“Apa?! Lalu gimana? Dia mengizinkan kita di sana kan, Mas? Nanti kalau tinggal di sana lama kelamaan kita bisa menguasai rumah itu. Kamu nggak perlu kerja kita udah kaya raya, Mas!”**“Mauku juga gitu, kita tinggal di sana enak, nggak usah kerja. Risma itu sebenarnya bod*h, pasti dia mengizinkan kita tinggal di sana.” Rido yakin mereka akan bisa tinggal di rumah Risma.Saat ini Risma sedang bersiap mengantarkan kedua anaknya ke pondok, semua keluarga Risma ikut berangkat, Aida dan Rey pun turut serta. Risma memutuskan untuk melupakan saja permasalahan dengan Rey kemarin, toh juga mereka tidak ada hubungan apa-apa.Arif dan Ririn ikut rombongan Ustaz, sedangkan lainnya berada di mobil Rey.“Mbak? Sekali lagi aku tanya, Kamu beneran mau mengizinkan Mala tinggal di rumahmu?” Rian membuka percakapan di dalam mobil.“Maksudmu apa, Yan?” Rey menyela pertanyaan Rian.“Risma mau mengizinkan Mala tinggal di rumahnya, Bang! Gila nggak Mbak Risma?” ucap Rian.“Apa?! Aku tidak setuju! Aida kenap
Bab 28“Hei! Bangun kalian! Dasar gelandangan! Pergi dari depan tokoku! Bikin rusak pemandangan aja, jangan tidur di sini nanti pembeliku pada kabur.” Rido dan Mala yang masih tidur dibangunkan oleh pemilik toko itu.Rido kaget, mendadak pusing dibangunkan secara kasar.“Yang sopan dong, Pak. Masa numpang tidur semalam aja kayak gitu! Aku bukan gelandangan. Semalam hujan jadi numpang neduh aja!” Rido tak terima dikatai gelandangam oleh pemilik toko.“Terserah apa katamu. Pergi dari sini! Aku mau buka toko.” Usir pemilik itu lagi.“Mala, bangun yuk, kita cari pom bensin buat numpang mandi.” Rido membangunkan Mala yang masih lelap tidur.“Iya, Mas.” Mala mengucek mata dan merapikan rambutnya.“Di depan sana ada pom, kita mandi lalu ke kantor polisi buat ngelaporin adiknya si Risma. Kita tuntut biar dapat uang ganti rugi,” ucap Rido sambil membereskan baju yang dipakai sebagai alas tidur.“Aku nggak mau dan nggak setuju, Mas! Tuntut aja langsung nggak usah lewat polisi, ngapain sih!” Mal
Bab 29Risma masih duduk di cafe itu sendirian. Menikmati segelas kopi susu hangat. Dia tersenyum. Akhirnya mereka akan mendapat balasan atas perbuatan mereka.Risma mengambil gawai dan menghubungi seseorang.“Halo, Lit. Lagi sibuk nggak?”“Enggak, lagi nyantai aja di rumah, gimana?” ucap Lita dari seberang telepon.“Bisa bertemu sekarang? Aku di rich cafe.”“siap! Otewe!”“Oke. Kutunggu.”Risma memesan minuman dan camilan untuk Lita. Tak lama kemudian, Lita pun datang karena memang letak cafe itu tak jauh dari rumahnya.“Mbak Risma, tumben ngajak ketemu, Mbak!” Begitu tiba, Lita langsung duduk di depan Risma.“Iya, Lit. Aku mau nanya soal yang aku minta tolong dulu.” Risma mendekatkan minuman dan makanan ke depan Lita.Lita tersenyum. “Makasih. Iya, Mbak. Aku sudah nyari tetanga-tetangga yang mau jadi saksi atas kekejaman Rido dan keluarganya, ada tiga orang. Dua wanita dan satu pria.”“Wah, makasih banget, Lit. Mereka melihat langsung atau gimana?” Risma antusias.“Wanita pertama Bu
Bab 30 PoV MalaAku benci anak-anak. Mereka berisik, pengganggu dan bikin emosiku naik. Kalau bukan karena duitnya, aku juga nggak mau dinikahin lelaki seperti Mas Rido. Apalagi ditambah kedua anaknya. Selalu bikin emosi. Mereka anak yang nakal, selalu membantah saat kusuruh, makanya aku memberitahu Mas Rido agar mendidik dengan kekerasan biar mereka jadi anak yang penurut.Selama ini baik-baik saja, aku pun nggak perlu mengeluarkan uangku karena membayar sekolah mereka, justru aku mengajari mereka mencari uang dengan mengamen di jalan. Bukannya aku Ibu tiri yang baik?Tapi entah darimana si Risma, istri pertama dari Mas Rido tahu tentang pernikahanku dan Mas Rido. Si*lnya dia pulang dan mengambil semua harta yang telah diberikan kepada Mas Rido, bahkan perhiasan yang telah kukumpulkan pun diambilnya juga. Puncaknya saat rumah itu dirobohkan. Harusnya sertifikat itu diganti atas namaku biar dia gak bisa macam-macam.Rumah Mas Rido sudah dirobohkan, rumah mertua yang cerewet itu sudah
“Ris, kamu kok belum transfer uangnya? Arif butuh uang untuk bayar sekolah, sebentar lagi dia ujian,” tanya Mas Rido, suamiku lewat telepon. Sudah tiga tahun ini aku bekerja di luar negeri menjadi Asisten Rumah Tangga seorang pengusaha di negara orang.“Besok ya, Mas. Aku belum gajian.”Sengaja aku memang belum mentransfer uangnya, karena aku dengar kabar kalau ternyata suamiku telah menikah lagi setahun setelah aku pergi. Entah kenapa selama ini tak ada yang memberi tahu kepadaku tentang kelakuan Mas Rido. Makanya aku berniat berhenti kerja dan kembali ke Indonesia untuk memberi perhitungan kepada suamiku.“Kok tumben sih? Biasanya tanggal segini sudah kirim uangnya. Kalau bisa cepat ya, kasihan nanti Arif nggak boleh ikut ujian kalau belum bayar sekolahnya,” katanya kemudian.Selalu Arif anak kami
Pagi hari aku memasukkan pakaianku ke dalam koper. Tak lupa juga dengan barang-barang lainnya. Akhirnya selesei juga tiga koper penuh.“Risma ... sudah belum? Pesawat kita dua jam lagi take off kita harus berangkat sekarang.” Terdengar suara Tuan Rey dari depan kamarku.Aku segera membuka pintu. Tampak Tuan Rey memakai polo shirt putih dan celana kargo pendek. Sungguh kelihatan tambah gagah.“Tuan yakin mau ikut ke Indonesia? Maaf bukannya lancang, tapi sebaiknya Tuan tidak terlalu dekat denganku karena aku istri orang,” ucapku sungkan.“Pede sekali kau menganggap aku pulang ke Indonesia untukmu. Aku memang bilang akan ke sana, tapi untuk bertemu Ibuku, Ya ... sekalian sedikit membantumu,” jawabnya panjang.Astaga ... sungguh malu aku m
Aku menggendong Ririn yang masih terkulai lemas. Berjalan kembali ke dalam rumah hendak melihat keadaan Arif. Terlihat Ibu berbaju putih tadi memeluk Arif sambil duduk di teras rumah. Mas Rido tak kelihatan, bersembunyi di dalam rumah atau malah pergi ke rumah Ibu mertua yang hanya berjarak berberapa rumah. Aku tak peduli, yang kupedulikan hanyalah keselamatan anakku terlebih dahulu. Aku masuk kedalam taksi yang sedari tadi masih menunggu. Hendak berangkat ke rumah sakit. Kemudian menelepon Ibuku. Selama ini Ibuku juga tak tahu kalau Mas Rido menikah lagi karena memang rumah Ibuku lumayan jauh, butuh satu setengah jam perjalanan.[Halo, Bu? Ini aku Risma. Bisa minta tolong datang ke Rumah Sakit Pelita Hati?][Bisa, tapi ada apa memangnya?][Nanti aku ceritakan di sana, Bu. Kalau bisa sekarang, ya. Aku tunggu.][Iya, Ibu berangkat sekarang.]Kuakhiri panggilan telepo
Aku hanya tersenyum sinis. Dasar lelaki buaya buntung! Nggak bisa lihat yang bening dikit.“Ambil semuanya jangan ada yang tersisa.”Mas Rido tersadar dan berusaha mengambil televisi yang diangkut salah satu preman, tarik menarik pun terjadi. Mas Rido memukul wajah preman tersebut. Preman tersebut tak terima akhirnya membalas memukuli Mas Rido. Wajahnya yang masih lebam berdarah kembali.Dengan wajah penuh amarah Mas Rido menatapku. “S*alan kau Risma! Kenapa kau perintahkan preman itu untuk mengambil barang-barangku, hah?!” Dasar tak tahu malu. “Apa aku nggak salah dengar?! Itu semua punyaku, aku yang kerja dan barang itu dibeli pakai uangku!” hardikku“Angkut dan masukkan semua ke dalam truk itu, Bang!” Aku menyuruh salah satu preman yang sedang membawa kursi di ruang tamu. Aku memang meminta mereka datang dengan truk agar memudahkan membawa semuanya.