Kenapa rasanya seperti di tampar. Semua yang diucapkan Ardi itu begitu menyinggungku. Tak mau buang waktu aku segera pulang ke rumah saat jam istirahat. Entah siapa yang memarkir motor sembarangan persis di depan rumah, siapa gerangan yang mampir. Aku mengintip lewat celah pagar, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Dilra menyerahkan uang pada pria berkemeja itu. Lalu pria itu menyerahkan sobekan kecil dari bukunya. Begitu berbalik ternyata itu Pak Rudi. Bank keliling harian yang biasa meminjami Ibu-ibu sekitar rumahku, tetapi itu dulu saat di rumah yang lama. Entah kenapa dia bisa kemari. Jadi Dilra diam-diam meminjam uang tanpa sepengetahuanku?
"Dil, siapa tadi? Bank keliling ‘kan?” tanyaku. Tatapan Dilra langsung berubah tak suka.
“Untuk apa pinjam-pinjam segala, itu riba!” sentakku kala Pak Rudi, sudah memacu motornya.
“Enggak pernah dikasih uang ya pinjam,” jawabnya datar. Tidak tampak raut bersalah sama sekali, malah membalik badan dan berjalan begitu saja. Kuikuti ke mana arah langkahnya tertuju, ke arah dapur rupanya.
“Dilra, kamu masih menghargai Mas, enggak? Butuh uang berapa sih, apa susahnya tinggal bilang sama Ibu? Kalian serumah, tahu dosa enggak sih kamu! Boleh kamu pinjam kalau kepepet, aku kerja mati-matian kalau bukan buat kamu.” Dilra yang tengah mengambil cangkir yang menggantung di mini bar mendadak meletakannya kembali. Kini dia berjalan mendekat.
“Kenapa, mau marah lagi?” Dilra hanya menatap tajam. Seperti dugaank dia marah lagi. Dadanya naik turun, menahan emosi, mata yang mulai memerah semakin menjelaskan semua itu. Kulihat tangannya mulai meremas kuat, hingga buku-buku jarinya tampak memerah.
“Aku pinjam karena butuh, salah?”
“Berapa yang kamu pinjam, seberapa besar yang bisa dia kasih?”
“Dua ratus ribu.” Sungguh tidak habis pikir. Aku sedikit terkekeh, uang sekecil itu kenapa harus meminjam.
“Hanya dua ratus ribu kamu pinjam ke Bank?”
“Kenapa kamu ketawa Mas, lucu ‘kan? Istri pemilik bengkel mobil besar, pinjam uang dua ratus ribu ke bank keliling?”
“Jangan bercanda Dil, bilang berapa hutangmu?”
“Ya sudah kalau enggak percaya, tanya ke Pak Rudi.”
“Aku kasih ibu uang 10 juta hanya untuk kebutuhan makan dan kamu malah pinjam ke Pak Rudi dua ratus ribu buat apa, masih belum cukup juga?” Aku sedikit berteriak karena dia seakan acuh, memilih meneruskan membuat kopi yang tadi, sempat tertunda.
“Itu buat ibumu bukan buatku.”
“Apa maksudmu bilang begitu, jelas itu buat kita semua.”
“Ah, berisik tahu. Ini kopi minum aja. Besok-besok enggak usah minta bikin kopi, kalau enggak mau didatangi rentenir ke rumah.”
“Dilra! Begitu caramu melayani suami?" Lagi pula sedang puasa kenapa juga malah menyuguhkan kopi, apa dia melupakannya?
“Ya terus, maunya bagaimana?”
“Dilra kamu keterlaluan, aku selama ini sabar sama kamu tapi kalau cara kamu begini ....”
“Mas mau apa, kenapa sih mas cerewet banget. Aku butuh uang buat beli kopi gula, siapa yang minum? Kamu juga ‘kan? Masih mending anakmu minum ASI, jadi enggak perlu repot-repot keluar biaya.”
“Sekali pun Dion minum susu formula aku masih mampu!”
“Oh, ya? Kalau hanya masalah gula kopi hutang ke Pak Rudi, bagian mana yang kamu sebut mampu, Mas? Sudahlah aku mau nyapu.”
Plakk!!
“Cukup Dilra, kamu keterlaluan!” Kali ini aku kalap lagi, tak sengaja menamparnya. Untuk pertama kalinya juga aku melakukan ini, tapi kurasa ini setimpal untuk istri yang selalu melawan. Dilra tampak mengusap pipinya yang memerah, matanya menatapku nanar tapi tak lama dia mengusap air mata yang mengalir dengan cukup kasar. Setelahnya, seolah tak terjadi apa-apa Dilra malah meraih sapu. Aku berpikir dia akan melawanku tapi malah menyapu lantai. Aku jadi merasa bersalah.
“Dil, Mas minta maaf.”
“Hmm.” Dilra tidak mau melihat ke arahku sama sekali, pandangannya ke lantai masih fokus dengan sapu di genggamannya.
“Dil.” Kali ini aku menahan lengannya, lalu menangkupkan kedua tanganku di wajah wanita itu. Ada jejak merah berbentuk telapak tangan di sana, tapi seakan dia tak merasa tersakati sama sekali.
“Sakit, Dil?” Aku mengusap pipinya pelan, perlahan sapu di genggamannya terlepas, kini kami saling menatap.
“Maaf, Mas kelepasan, pasti sakit. Biar dikompres pakai es ya.” Mata Dilra terlihat berembun, tapi lagi-lagi dia tak mau membuka suara. Tangannya malah menggenggam kedua tanganku.
“Lepas!!!” ketusnya, sungguh membuatku terkejut bukan main. Setelahnya langsung menghempas tanganku dengan kasar. Sekarang malah pergi ke kamar, membiarkan sapu tergeletak begitu saja. Aku berniat menghampiri, tapi begitu mengetuk pintu dia seperti sengaja tak ingin ditemui. Pintunya dikunci dari dalam. Aku menyerah sudah diketuk berkali-kali, tetap tak mau keluar. Dia menulikan diri meski seharusnya merasa terganggu. Sempat terdengar jeritan bayi Dion, karena terkejut dengan suaraku, tapi Dilra masih kukuh tak mau membuka pintu.
Aku memutuskan tak kembali ke bengkel, menunggu sampai Dilra mau keluar kamar. Ternyata rumah sepi sekali saat siang hari, Ibu dan Mia entah pergi ke mana dari siang sampai sore belum juga pulang, hingga pukul empat. Aku dengar suara pintu di buka, ada Ibu dan Mia di balik sana. Mereka tampak riang dengan beberapa tas belanja berisi pakaian dan camilan. Aku memperhatikan dari lantai dua. Sampai sekarang mereka belum sadar akan kehadiranku.
Jam menunjukkan pukul 4.30 sudah setengah jam aku memperhatikan mereka dari dalam sini. Sesekali tawa mereka terdengar riang, tanpa sadar membuatku tersenyum. Akhirnya aku bisa membuatmu bahagia Bu. Saat itu juga Dilra keluar dari kamar. Dia melewati begitu saja, seolah aku ini tak tampak baginya.
“Dil.”
“Aku mau masak Mas, jangan ikuti aku!” Ya sudahlah aku menyerah. Aku turun ke bawah tak lama setelah Dilra berada di dapur.
“Eh kami kok udah ada di rumah Lang?” Ibuku tampak gugup menyadari kehadiranku. Dia tampak gelisah memasukkan asal barang belanjaannya ke dalam tas.
“Enggal usah disembunyikan, aku sudah liat semuanya.” Seketika Ibu tertunduk, mungkin merasa bersalah.
“Enggak apa-apa Bu, Galang senang kalau bisa bikin Ibu bahagia.”
“Benar enggak apa-apa, Lang?”
“Ya, Bu.” Ibu malah menangis haru. Dia selalu begitu begitupun Mia yang malah mengikuti Ibunya. Sementara di dapur Dilra seolah tak peduli sama sekali. Dia tetap asyik bergulat dengan sayur mayur dan alat masaknya.
Ruang keluarga memang sengaja dirancang mengarah langsung ke semua tempat. Dilra yang mengusulkan katanya biar mudah mengontrol anak-anak kami dari sini, awalnya Ibu juga menolak tapi alasan Dilra cukup masuk akal kali itu. Dilra dan Ibu hampir selalu beda pendapat sejak dulu bahkan sampai sekarang. Seringnya Dilra mengalah, katanya cuma ingin hidup dengan tenang dan damai. Itu dulu kalau sekarang kutanya kenapa dia mau mengalah, maka dia akan berkata, malas ribet. Dia telah berubah, aku hampir kehilangan sosok Dilra yang lembut.
“Ibu enggak salat?” tanyaku.“Oh iya, Ibu lupa.”“Ya sudah salat dulu!”“Nanti saja sudah terlanjur juga, lihat! Sudah jam 5.” Begitulah Ibu setiap kali diminta ibadah alasannya banyak. Aku menatap lembut, tanpa bicara apa pun. Berharap dia mengerti dan mau menunaikan kewajibannya segera.“Ibu juga belum mandi, kotor, bau masa salat enggak mandi.”“Enggak mandi juga boleh, kalau waktunya sudah mepet Bu.”“Enggak ah, mana bisa begitu, enggak sah salatnya.”“Bu ….”“Nanti Ibu salat magrib Lang, sudah ya, Ibu mau ke kamar dulu.”“Mia, kamu salat sana!”“Aku mau ke kamar dulu, Bang!”“Mi kamu sudah gede loh, masa salat saja harus diingatkan terus.”“Mia nanti salat di kamar saja.”“Bener ya?” Mia mengangguk, lalu setengah ber
“Aku mau tidurkan Dion, biar aku yang cuci piring! Kamu jangan cari perkara pakai cuci segala, aku sudah capek Mas, jangan bikin aku jadi bahan gosip orang sekampung! Terima kasih sudah membantu tapi lain kali enggak usah,” katanya seraya berjalan meninggalkanku sendiri di dapur. Sungguh bagaimana bisa dia bicara seperti itu padaku, kenapa menghadapi wanita serumit ini, aku hanya berniat membantunya dan dia malah takut jadi bahan gosip sekampung, apa maksudnya. Sudahlah toh tidak tiap hari. Aku putuskan untuk mengerjakan semuanya, mencuci piring bukan perkerjaan yang sulit juga.“Kamu kenapa cuci piring sih, Lang? Istrimu itu ke mana, apa saja yang dia lakukan dari tadi, sampai piring bekas makannya dicucikan kamu?”“Ya sudah sih Bu, enggak tiap hari ini. Dion juga tadi rewel, kasihan Dilra belum makan juga dari tadi.”“Itu nasi di piring bekas siapa?”“Tadinya mau di makan tapi malah tumpah soalnya Di
“Mau kutemani?” tanyanya.“Enggak usah, kalau kamu enggak ikhlas.”“Ikhlas itu soal hati, tahu apa Mas soal itu, ayo pergi minta maaf.”“Kamu bilang, Ibu menghinamu lalu sekarang mau minta maaf, apa namanya kalau bukan munafik Dil?” Dilra malah tertawa, dia terus tertawa sampai aku yang melihatnya merasa ketakutan sendiri. Dan kau tahu apa yang selanjutnya terjadi, dia terus tertawa hingga tanpa sadar air mata telah mengalir membasahi pipinya.“Dil, kamu baik-baik saja kan?”“Ya,” tawanya langsung berhenti, begitu saja, sontak membuat jantungku seperti berhenti berdetak.“Ayo minta maaf,” ajaknya lagi, kali ini Dilra mengusap pelan jejak basah bekas linangan air matanya, tangannya langsung melingkar di lenganku, menariku keluar kamar, hingga mendekat ke arah tangga, kami berhenti, itu pun karena aku menahannya.“Dil gak usah, cukup! Biar Mas aja yang minta maaf.” Perlahan Dilra melepas lingkaran tangannya.Matanya kembali berembun, kau tahu apa yang pal
Hari berlalu, aku pergi ke kantor seperti biasanya, sayangnya kelakuan Ardi hari ini sungguh membuatku jengkel. Dia berisik sekali terus menelepon karyawan yang berjaga di depan sampai mendekati jam pulang. Dia masih saja menelepon, tampak gelisah sekali.“Apa sih, Di. Berisik tahu, anak orang lu suruh bulak-balik naik turun dari pagi sampai sore, nunggu apa?”“Bini gue ulang tahun, Ini masalahnya udah pesan kue, sampai sekarang belum sampai juga, padahal sudah sore, kan panik gue.”“Lagian kenapa pesan di situ, toko roti juga banyak. Itu depan sana enggak lihat?” Aku menunjuk pada bangunan toko roti yang berada tak jauh dari kami. Ruangan ini berada di lantai tiga jadi cukup berdiri saja, semua bangunan di sekitar sudah pasti terlihat.“Ini kuenya beda, pas di belah keluar duitnya."“Lagian lu kenapa pesan kue macam itu?”“Yang penting bini gue seneng. Pasti nanti dia enggak nyangka dalemnya
“Mas ambilkan makan, ya?” “Aku belum masak.” “Ya sudah kita makan di luar.” Dia menggeleng. “Kenapa? Enggak baik menunda buat buka puasa.” “Mas saja yang makan di luar aku buka di rumah.” “Katanya enggak masak, mau makan apa?” “Mie instan banyak di dapur, aku bisa makan itu.” “Sayang, dengar, mie instan enggak baik buat kesehatan apalagi buat Ibu menyusui, butuh banyak nutrisi.” Dilra menggeleng lagi. “Kenapa? Biar aku di rumah saja.” “Ya sudah kita order go food saja bagaimana?” “Buat Mas saja, aku enggak usah.” “Mana bisa begitu sayang, sudah kalau enggak mau biar Mas pesankan sekarang. Kita batalkan dulu puasanya, Mas ambilkan minum sebentar ya.” “Terima kasih, Mas.” Kuusap rambutnya pelan, lalu pergi ke bawah mengambil air. Aku berpikir dia akan menunggu di ranjang sampai aku datang lagi dengan air, nyatanya Dilra malah memunguti barang-barang yang bercecer
“Dil, jangan pergi, jangan pergi Mas mohon.” “Mau apa lagi aku di sini Mas, sudah cukup kalau enggak ada kepercayaan di antara kita untuk apa hidup bersama. Kamu hanya percaya Ibumu, aku ini istri, Mas pikir aku suka diperlakukan begini, enggak!” “Lalu kenapa kamu diam saja selama ini?” “Demi anak, aku ingin anak dari kamu. Setelah ini aku tak peduli lagi, hidup saja bersama Ibumu, aku muak!” Koper itu sengaja dia banting ke bawah, hingga menimbulkan bunyi gebrakan cukup keras, kemudian dengan cepat membawa Dion dalam gendongannya. “Dil Mas mohon jangan pergi, oke kamu butuh uang ini semuanya pegang semuanya Dil, mulai sekarang biar semuanya kamu yang atur.” Kuserahkan dompet pada Dilra. Sudahlah aku tak peduli lagi dengan uang. Untuk apa aku punya banyak uang kalau harus kehilangan istri. Rasanya aku tak akan sanggup. Apalagi Dion, bayi yang sudah kunantikan sejak lama, bagaimana bisa dia bawa pergi. “Lepas!” Dilra menepis. Ibu keluar dari ka
"Di depan Mas ke sana saja.” Kutinggalkan mobil di jalanan,mengabaikan bunyi klakson yang terus saja bersahutan.“Dilra!”Ya Tuhan, Dil. Perempuan itu melompat saat jarakku dengannya hanya tinggal beberapa meter lagi. Allahu akbar, bayinya pun ikut terjun bersamanya. Lututku mendadak lemas, lalu luruh ke aspal begitu saja. Orang-orang berkerumun, sedang di bawah … aku tak sanggup menyaksikannya.“Bang bangun dulu, Bang.” Seseorang menepuk pundakku ada yang mencoba menguatkan. Sebagian lagi malah berbisik dengan nada cemooh. Di dunia ini memang selalu punya dua sisi. Aku tak bisa seperti ini. Aku berniat turun ke bawah, meski melewati rerumputan dan tebing terjal. Bagaimana bisa kubiarkan jasad Dilra dan Dion tergeletak di bawah jalan tol. Orang-orang itu sudah melarangku, katanya bahaya. Andai saja kalian di posisik. Apa kalian akan berpikir dua kali untuk tidak turun. Seseorang telah menutup jenazah Dilra dengan daun. Banyak
“Kalian semua jahat sama aku, kalian pembunuh. Kembalikan dua anakku, kembalikan hiks hiks hiks,” teriak Dilra lagi. Kali ini dia malah menangis, setelah tadi suaranya naik beberapa oktaf.“Kalian pembunuh!” Dilra menangis sembari memukul pundakku, dengan keras. Aku memeluknya erat tapi Dilra malah meronta, minta dilepaskan, terus saja berteriak. Aku menutup mulutnya dengan telapak tangan, agar dia berhenti melakukan itu.“Dia membunuh anakku Mas. Anakku mati. Dinda dan Aira, maafkan Bunda Sayang. Seharusnya kalian ada di sini, di sisi Bunda.” Dilra menenggelamkan kepalanya di dadaku. Bagaimana bisa dia menyalahkan Ibu atas kematian anakku. Apa benar ini semua salah Ibu. Aku terus memeluk mengusap punggung yang masih berguncang karena isaknya. Sesekali mengecup keningnya demi bisa melepas sesak, yang kian merasuk ke dalam dada. Pintu rumah kami diketuk dari luar, teriakan Dilra pasti mengundang penasaran orang rumah. Gegas kubuka pin