Share

Bab 7 Trauma

“Arif, maksudnya apa? Ibu tidak mengerti!” Pelan-pelan kutanya anakku agar mau bercerita kembali.

“Sepeninggal Ibu, Ayah bilang tidak usah sekolah karena hanya membuang-buang uang. Awalnya aku keberatan karena aku sedih harus berpisah dengan Bu Guru dan teman sekelas tapi ayah malah memukulku dengan sapu, ayah juga menamparku, ayah bilang aku harus menurut apapun perkataan ayah dan tante Mala,” jawab Arif sambil memainkan robot yang dibawa Tuan Rey. 

“Jadi selama ini kamu tidak sekolah?” tanyaku memastikan? 

Arif menggeleng.

“Bagaimana dengan Adikmu?” tanyaku lagi.

Dia juga tidak sekolah, Bu. Kadang aku kasihan liat Ririn soalnya Tante Mala menyuruh Ririn mengerjakan semuanya, dari bersih-bersih sampai memasak. Kalau ada yang tidak sesuai pasti ditampar. Kalau aku membantu pasti aku juga ikut dipukul.” 

Pandangan mataku tiba-tiba kabur, sekuat tenaga aku menahan agar tak menangis. Ibu mendekat dan mengelus pundakku, seakan menguatkanku. Kulihat juga raut wajah Tuan Rey berubah, entah apa aku tidak mengetahuinya.

“Tetap pancing Arif untuk menceritakan semuanya sebagai bukti ke polisi, aku sudah merekamnya.” Tuan Rey berbisik padaku.

“Arif, kalau boleh tahu apa yang terjadi setelah Ibu pergi?” 

Arif hanya diam.

“Tidak apa-apa kalau Arif belum bisa cerita, Ibu tidak memaksa.

“Permisi, waktunya Arif minum obat.” Datang seorang suster membawakan obat untuk arif.

“Iya, Suster.” Aku menerima obat darinya.

“Yuk, Nak minum obatnya dulu biar cepet sembuh dan bisa pulang.” Aku mengambil segelas air minum untuknya.

Prang! 

Gelas jatuh dan pecah. Arif menghempaskan gelas itu dengan tangannya.

 “Aku tidak mau sembuh, aku tidak mau pulang. Aku mau di sini saja biar ayah tidak memukulku. Ayah jahat! Aku benci Ayah!!” Arif berteriak sambil menutup kepalanya dengan tangan.

“Ya, Allah ... Arif.” Aku panik. Suster datang dan menyuntikkan obat penenang. Agak susah memegangi Arif yang masih berteriak dan meronta-ronta.

Arif mulai tenang dan tertidur. 

“Anakku kenapa suster? Tadi dia baik-baik saja, bahkan dia juga senang sudah bisa sekolah lagi, Tapi kenapa dia bisa berteriak histeris seperti tadi?” tanyaku pada suster itu.

“Biar dokter yang menjelaskan, Bu. Nanti saya panggilkan. Saya Permisi.” Suster itu kemudian pergi.

Tak berapa lama dokter datang, aku segera menanyakan hal yang sama padanya.

“Anak Ibu mengalami trauma, mungkin karena kekerasan fisik yang diterimanya selama bertahun-tahun menjadikannya seperti ini. Emosinya tidak stabil. Nanti saya akan kasih surat rujukan untuk ke psikiater, agar traumanya tidak berlanjut sampai dewasa.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok?” Aku pun bertanya.

“Sebaiknya Ibu tidak memaksanya bercerita ataupun mengingatkan Arif tentang ayahnya. Tapi nanti lebih jelasnya Ibu bisa tanyakan kepada Psikiater itu,” ujar Dokter kemudian.

“Baik, kalau sidah tidak ada pertanyaan, saya permisi, masih ada pasien yang akan konsultasi.”

Aku mengantar dokter sampai pintu ruangan.

“Sampai seperti itu anakmu, Ris?” Tuan Rey bertanya padaku.

“Iya, Tuan,” jawabku lirih.

“Risma ... lihat aku!” Aku pun menatap mata birunya.

“Kamu harus kuat, kamu harus balas, dan kamu harus tega juga kepada mereka! Setelah Arif dan Ririn sembuh jangan biarkan keluarga suamimu mengambil kedua anakmu. Nanti aku juga akan menghubungi pengacaraku untuk membantumu. Jadi kau harus tetap tegar!” Tuan Rey menatapku serius.

“Baik, Tuan,” jawabku.

Dia memandangku, “Bisa aku minta tolong berhenti memanggilku Tuan? Aku bukan lagi majikanmu karena kamu sudah tidak bekerja padaku. Panggil saja, Rey.”

“Tapi, Tuan ....”

“Sssttt ... bukan Tuan, tapi Rey.”

“Baiklah, Rey.” Akhirnya aku menurut saja.

“Aku pamit dulu. Besok aku ke sini lagi. Kalau kau butuh bantuan hubungi saja aku.”

“Iya, Terimakasih, Rey.” 

Dia pamit pada Ibu lalu keluar ruangan. Sepeninggalnya, aku senyum-senyum sendiri. 

“Ehem ... “ Ibu berdehem, lalu tersenyum.

“Sepertinya kamu bahagia sekali dijenguk majikanmu. Tapi ingat Risma, kamu masih istri orang. Seleseikan dulu masalahmu dengan suamimu, setelah itu terserah kamu.”

“Ah, Ibu. Dia Cuma majikanku, Bu.” Aku menyangkal ucapan Ibu.

“Ya siapa tahu apa yang terjadi besok?” 

Drrt ... Drrtt ... Drrt

Saat masih mengobrol dengan Ibu, gawaiku berdering.  

“Halo.”

“Bos,  Ibu mertua anda mengamuk di rumah,” jelas preman yang kutugasi mengawasi rumah Mas Rido.

“Hah?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ning Ningsih
g bs buka bab selajutnya ... gagal terus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status