“Aku mau tidurkan Dion, biar aku yang cuci piring! Kamu jangan cari perkara pakai cuci segala, aku sudah capek Mas, jangan bikin aku jadi bahan gosip orang sekampung! Terima kasih sudah membantu tapi lain kali enggak usah,” katanya seraya berjalan meninggalkanku sendiri di dapur. Sungguh bagaimana bisa dia bicara seperti itu padaku, kenapa menghadapi wanita serumit ini, aku hanya berniat membantunya dan dia malah takut jadi bahan gosip sekampung, apa maksudnya. Sudahlah toh tidak tiap hari. Aku putuskan untuk mengerjakan semuanya, mencuci piring bukan perkerjaan yang sulit juga.
“Kamu kenapa cuci piring sih, Lang? Istrimu itu ke mana, apa saja yang dia lakukan dari tadi, sampai piring bekas makannya dicucikan kamu?”
“Ya sudah sih Bu, enggak tiap hari ini. Dion juga tadi rewel, kasihan Dilra belum makan juga dari tadi.”
“Itu nasi di piring bekas siapa?”
“Tadinya mau di makan tapi malah tumpah soalnya Dion enggak bisa diam.” Aku terpaksa berbohong.
“Ibu enggak pernah loh suruh almarhum Bapa kamu cuci piring kami, haram hukumnya laki-laki pegang kerjaan rumah.”
“Bu, sudah toh Dilra juga istriku, kan aku yang cuci bukan Ibu, jangan memperbesar masalah, kasihan Dilra.”
“Kamu dinasihati susah, nanti kebiasaan.”
“Enggak bakal, nah Ibu sudah salat belum?”
“Hmm ibu ....”
“Belum salat ‘kan?”
“Mending salat dulu, sini mangkok bekas kolaknya biar sekalian Galang cuci.” Ibu terlihat malu. Pasti dia belum salat lagi. Terkadang aku bingung, bagaimana menyuruh keluargaku untuk ibadah. Ibuku sudah tak lagi muda tapi seolah dia akan hidup selamanya. Tidak pernah ingat akhirat juga enggan di ingatkan. Aku berpikir setelah kematian Bapak, ibu lantas berpikir untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa, nyatanya dia malah semakin jauh.
~
Selesai sudah semuanya. Kali ini aku berniat langsung ke kamar, tapi sepertinya Ibu juga dari kamarku kulihat dia menuruni tangga. Wajahnya tampak masam. Sedang dari atas tampak Dilra masih berdiri di ambang pintu kamar kami. Begitu aku mendekat bukannya menyambut, wajahnya malah di tekuk lagi, lantas dia masuk ke dalam tak mau menunggu untuk masuk beriringan.
“Dil, tadi ibu ke sini?” tanyaku.
“Sudah kubilang jangan di cuci!”
“Memangnya Ibu bilang apa?” Dilra tak mau menjawab, tapi sudah kutebak pasti Ibu menegurnya karena hal ini, sungguh rasanya kepalaku ingin pecah.
“Mau kamu apa?”
“Enggak usah repot-repot, berhenti bikin hidupku tambah susah, bisa ‘kan?”
“Mana bisa begitu, kamu kan istriku. Dion juga anakku, kamu repot, ya aku bantu.”
“Dibilang enggak usah ya enggak usah, apa susahnya sih?”
“Sebenarnya mau kamu apa Mas, serba salah kalau begini!”
“Mau tidur capek!” Astaghfirrullah, sabar Galang. Kenapa kamu berubah Dil, sekarang dia malah tidur memunggungiku. Kalau sudah begini bisa kupastikan sampai sahur menjelang tak akan ada percakapan di antara kami. Andai Dion tak ada. Entah apa jadinya kamar ini. Tak ayalnya macam area pemakaman, sepi dan sunyi. Sudah lama sekali kami tak terlibat dalam obrolan santai, nada bicara Dilra yang makin hari makin acuh, membuat enggan untuk mengajaknya bicara. Jam masih menunjukkan pukul 18.50, aku bersiap untuk pergi teraweh. Entah dengan Ibu dan Mia mereka malah memilih mampir ke tetangga sebelah katanya ada arisan.
“Cuma sebentar Lang," kata Ibu, saat kuajak dia tarawih, malah menolaknya dengan alasan lain. Mengocok arisannya memang sebentar tapi bergosipnya yang lama. Dilra sudah pasti tak tarawih karena harus menjaga Dion.
“Dil makan dulu, enggak bagus loh menunda makan.” Kuputuskan kembali ke kamar, tiba-tiba saja teringat Dilra yang belum makan dengan benar.
“Iya.”
“Mas tinggal sendiri enggak apa-apa?”
“Enggak apa-apa.”
“Bener ya nanti makan?”
“Iya,” sahutnya acuh seperti biasa. Tampaknya Dilra mulai tak suka, salah lagi, niat hati ingin berbaikan dengannya tapi tak ada satu pun yang benar di matanya.
~
Setelah tarawih seharusnya Dilra masih di rumah, kususul ke kamar sayang hanya ada Dion yang terbaring di kasur sendirian. Ke mana dia? Kususuri setiap ruang pun. Tidak kutemukan di mana pun. Sampai akhirnya kulihat balkon rumah kami masih gelap, mungkin Dilra lupa menyalakan. Begitu mendekat ke skalar lampu, tampak bayangan hitam di ujung tembok, seperti orang yang tengah mengintip. Aku mendekat dengan mengendap-endap, dari aroma tubuhnya saja aku sudah hafal, bisa kupastikan itu Dilra. Sedang apa dia di sana, apakah mengintip rumah sebelah? Pakai acara mematikan lampu segala. Sebentar, kenapa dia terisak, drama apa lagi kali ini?
Pandanganku tertuju ke arah di mana Dilra mengintip rumah Bu Farah rupanya tetangga sebelah. Di sana sedang ada arisan. Ada Ibu dan Mia, di sana sangat ramai. Sesekali tawa nyaring mereka sampai terdengar ke atas sini, tapi kenapa dengan Dilra yang justru terisak. Apa lagi Ibu, bisa kudengar tawanya paling keras di antara yang lain. Sementara itu, Dilra justru makin terisak. Tak tahan melihatnya, kutekan skalar lampu hingga membuat keadaan menjadi terang benderang. Dilra lantas mengerjap, lalu dengan cepat menyembunyikan diri di balik dinding.
“Kamu sedang apa di situ, Dil?” tanyaku, dengan cepat Dilra mengusap wajahnya dengan kasar.
“Enggak apa-apa,” jawabnya yang masih terlihat gelagapan, mungkin tak menyangka kalau aku berada di sini.
“Kamu ingin ikut gabung?” Dilra malah diam dan menunduk.
“Mas kan lagi ngomong kenapa malah menunduk, kalau mau ikut, ya ikut saja.” Dari sini aku tahu, sisi lain dari istriku. Saat sendiri dia terlihat begitu rapuh, tapi saat kudekati dia bagai bunga mawar yang berduri. Nyatanya tak ada yang berubah darinya, hatinya tetap lembut, yang berbeda hanya dia yang terlalu membentengi diri dariku.
“Kamu mau ikut? Bilang saja, enggak apa-apa kok.” Aku berusaha mengalah kali ini, bukankah hampir semua perempuan memang suka kelembutan, kuraih lengannya perlahan, berharap itu mampu membuatnya mau berbaikan denganku.
“Mau bayar pakai apa? Daun?” ketusnya. Astaghfirrullah. Dilra malah menepis lenganku, lalu setelahnya pergi begitu saja. Bisakah dia sopan sedikit. Aku mengejarnya, ada apa dengannya kenapa jadi begitu kasar dan temperamental.
“Kenapa sih kalian ribut lagi?” tiba-tiba Ibu sudah ada di bawah. Melihatku mengejar Dilra. Dia malah berteriak dari bawah. Aku tak peduli. Dilra sudah lebih dulu masuk kamar, rupanya dia menungguku. Terbukti saat masuk kamar dia sudah berdiri bersandar ke dinding tepat di samping pintu, sedang pandangannya lurus ke depan menatap bayi Dion yang terlelap di ranjang kami.
“Mas pikir enak, minta segala sesuatu ke Ibu. Barangnya enggak dapat, yang ada malah dihina,” lirihnya dengan penuh penekanan.
“Jaga bicaramu Dil, kamu boleh enggak menghormati Mas, tapi enggak buat ibu.”
“Terserah Mas mau percaya atau enggak, itu sama sekali bukan urusanku!”
“Dilra, jadi kamu di belakang menjelekkan Ibu?” Tiba-tiba ibu sudah ada di belakangku. Aku lupa belum sempat menutup pintu jadi ibu leluasa masuk ke kamar kami. Salahnya malah menangis, lalu berlari turun ke bawah.
“Tunggu Bu, bukan maksud Dilra begitu!” Aku sedikit mengeraskan suara, karena Ibu makin menjauh. Di tengah kebingungan ini, kulirik istriku dia terlihat santai, justru setelahnya Dilra malah tersenyum, pandangannya lurus menatap ke punggung Ibu yang makin menjauh.
“Kejar Mas, surgamu ada di sana bukan?”
“Mau kutemani?” tanyanya.“Enggak usah, kalau kamu enggak ikhlas.”“Ikhlas itu soal hati, tahu apa Mas soal itu, ayo pergi minta maaf.”“Kamu bilang, Ibu menghinamu lalu sekarang mau minta maaf, apa namanya kalau bukan munafik Dil?” Dilra malah tertawa, dia terus tertawa sampai aku yang melihatnya merasa ketakutan sendiri. Dan kau tahu apa yang selanjutnya terjadi, dia terus tertawa hingga tanpa sadar air mata telah mengalir membasahi pipinya.“Dil, kamu baik-baik saja kan?”“Ya,” tawanya langsung berhenti, begitu saja, sontak membuat jantungku seperti berhenti berdetak.“Ayo minta maaf,” ajaknya lagi, kali ini Dilra mengusap pelan jejak basah bekas linangan air matanya, tangannya langsung melingkar di lenganku, menariku keluar kamar, hingga mendekat ke arah tangga, kami berhenti, itu pun karena aku menahannya.“Dil gak usah, cukup! Biar Mas aja yang minta maaf.” Perlahan Dilra melepas lingkaran tangannya.Matanya kembali berembun, kau tahu apa yang pal
Hari berlalu, aku pergi ke kantor seperti biasanya, sayangnya kelakuan Ardi hari ini sungguh membuatku jengkel. Dia berisik sekali terus menelepon karyawan yang berjaga di depan sampai mendekati jam pulang. Dia masih saja menelepon, tampak gelisah sekali.“Apa sih, Di. Berisik tahu, anak orang lu suruh bulak-balik naik turun dari pagi sampai sore, nunggu apa?”“Bini gue ulang tahun, Ini masalahnya udah pesan kue, sampai sekarang belum sampai juga, padahal sudah sore, kan panik gue.”“Lagian kenapa pesan di situ, toko roti juga banyak. Itu depan sana enggak lihat?” Aku menunjuk pada bangunan toko roti yang berada tak jauh dari kami. Ruangan ini berada di lantai tiga jadi cukup berdiri saja, semua bangunan di sekitar sudah pasti terlihat.“Ini kuenya beda, pas di belah keluar duitnya."“Lagian lu kenapa pesan kue macam itu?”“Yang penting bini gue seneng. Pasti nanti dia enggak nyangka dalemnya
“Mas ambilkan makan, ya?” “Aku belum masak.” “Ya sudah kita makan di luar.” Dia menggeleng. “Kenapa? Enggak baik menunda buat buka puasa.” “Mas saja yang makan di luar aku buka di rumah.” “Katanya enggak masak, mau makan apa?” “Mie instan banyak di dapur, aku bisa makan itu.” “Sayang, dengar, mie instan enggak baik buat kesehatan apalagi buat Ibu menyusui, butuh banyak nutrisi.” Dilra menggeleng lagi. “Kenapa? Biar aku di rumah saja.” “Ya sudah kita order go food saja bagaimana?” “Buat Mas saja, aku enggak usah.” “Mana bisa begitu sayang, sudah kalau enggak mau biar Mas pesankan sekarang. Kita batalkan dulu puasanya, Mas ambilkan minum sebentar ya.” “Terima kasih, Mas.” Kuusap rambutnya pelan, lalu pergi ke bawah mengambil air. Aku berpikir dia akan menunggu di ranjang sampai aku datang lagi dengan air, nyatanya Dilra malah memunguti barang-barang yang bercecer
“Dil, jangan pergi, jangan pergi Mas mohon.” “Mau apa lagi aku di sini Mas, sudah cukup kalau enggak ada kepercayaan di antara kita untuk apa hidup bersama. Kamu hanya percaya Ibumu, aku ini istri, Mas pikir aku suka diperlakukan begini, enggak!” “Lalu kenapa kamu diam saja selama ini?” “Demi anak, aku ingin anak dari kamu. Setelah ini aku tak peduli lagi, hidup saja bersama Ibumu, aku muak!” Koper itu sengaja dia banting ke bawah, hingga menimbulkan bunyi gebrakan cukup keras, kemudian dengan cepat membawa Dion dalam gendongannya. “Dil Mas mohon jangan pergi, oke kamu butuh uang ini semuanya pegang semuanya Dil, mulai sekarang biar semuanya kamu yang atur.” Kuserahkan dompet pada Dilra. Sudahlah aku tak peduli lagi dengan uang. Untuk apa aku punya banyak uang kalau harus kehilangan istri. Rasanya aku tak akan sanggup. Apalagi Dion, bayi yang sudah kunantikan sejak lama, bagaimana bisa dia bawa pergi. “Lepas!” Dilra menepis. Ibu keluar dari ka
"Di depan Mas ke sana saja.” Kutinggalkan mobil di jalanan,mengabaikan bunyi klakson yang terus saja bersahutan.“Dilra!”Ya Tuhan, Dil. Perempuan itu melompat saat jarakku dengannya hanya tinggal beberapa meter lagi. Allahu akbar, bayinya pun ikut terjun bersamanya. Lututku mendadak lemas, lalu luruh ke aspal begitu saja. Orang-orang berkerumun, sedang di bawah … aku tak sanggup menyaksikannya.“Bang bangun dulu, Bang.” Seseorang menepuk pundakku ada yang mencoba menguatkan. Sebagian lagi malah berbisik dengan nada cemooh. Di dunia ini memang selalu punya dua sisi. Aku tak bisa seperti ini. Aku berniat turun ke bawah, meski melewati rerumputan dan tebing terjal. Bagaimana bisa kubiarkan jasad Dilra dan Dion tergeletak di bawah jalan tol. Orang-orang itu sudah melarangku, katanya bahaya. Andai saja kalian di posisik. Apa kalian akan berpikir dua kali untuk tidak turun. Seseorang telah menutup jenazah Dilra dengan daun. Banyak
“Kalian semua jahat sama aku, kalian pembunuh. Kembalikan dua anakku, kembalikan hiks hiks hiks,” teriak Dilra lagi. Kali ini dia malah menangis, setelah tadi suaranya naik beberapa oktaf.“Kalian pembunuh!” Dilra menangis sembari memukul pundakku, dengan keras. Aku memeluknya erat tapi Dilra malah meronta, minta dilepaskan, terus saja berteriak. Aku menutup mulutnya dengan telapak tangan, agar dia berhenti melakukan itu.“Dia membunuh anakku Mas. Anakku mati. Dinda dan Aira, maafkan Bunda Sayang. Seharusnya kalian ada di sini, di sisi Bunda.” Dilra menenggelamkan kepalanya di dadaku. Bagaimana bisa dia menyalahkan Ibu atas kematian anakku. Apa benar ini semua salah Ibu. Aku terus memeluk mengusap punggung yang masih berguncang karena isaknya. Sesekali mengecup keningnya demi bisa melepas sesak, yang kian merasuk ke dalam dada. Pintu rumah kami diketuk dari luar, teriakan Dilra pasti mengundang penasaran orang rumah. Gegas kubuka pin
“Sabar Dil, Mas tahu ini berat. Kamu harus kuat ya.”“Bayiku enggak ada Mas, sudah enggak ada,” katanya sambil terus terisak. Dilra semakin terpuruk. Hampir seminggu aku tak berangkat ke kantor karena harus menemani Dilra. Kondisinya benar-benar lemah waktu itu. Dia sering tidak sadarkan diri saat mengingat bayinya, masalahnya Dilra juga menolak diurus oleh Ibuku. Bahkan berada dalam satu ruangan dalam waktu yang cukup lama, kesehatan Dilra bisa langsung menurun.“Dek kan Mas harus kerja, Adek sama Ibu ya. Mas sudah bilang biar jaga kamu.”“Aku enggak mau merepotkan orang lain. Aku mau pulang saja. Kalau mau kerja silakan, tapi antar aku pulang dulu, Ibu itu suka menjelekkan aku ke tetangga sini,” katanya sambil sesekali menengok ke kanan dan ke kiri. Sejak kehilangan anaknya kurasa Dilra jadi sering waspada berlebihan.“Ya sudah, nanti Mas bilang lagi sama Ibu biar enggak menjelekkan kamu
“Enggak usah repot-repot Bu Rima, bagaimana sekarang, repot kan di tinggal anakku?” sindir Bapak. Ibu langsung menunduk, sedangkan Bapak malah menyunggingkan bibir atasnya. Selang beberapa detik beruntung ibu mertuaku menyenggol lengan suaminya, lantas Bapak langsung tersenyum, seolah penuh kepuasan.“Bercanda, Bu Rima.”“Oh iya,” jawab Ibu diiringi senyum paksanya. Suasana mendadak canggung, penuh dengan kepura-puraan. Bukan aku tak mau membela Ibu, entah sampai hari ini saja aku masih enggan mengajaknya bicara, aku takut kelepasan, hingga nanti kehilangan rasa hormat padanya.“Permisi ya, Bu Rima,” kata Bapak lagi dengan seringai di bibirnya. Mereka bersalaman, tapi jelas sekali di dalam hati mereka ada emosi yang menggebu.“Dil, ayo pulang, untuk apa di sini,” kata Bapak, yang sudah jalan lebih dulu. Laki-laki paruh baya itu menggenggam istrinya dengan penuh cinta, bisa kulihat sesekali gengga