku juga dinikahi secara sah!” Mala berteriak emosi, mendekat hendak menjambak rambutku. Tapi salah satu preman menghalaunya sebelum tangannya mencapai rambutku.

 Aku tersenyum mengejek. “Sah? Yakin? Aku belum bercerai jadi mana mungkin kalian menikah sah tanpa tanda tanganku sebagai istrinya?” Aku memancing Mala.

“Semua itu bisa diatur, buktinya aku bisa menikah dengan Mas Rido,” ucapnya bangga.

“Apa buktinya?”

Dia berjalan kedalam rumah. Beberapa saat kemudian dia terlihat membawa sesuatu ditangannya.

“Ini buktinya.” Mala menyerahkan buku nikahnya kepadaku.

Aku melihatnya sekilas. “Tolong simpan ini Bang sebagai bukti.” 

Aku memberikan buku nikah itu kepada preman yang berdiri disampingku sebagai penjaga.

“Kau ... dasar licik!” Mala berusaha merebut buku nikah itu lagi, tapi gagal.

“Aku bukan licik ... hanya kau saja pelacu* bod*h.” Aku terus memancing emosinya.

“Sudah kukatakan! Aku bukan pel*cur!”

“Apa namanya kalau wanita mau tidur dengan lelaki yang bukan muhrimnya kalau bukan p*lacur? Apalagi demi uang dan kehidupan mapan?”

“Kau ...” Mala tak meneruskan ucapannya.

“Mas jangan diam saja lakukan sesuatu!” Mala meminta Mas Rido membantunya.

“Memangnya kau pikir aku bisa apa?! Kau tak lihat wajahku remuk dipukuli Risma dan preman tadi!” Mas Risma membentak Mala.

Aku membiarkan mereka beradu argumen, berjalan memasuki rumah yang mulai kosong. Aku melihat sekeliling ruangan. Rumah mewah ini hasil jerih payahku selama di negeri orang. Awalnya Mas Rido bekerja jadi kuli bangunan, tapi karena penghasilan yang tidak pasti dan sering menganggur karena tidak ada pekerjaan, akhirnya Mas Rido memintaku untuk menjadi TKW. Dengan dalih mengasuh kedua anakku yang masih kecil Mas Rido tidak bekerja. 

Aku pun tak menyangka Mas Rido tega menganiaya anaknya sendiri. Sungguh benar benar b*adap!

 Aku belum menanyai anakku tentang perlakuan ayahnya kepada mereka. Fokusku adalah menyembuhkan luka mereka terlebih dulu. Terutama batin mereka. Aku takut mereka memiliki trauma dimasa mendatang.

Kalau saja Mas Rido tidak berkhianat pasti aku sangat bahagia memiliki rumah mewah seperti ini. Anak-anak berlarian di halaman rumah, sedangkan aku dan Mas Rido mengawasi mereka dan duduk di teras sambil minum teh dan mengobrol berdua. Ah, itu Cuma angan anaganku saja, karena semua itu tak akan mungkin terjadi padaku dan Mas Rido.

Aku mulai menuju kamar tidur. Kamar yang seharusnya menjadi milik kami berdua. Tak ada lagi foto pernikahanku, yang ada hanyalah foto pernikahan Mas Rido dengan Mala, digantung didinding dengan pigura besar. Mereka berdua tersenyum bahagia, tanpa mereka sadari ada hati yang tersakiti. Aku tersenyum miris. Aku mulai mengambil asbak diatas meja dan melemparnya kearah pigura itu.

Prang!

Pigura itu pecah berkeping-keping.  Air mataku luruh juga. Jujur aku masih mencintai suamiku. Meski berpura-pura kuat ternyata aku lemah juga. Sakitnya dikhianati membuatku sadar, ini semua karena aku berharap kepada manusia.

Mas Rido dan para preman masuk kamar untuk melihat apa yang terjadi. Aku sudah mengusap air mataku dan berdiri dengan percaya diri. Aku tak boleh terlihat lemah dihadapan mereka semua.

Preman itu hendak mengangkat tempat tidur itu, tapi aku mencegahnya.

“Tak usah diangkut tempat tidur itu. Tinggalkan saja di sini. Benda itu menjadi saksi bisu perbuatan menjijikan mereka berdua. Aku tak sudi membawanya,” sungutku.

“Bawa lemari dan meja itu, keluarkan semua baju-bajunya.” Perintahku selanjutnya.

“Siap, Bos!” jawab Preman itu.

“Dek ....” Mas Rido memanggil dengan lembut.

“Jangan kau ambil barang-barang itu, apa kita tak bisa tinggal sama-sama di sini? Aku janji akan berlaku adil kepada kalian berdua.” 

Aku berdecik. Jijik rasanya mendengar Mas Rido bicara seperti itu.

“Aku tidak mau! Aku tidak sudi dimadu olehmu. Apalagi dengan perempuan mur*han seperti dia.” Aku menunjuk Maya.

“Tanpamu aku masih bisa hidup, Mas. Tidak sepertimu. Aku mau lihat seperti apa hidupmu setelah kita berpisah.” Aku tersenyum sinis.

“Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Risma.” Mas Rido tidak terima.

“Mas!!” Mala kelihatan ingin protes tetapi tak dihiraukan oleh Mas Rido.

“Tenang saja .... kita memang belum bercerai sampai aku membalas perbuatanmu! Camkan itu, Mas!!” Aku pun berlalu meninggalkan Mas Rido .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status